Doni Pradipta, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef (Koki Pribadi) bagi Naira Adani, aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Pertemuan keduanya yang semula hanya soal pekerjaan perlahan berubah menjadi perjalanan penyembuhan dua hati yang sama-sama retak mencoba untuk bertahan. Di dapur itu, Naira menemukan kembali rasa aman, sementara Doni menemukan alasan baru untuk percaya pada cinta kembali.
Ikuti kisah mereka yang penuh emosi, tawa, dan luka yang perlahan sembuh.
Jangan lupa dukung karya ini dengan Like, Comment, dan Vote agar cerita mereka bisa terus berlanjut. 🤍✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28. MENGAMBIL SIKAP
..."Dalam dunia yang pernah melukainya, ia belajar berdiri lagi, dan seseorang memilih tetap di sisinya, bahkan saat api mulai menyala."...
...---•---...
Doni tidak ingat bagaimana ia sampai ke mobil. Yang tersisa hanya adrenalin yang memompa keras di pembuluh darahnya, jemari gemetar saat menelepon Ratna lalu Naira berkali-kali. Keduanya tidak mengangkat.
Perjalanan ke kantor polisi terasa seperti keabadian, padahal hanya lima belas menit. Klakson di kejauhan, suara mesin mobil yang bergetar di bawahnya, napas Doni yang keras di tenggorokan semuanya terasa terlalu dekat, terlalu nyata. Setiap lampu merah terasa seperti siksaan. Jemarinya mencengkeram dashboard sampai buku-buku jarinya memutih, plastik keras menggores telapak tangannya. Napas Doni pendek, dadanya sesak.
"Lebih cepat." Doni mendesak, suaranya keras tanpa dia sadari.
"Kita hampir sampai, Pak," jawab Pak Hendra tetap tenang, meski kecepatannya sudah di atas batas. Speedometer menunjuk angka yang seharusnya tidak boleh dilewati di dalam kota.
Akhirnya kantor polisi tampak.
Doni melompat keluar bahkan sebelum mobil berhenti sepenuhnya. Ia berlari masuk, matanya menyapu ruangan dengan cepat, meja resepsionis, poster-poster di dinding, barisan kursi plastik. Bau disinfektan dan kertas lama memenuhi hidungnya. Jantung masih berdetak keras di telinganya, seperti drum yang tidak bisa berhenti.
Lalu ia melihatnya.
Naira. Di pojok ruang tunggu, tubuhnya meringkuk kecil di kursi yang terlalu besar.
Sesuatu di dada Doni retak.
Naira duduk dengan tangan gemetar dan wajah pucat seperti kertas. Kursi plastik kantor polisi dingin di bawahnya, udara berbau disinfektan dan kertas lama. Ratna berada di sampingnya, lengan terjulur melindungi, tubuhnya seperti barrier. Di ujung ruangan, dijaga dua petugas, berdiri Rendra. Tenang di permukaan, tapi matanya menyala dengan amarah yang tidak tersamarkan, tatapan predator yang terpojok.
Sekilas, mata Doni bertemu mata Rendra di seberang ruangan. Tatapan dingin, penuh perhitungan, seperti dua predator yang saling mengukur. Doni tidak mengalihkan pandang duluan. Kamu kalah, matanya berkata. Dan kamu tahu itu.
"Naira." Doni mencapai mereka dalam tiga langkah panjang, napasnya masih tersengal. Ia berlutut di depan Naira, tangannya melayang di udara sebentar sebelum menyentuh, mencari luka yang tidak tampak. "Apa yang terjadi? Aku dengar teriakan dan..."
"Dia di sini." Bisik Naira, suaranya bergetar, matanya menatap kosong ke lantai. "Aku selesai memberi pernyataan, keluar ruangan, dan dia sudah menunggu. Dia tahu aku bakal ke sini. Dia sengaja datang."
"Dia coba mendekati Nona Naira." Ratna menjelaskan dengan nada tertahan, amarah ditekan di balik profesionalisme. "Pura-pura mau bicara. Kami abaikan dan berjalan ke pintu, tapi dia mengikuti. Lalu dia coba meraih lengan Nona Naira, dan dia bereaksi."
"Aku teriak." Naira menatap tangannya sendiri, jemarinya masih gemetar. "Refleks saja. Aku takut. Aku teriak, lalu polisi datang dan pisahkan kami."
Kemarahan Doni meledak. Panas, membakar, hampir memerintah tubuhnya untuk bergerak. Darah mendidih di pembuluh darahnya, rahangnya mengeras sampai giginya bergesekan. Ia bangkit, hendak melangkah ke arah Rendra, tapi tangan Naira menggenggam pergelangan tangannya kuat, putus asa.
"Jangan," pintanya pelan, suaranya nyaris pecah. "Jangan kasih dia kepuasan itu. Biarkan polisi yang tangani."
Naira benar, pikir Doni. Kekerasan hanya akan memperburuk semuanya.
Doni menarik napas panjang, mencoba mengendalikan denyut nadi yang berpacu. Logika sedikit demi sedikit menekan amarahnya. Naira benar. Kekerasan hanya akan memperburuk semuanya. Tangannya masih mengepal, kuku menekan telapak tangan sampai meninggalkan bekas merah kecil.
Pengacara mereka mendekat, tas kerja di tangan, ekspresi profesional tapi matanya penuh simpati. "Nona Naira, polisi sudah mengambil pernyataan dari semua saksi. Tindakan Pak Rendra hari ini justru memperkuat kasus kita. Ia menunjukkan pola pelecehan dan mengabaikan batasan. Bahkan di kantor polisi. Itu sangat memberatkan."
"Bagus." Suara Doni datar, dingin. "Lalu sekarang apa?"
"Pak Rendra ditahan untuk keterangan lebih lanjut." Pengacara menutup tas kerjanya. "Kami mengajukan perlindungan darurat. Dengan insiden ini..." Ia menatap Naira dengan yakin. "Hakim akan mengabulkan."
"Dan sementara itu?" tanya Ratna.
"Anda semua bisa pulang. Jangan berhenti di mana pun. Pak Rendra akan tetap ditahan beberapa jam ke depan." Sang pengacara menatap Naira lembut. "Anda sudah sangat kuat hari ini."
Naira hanya mengangguk. Matanya kosong, menatap tanpa fokus, seperti sebagian dirinya masih terjebak di momen tadi. Seperti bagian dari dirinya masih berada di ruangan lain, di waktu lain, di saat-saat ketika suara Rendra adalah satu-satunya yang ia dengar.
Perjalanan pulang tidak ada desakan, hanya letih yang menggantung berat di udara. Naira duduk di antara Doni dan Ratna di kursi belakang, tangannya masih bergetar. Doni menggenggamnya hangat, stabil, jangkar di tengah badai.
"Aku kira aku siap." Suaranya pelan, serak. "Aku pikir cukup kuat menghadapi dia. Tapi begitu lihat wajahnya... semua kembali. Ketakutan itu. Rasa tidak berdaya itu. Seperti tiga tahun terakhir tidak ada artinya."
Kamu teriak. Kamu tidak diam. Kamu meminta bantuan. Kamu membuat orang datang." Doni menatapnya. "Itu bukti kamu kuat."
"Tidak terasa begitu."
"Karena kamu masih di tengahnya." Jemari Doni menggenggam tangannya lebih erat. "Tapi percayalah, kamu menang hari ini. Dia datang ke kantor polisi, di depan petugas, dan tetap tidak bisa menahan diri. Dia menjatuhkan dirinya sendiri."
Sesampainya di rumah, Doni menuntun Naira ke kamar, tangannya di punggung bawahnya, stabil, supportif. "Ganti pakaian yang nyaman. Aku tunggu di dapur."
Naira naik ke kamar, kakinya berat di setiap anak tangga. Di kamar mandi, ia menatap cermin, mata bengkak, rambut berantakan, bibir kering. Ia cuci muka dengan air dingin, merasakan suhu mengejutkan kulitnya, membawa sedikit kesadaran kembali. Tetes air menuruni wajahnya, dingin tapi menyegarkan. Cardigan lembut menggantikan blazer kaku. Napas panjang. Satu. Dua. Tiga.
Baru kemudian ia turun.
Saat ia turun kembali, Doni sudah menyiapkan sup hangat yang dibuat pagi tadi, roti lembut yang baru dihangatkan, dan kue lava cokelat. Semuanya ditata dengan rapi, seperti ritual penyembuhan. Uap naik dari mangkuk sup, membawa aroma jahe segar dan ayam yang familiar.
"Aku tidak lapar," bisik Naira, duduk di kursi dengan bahu membungkuk.
"Aku tahu. Tapi tubuhmu tetap butuh makan." Doni menaruh mangkuk di depannya, uap hangat naik perlahan. "Sedikit saja. Demi aku?"
Tidak ada tekanan. Hanya perhatian. Mata Doni yang menatap lembut, tanpa judgment.
Naira menatap mangkuk itu. Sup sederhana. Tidak akan mengubah apa pun yang terjadi hari ini. Tapi entah kenapa, melihat uap yang naik, mencium jahe dan ayam yang familiar, membuat sesuatu dalam dirinya melembut. Demi dia, pikirnya. Aku bisa makan demi dia.
Akhirnya Naira makan. Sendok demi sendok, sup ayam jahe itu hangat di lidahnya gurih, sedikit pedas dari jahe segar, menenangkan seperti pelukan cair. Kehangatan sup membantu meredakan ketegangan yang menggantung di bahunya. Warna kembali ke wajahnya. Napasnya melambat.
Tiba-tiba Naira berkata, suaranya lebih jelas sekarang, "Pak polisinya baik. Katanya mereka akan membuka investigasi dan memanggil Rendra. Dengan bukti yang kita punya, peluangnya besar. Surat perlindungan juga kemungkinan cepat dikabulkan."
"Bagus. Itu kemajuan besar."
"Kamu tahu..." Naira mengaduk supnya, sendok berputar pelan di mangkuk. "Ternyata yang kasih bukti itu orang dalam. Dari perusahaan Rendra." Ia berhenti sebentar. "Katanya dia sudah tidak tahan lagi."
"Sumber dari dalam?"
"Ya. Seseorang yang akhirnya tidak tahan lagi." Naira menatap supnya. "Aku tidak sendirian ternyata."
Suaranya bergetar, bukan dari ketakutan, tapi dari sesuatu yang lebih kompleks. Lega? Sedih? Kemarahan untuk mereka?
"Ada orang lain yang... yang juga."
Air mata jatuh tanpa suara. Bukan untuk dirinya sendiri kali ini. Untuk mereka. Untuk semua yang diam.
"Karma punya gilirannya sendiri." Doni membereskan piring, memberi Naira ruang untuk merasakan emosinya. "Siap buat kue?"
"Selalu siap untuk karya cokelatmu."
Doni menyajikan kue lava cokelat yang masih hangat. Saat Naira memotongnya, lelehan cokelat hangat mengalir seperti gunung berapi kecil yang manis. Aroma cokelat Belgia memenuhi dapur kaya, manis, dengan sentuhan vanilla.
"Ini dosa, tapi nikmat sekali." Senyumnya lemah tapi nyata. Cokelat meleleh di lidahnya, manis dan sedikit pahit, tekstur yang lembut tapi kaya. "Gimana caranya kamu bikin cokelat terasa seperti kebahagiaan?"
"Bahan rahasia: cinta. Dan cokelat Belgia yang harganya bikin aku mikir ulang hidup." Doni tersenyum, duduk di seberangnya. "Tapi kebanyakan cinta."
Mereka makan sambil membicarakan hal-hal ringan. Menu baru. Ide Doni membuat pasta segar dari nol, fettuccine dengan saus alfredo atau mungkin carbonara klasik. Rencana Naira mendekor ulang ruang tamu supaya lebih hangat mungkin warna krem atau abu-abu muda, sofa yang lebih nyaman, tanaman-tanaman kecil di sudut.
Normal. Sederhana. Dan justru itu yang terasa luar biasa.
Malam turun. Ratna dan Tuti sudah pulang. Doni dan Naira duduk di taman belakang, di bawah langit berbintang. Udara Bandung sejuk dan menenangkan, membawa aroma tanah basah dan bunga-bunga malam. Kunang-kunang kecil sesekali lewat, suara jangkrik di kejauhan menciptakan simfoni malam yang tenang.
"Terima kasih." Bisik Naira, kepalanya bersandar di bahu Doni. Kehangatan tubuhnya menenangkan, stabil seperti detak jantung yang pelan dan teratur. "Karena selalu jadi tempat aku pulang. Karena tetap cinta meski semuanya berantakan."
"Justru itu yang membuat kamu nyata. Kuat. Dan luar biasa." Doni mencium puncak kepalanya, bibirnya berlama-lama di sana. "Lagipula aku juga tidak datang tanpa masalah. Kita seimbang."
"Pasangan sempurna dalam ketidaksempurnaan."
"Persis."
Mereka duduk lama dalam diam yang damai. Bintang-bintang di atas seperti mata yang menyaksikan, suara jangkrik di kejauhan seperti lullaby alam. Angin malam menyapu lembut, membawa sejuk yang tidak menggigit, hanya menenangkan. Malam itu bukan penutup. Hanya awal bab baru. Naira sudah mengambil langkah besar hari ini. Mengambil kembali kendali. Dan kali ini, ia tidak sendirian.
Tapi untuk pertama kalinya, keduanya yakin satu hal.
Apa pun yang datang, mereka bisa menghadapi.
Bersama.
...---•---...
...Bersambung...