NovelToon NovelToon
Wild, Wicked, Livia !!!

Wild, Wicked, Livia !!!

Status: sedang berlangsung
Genre:Gadis nakal / CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang / Mengubah Takdir
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Fauzi rema

Livia hidup dengan satu aturan: jangan pernah jatuh cinta.
Cinta itu rumit, menyakitkan, dan selalu berakhir dengan pengkhianatan — dia sudah belajar itu dengan cara paling pahit.

Malam-malamnya diisi dengan tawa, kebebasan, dan sedikit kekacauan.
Tidak ada aturan, tidak ada ikatan, tidak ada penyesalan.
Sampai seseorang datang dan mengacaukan segalanya — pria yang terlalu tenang, terlalu dewasa, dan terlalu berbahaya untuk didekati.

Dia, Narendra Himawan
Dan yang lebih parah… dia sudah beristri.

Tapi semakin Livia mencoba menjauh, semakin dalam dia terseret.
Dalam permainan rahasia, godaan, dan rasa bersalah yang membuatnya bertanya:
apakah kebebasan seindah itu jika akhirnya membuatnya terjebak dalam dosa?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23

Sejak pagi, Jam kantor terasa jauh lebih cepat dari biasanya, terutama bagi Narendra.

Begitu menginjakkan kaki di lantai eksekutif, ia langsung disambut jadwal rapat beruntun. Klien dari luar negeri sudah tiba sejak subuh, dan tim keuangan harus memastikan semua presentasi, laporan, serta angka-angka berjalan tanpa celah. Tidak ada ruang untuk lengah.

Narendra duduk di ujung meja meeting besar dengan layar LED menyala di belakangnya. Grafik demi grafik berganti, suara presentasi dalam bahasa Inggris terdengar formal dan serius. Ia fokus bahkan sangat fokus, seperti CEO yang seharusnya. Menjawab pertanyaan, menanggapi keberatan, dan menyusun strategi negosiasi.

Namun sesekali, di sela jeda napasnya, pikirannya melayang. Tanpa sadar, matanya beberapa kali melirik jam tangan. Bukan karena bosan, melainkan karena ia tahu, di jam-jam seperti ini, Livia biasanya sudah duduk tenang di kubikelnya. Dengan kopi dingin di atas meja, wajah datarnya namun matanya selalu awas. Biasanya, mereka tak banyak berinteraksi. Tapi sejak semalam mereka mengungkapkan perasaan mereka masing-masing, keberadaannya terasa seperti penanda waktu.

Hari ini… ia bahkan belum melihat bayangannya. Narendra menghela napas pelan, lalu kembali menegakkan tubuh saat salah satu klien mengajukan pertanyaan sensitif soal risiko investasi. Ia menjawab dengan tenang, logis, profesional, seolah tak ada apa pun yang mengganggu pikirannya.

Padahal ada.

Rapat pertama berakhir, namun tak ada jeda. Ia masih tertahan di ruang meeting, menyambut klien berikutnya. Kopi datang silih berganti, tapi tak satu pun benar-benar ia nikmati. Ponselnya tergeletak di samping laptop, sunyi. Tak ada pesan dari Livia. Bahkan tak ada balasan dari semalam.

Dan anehnya, itu membuat dadanya sedikit gelisah. Waktu bergerak cepat tanpa ampun. Jam dinding menunjukkan hampir pukul dua belas siang, namun rapat belum menunjukkan tanda-tanda selesai. Diskusi semakin panas, angka-angka kembali dipertanyakan, dan Narendra tak bisa meninggalkan ruangan begitu saja dengan status dan tanggung jawabnya sekarang.

Ia berdiri, melakukan presentasi dengan kalimat tegas, lalu melanjutkan negosiasi lanjutan.

Di luar sana, jam makan siang sudah hampir tiba. Karyawan lain mungkin mulai beranjak ke kantin, mungkin termasuk juga dengan Livia. Pikiran itu membuatnya tak nyaman. Hanya karena ia rindu bertemu. Dan entah kenapa ia ingin mencarinya. karena ia sadar, ketidakhadiran Livia pagi ini justru terasa terlalu nyata.

Ketika rapat akhirnya diskors sementara, Narendra duduk kembali, menyandarkan punggung ke kursi. Ia meremas pangkal hidungnya, lelah. Bukan hanya oleh pekerjaan, tapi oleh perasaan yang mulai sulit ia kendalikan.

Di luar ruangan, langkah-langkah kaki terdengar sibuk. Kantor tetap berjalan seperti biasa. Namun bagi Narendra, hari itu terasa berjalan pincang, karena satu hal sederhana, Ia belum melihat Livia.

Sementara itu, tanpa Narendra tau,

Veronica tiba di kantor tepat seperti rencananya pagi tadi. Penampilannya selalu sempurna, ia mengenakan gaun berwarna netral yang elegan, riasan wajah mencolok dan tegas, rambutnya tersisir rapi tanpa cela. Ia duduk anggun di kursi rodanya, sementara seorang perawat pribadi berjalan di belakangnya, mendorong perlahan dengan sikap profesional.

Beberapa karyawan yang berpapasan otomatis menyingkir, menundukkan kepala dengan sopan. Nama Veronica sudah cukup dikenal di kantor itu, bukan hanya sebagai istri CEO, tetapi juga sebagai perempuan dengan pengaruh sosial yang kuat. Tatapan-tatapan penasaran dan bisik-bisik kecil mengiringi langkahnya, namun Veronica tak menunjukkan reaksi apa pun. Wajahnya tetap tenang, nyaris dingin.

“Langsung ke ruangan Pak Narendra,” ucapnya singkat kepada perawat.

Pintu lift terbuka di lantai eksekutif. Veronica melaju menuju koridor utama yang lengang dan berkelas. Di dinding, deretan foto perusahaan terpajang rapi, termasuk foto Narendra bersama ayahnya di masa awal kepemimpinan. Veronica melirik sekilas, lalu mengalihkan pandangan.

Sebelum sampai di depan ruangan Narendra, seketika Veronica memberi isyarat perawat untuk berhenti sejenak.

Tatapannya jatuh pada satu kubikel di sisi kanan lorong.

Dia melihat Livia, Gadis itu duduk membelakangi lorong, rambutnya diikat asal, wajahnya serius menatap layar komputer. Jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard, ekspresinya fokus, seolah dunia di sekelilingnya menghilang. Ia sama sekali tidak menyadari kehadiran siapa pun di belakangnya, terlebih sosok yang tengah menatapnya dengan mata setajam pisau.

Veronica memperhatikan Livia lebih lama dari yang seharusnya.

Posturnya.

Cara duduknya yang santai.

Dan ketenangan yang entah mengapa terasa mengganggu.

Tatapan Veronica mengeras, rahangnya sedikit mengencang. Ada sesuatu dalam diri gadis itu yang tak bisa ia jelaskan, sesuatu yang membuat dadanya terasa tidak nyaman. Namun Livia tetap tak menoleh, tetap tenggelam dalam pekerjaannya, seolah keberadaan Veronica sama sekali tak berarti.

Dengan isyarat kecil, ia meminta perawat melanjutkan langkah. Kursi roda kembali bergerak, meninggalkan Livia yang masih tak sadar apa pun.

Beberapa meter kemudian, mereka tiba di depan ruangan CEO.

Veronica masuk tanpa mengetuk, kebiasaan lama yang tak pernah berubah. Namun begitu ia berada di dalam, ruangan itu kosong. Meja kerja rapi, layar komputer mati, dan kursi utama tak berpenghuni.

Sekretaris Narendra segera berdiri dari mejanya. Dan menghampiri Veronica.

“Selamat siang, Bu Veronica,” sapanya sopan. “Pak Narendra masih di ruang meeting. Sepertinya meeting dengan klien luar negeri. Belum selesai.”

Veronica menoleh, wajahnya tetap tenang meski jelas ada sedikit kekecewaan di matanya.

“Berapa lama lagi?” tanyanya singkat.

“Kurang lebih dua puluh menit, Bu. Tapi bisa juga lebih,” jawab sang sekretaris hati-hati.

Veronica mengangguk pelan. “Tidak apa-apa. Saya tunggu.”

Ia melajukan kursi rodanya ke sofa tamu di dalam ruangan Narendra. Perawat berdiri di sisi, menjaga jarak. Veronica menyandarkan punggung, melipat tangannya dengan anggun. Wajahnya tampak menahan rasa sabar.

Pintu ruangan CEO itu tiba-tiba diketuk pelan.

Veronica yang tengah duduk menunggu membuka mata, menoleh ke arah pintu. Dia pikir Narendra sudah datang, namun ternyata bukan, yang datang malah gadis yang sejak awal membuat veronica merasa tidak nyaman tanpa alasan.

dia adalah Livia,

Livia masuk sambil membawa map berisi beberapa dokumen, wajahnya tetap tenang dan profesional. Langkahnya ringan, matanya langsung tertuju ke meja kerja Narendra. Ia sudah tahu atasannya masih di ruang meeting, ia masuk hanya ingin meletakkan laporan yang baru saja ia rampungkan agar Narendra bisa langsung meninjaunya nanti.

Seketika langkahnya membeku. Baru kali ini ia menyadari ruangan itu tidak kosong. Di sofa tamu, duduk seorang wanita dengan aura yang sulit diabaikan. Elegan, berwibawa, dan, kursi roda di bawahnya tak mengurangi sedikit pun kesan kuat yang ia pancarkan. Tatapan wanita itu kini tertuju langsung padanya.

Detik itu terasa memanjang.

Livia berdiri kaku beberapa langkah dari meja kerja Narendra. Napasnya sedikit tertahan, namun wajahnya tetap terjaga, datar, sopan, nyaris tanpa emosi. Meskipun ia pernah berhadapan langsung dengan istri Narendra sebelumnya, tapi tak butuh perkenalan panjang untuk memahami siapa wanita di hadapannya.

“Permisi, Bu—” ucapan Livia terhenti di tengah kalimat.

“Maaf,” ucap Livia akhirnya, suaranya terkendali. “Saya staf administrasi keuangan. Saya hanya ingin meletakkan laporan untuk Pak Narendra.”

Veronica lagi-lagi menatapnya tanpa berkedip. Dari ujung kepala hingga kaki. Sebuah penilaian sunyi, tajam, dan dingin. Senyum tak muncul darinya, hanya garis tipis di bibirnya yang menandakan kewaspadaan.

“Letakkan saja,” kata Veronica singkat.

Nada suaranya datar, tapi cukup untuk membuat ruangan terasa lebih sempit.

Livia mengangguk kecil. Ia melangkah ke meja kerja Narendra, meletakkan map dengan rapi tepat di tengah meja, seperti kebiasaannya. Tangannya tak gemetar. Posturnya tetap tegak. Ia tak memberi ruang bagi dirinya untuk terlihat canggung.

Namun ia bisa merasakan tatapan Veronica mengikuti setiap gerakannya.

...🥂...

...🥂...

...🥂...

...Bersambung......

1
kalea rizuky
jangan jd pelakor
septi fahrozi
semakin penasaran jadinya ngapain mereka... 🤣🤣
Priyatin
ho ho ho kok semakin rumit hubungannya othor😰😰😰
Priyatin
lama kali nunggu up nya thor.
lanjut dong🙏🙏🙏
Wita S
kerennn
Wita S
ayoo up kak...ceritanya kerennnn
Mian Fauzi: thankyou 🫶 tp sabar yaa...aku masih selesain novelku yg lain hehe
total 1 replies
Siti Naimah
ampun deh...belum apa2 Livia sudah mendapat kekerasan dari dimas.sebaiknya sampai disini saja livia.gak usah diterusin
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!