Namaku Syahnaz Fakhira az-Zahra, berusia delapan belas tahun.
Aku baru saja menyelesaikan pendidikan selama enam tahun di Pondok Pesantren Darfal — sebuah pondok perempuan di salah satu kota di Jawa yang dikenal dengan kedisiplinan dan kedalaman ilmunya.
Selama enam tahun di sana, aku belajar banyak hal; bukan hanya tentang ilmu agama, tetapi juga tentang kehidupan. Aku tumbuh menjadi seseorang yang berusaha menyeimbangkan antara iman dan ilmu, antara agama dan dunia.
Sejak dulu, impianku sederhana namun tinggi — melanjutkan pendidikan ke Universitas Al-Azhar di Kairo, menuntut ilmu di tanah para ulama. Namun, takdir berkata lain.
Di tahun kelulusanku, ayah meninggal dunia karena serangan jantung. Dunia seolah runtuh dalam sekejap.
Aku sangat down, tertekan, dan rapuh.
Sejak kepergian ayah, keadaan ekonomi keluarga pun memburuk. Maka, aku memilih pulang ke rumah, menunda impian ke luar negeri, dan bertekad mencari pekerjaan agar bisa membiayai ibuku sekaligus untk kuliah.
lanjut? 🤭
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
usaha konyol rakha buat deketin syahnaz
Syahnaz menunduk, berusaha tetap tenang. Ia merapatkan kerudungnya, jari-jarinya yang dingin memegang sendok erat. “Yaa Allaah... serem banget, jaketnya item semua. Apa mereka anak geng motor juga?” gumamnya dalam hati, menelan gugupnya perlahan.
Tak lama, bapak warteg keluar sambil membawa piring berisi pecel lele yang masih mengepul hangat.
“Nih, Neng Syahnaz, masih panas,” ucapnya dengan senyum ramah.
“Terima kasih, Pak,” jawab Syahnaz lembut, mencoba membalas dengan senyum kecil meski degup jantungnya terasa tak karuan.
Ia mulai makan perlahan, tapi sesekali melirik dari ujung mata. Suasana di warteg yang tadinya sunyi kini terasa berat. Beberapa pria berjaket kulit itu berbincang pelan, kadang tertawa kecil, namun entah mengapa ketika salah satu dari mereka melirik ke arah Syahnaz, suasana mendadak hening. Ada aura misterius dan berwibawa dari cara mereka duduk dan diam.
Tiba-tiba, pemuda yang duduk paling dekat dengannya menoleh sedikit. Wajahnya masih tertutup helm, namun Syahnaz bisa merasakan arah tatapannya mengarah padanya. Ia buru-buru menunduk, berpura-pura sibuk dengan makanannya.
Namun detik berikutnya, pemuda itu melepaskan helmnya perlahan. Rambutnya sedikit berantakan, tapi wajahnya tampan dan sorot matanya tajam. Ada ketenangan sekaligus sesuatu yang sulit dibaca di sana.
Suara bariton lembut itu akhirnya terdengar,
“Tenang aja... kita cuma makan di sini,” ujarnya pelan namun tegas.
Syahnaz terkejut, tapi segera menahan diri. “I-iya... nggak papa kok,” ucapnya gugup, lalu kembali menunduk.
Pemuda itu terkekeh ringan, menatap ke arah dapur.
“Santai aja, tempat ini aman,” ujarnya lagi dengan nada ringan, seolah ingin menenangkan.
Syahnaz menelan ludah, lalu mencoba tersenyum kecil. Dalam hatinya, ia berdoa agar makanannya cepat habis dan ia bisa segera pulang. Untuk menenangkan diri, ia membuka ponselnya di meja.
Sebuah notifikasi masuk.
“Syahnaz... bisa ketemuan malam ini? Kita bicara.”
Pesan itu dari Reyhan Maheswara.
Syahnaz hanya menatap layar itu sesaat, lalu mengunci ponselnya dan mengabaikannya. Tapi beberapa detik kemudian, layar ponselnya kembali menyala—Reyhan menelepon.
Ia menarik napas cepat, membiarkan panggilan itu berdering tanpa dijawab. Namun tanpa ia sadari, lelaki yang duduk di sampingnya melihat sekilas nama yang terpampang di layar. Alisnya berkerut, seolah mengenali sesuatu dari nama itu.
Begitu makanannya habis, Syahnaz segera berdiri. “Pak, makasih ya makanannya,” ucapnya buru-buru sambil membayar.
Saat ia melangkah keluar, suara bariton itu terdengar lagi dari belakang.
“Kenapa nggak diangkat?” tanya lelaki itu santai, tapi tatapannya serius.
Syahnaz berhenti sejenak, sedikit terkejut.
“Eh... nggak papa, nanti aja,” jawabnya cepat sambil menunduk. Ia lalu bergegas pergi, mempercepat langkahnya menuju apartemen.
Namun lelaki itu hanya menatap punggungnya yang menjauh, kemudian tanpa banyak bicara, ia menaruh helmnya dan keluar beberapa saat setelah Syahnaz pergi. Dari kejauhan, ia mengikuti langkah Syahnaz dengan tenang, nyaris tanpa suara.
Begitu Syahnaz masuk ke dalam gedung apartemennya, lelaki itu berdiri di luar, memandang ke arah lift yang baru saja menutup. Tatapannya dalam, seolah tengah mengingat sesuatu.
“lantai 13-,” gumamnya pelan sambil menatap daftar lantai yang tertera di dinding.
Senyum tipis muncul di wajahnya, samar namun sarat makna.
...----------------...
Malam pun tiba, Syahnaz masih duduk di sofa, menata berkas-berkas untuk mendaftar kuliah di UIN Jakarta. “Ini udah beres, rapor udah... oke, alhamdulillah, selesai,” ucapnya sambil meregangkan tubuh. Namun tiba-tiba terdengar suara bel dari arah pintu.
Teng nong.
“Siapa ya?... Kak Reyhan? Nggak ah, males,” gumamnya malas. Ia berusaha mengabaikan, tapi bel itu terus berbunyi. Dengan wajah kesal, ia akhirnya bangkit dari sofa. “Akhhh... siapa sih?!”, gerutunya sambil melangkah ke arah pintu.
Pintu terbuka dengan sedikit hentakan, dan seketika mata Syahnaz membulat. “Rakha?!” serunya kaget.
Pemuda itu berdiri di hadapannya dengan senyum tengil khasnya. “Hehehe... anu, gimana yaa...” ucapnya kikuk, seolah bingung harus memulai dari mana.
“Anu apanya?” tanya Syahnaz, alisnya mengernyit. Mood-nya memang sedang tidak baik malam itu.
“Apaan sih, nggak jelas banget,” lanjutnya dengan nada kesal, lalu berusaha menutup pintu.
“Eeehh!! Tunggu dulu!” seru Rakha cepat sambil menahan pintu, “Gue datang kemari buat minta tolong sesuatu...”
Syahnaz diam sejenak, menatapnya dengan tatapan tajam penuh tanda tanya. “Tolong apa?” tanyanya datar.
“Bisa kita ngomonginnya di dalem?” tanya Rakha hati-hati.
“Nggak,” jawab Syahnaz cepat. “Di bawah aja.”
Tanpa menunggu jawaban, Syahnaz buru-buru menutup pintu dan melangkah menuju lift. Rakha hanya mengikuti dari belakang, menampilkan senyum kecil sambil menatap punggung gadis itu.
Sesampainya di lobi apartemen, mereka duduk di kursi panjang dekat pintu masuk. Suasana malam cukup sepi, hanya terdengar suara pendingin udara dan langkah orang yang lewat sesekali.
“Ada apa?” tanya Syahnaz membuka percakapan, nada suaranya datar namun jelas menunjukkan bahwa ia ingin cepat menyelesaikannya.
"Ajarin gue ngaji," ucap Rakha tiba-tiba, senyum jahil tersungging di wajahnya.
Syahnaz refleks menatapnya tak percaya. “Hah?! Ajarin kamu ngaji?!” suaranya meninggi sedikit karena kaget.
Rakha hanya menggaruk tengkuknya pelan, wajahnya tampak agak kikuk. “Yaa... gimana ya... tiba-tiba aja di kelas gue ada seleksi, ngetes ngaji segala,” ujarnya sambil meregangkan badan, berusaha santai padahal gugup.
Syahnaz memiringkan kepala, menatapnya heran. “Terus, kamu mau aku yang ajarin gitu?”
“Iyaa, siapa lagi? Bantu gue, plisss...” ucap Rakha dengan nada memohon. “Ntar gue rekomendasiin deh lu ke nyokap gue. Lu kan suka desain fashion, kan? Nyokap gue desainer yang cukup terkenal di Jakarta. Mau yaa?” tambahnya, mengangkat alis dengan senyum khas tengilnya.
Syahnaz menatapnya lekat-lekat, lalu menghela napas sambil mengusap wajah. “Kamu stalking Instagram aku, ya?” tanyanya curiga, menahan tawa.
Rakha cepat-cepat menggeleng. “Nggak juga. Gue cuma... tertarik aja sama desain dress yang lu buat. Lumayan bagus...” ucapnya berusaha mengelak dengan nada sok santai.
Syahnaz terkekeh pelan. Ada sesuatu dalam ekspresi Rakha yang membuatnya sulit menahan senyum. “Hmm...”
“Mau yaa?” ulang Rakha dengan nada manja, matanya sedikit berbinar.
“Kenapa kamu nggak cari yang cowok aja, biar enak gitu ngajarnya?” tanya Syahnaz mencoba rasional.
“Nggak, nggak bisa...” jawab Rakha spontan, lalu cepat-cepat menatap ke arah lain. Syahnaz mengerutkan alis, heran dengan respon aneh itu.
“Maksudnya... gue nggak bisa kalo sama cowok,” lanjutnya cepat, mencoba menutupinya dengan alasan. “ Guee...Takut dimarahin kalo salah baca.”
Syahnaz menatapnya dengan mata sedikit menyipit. “Kok kamu kepikiran mau belajar sama aku, sih?”
Rakha menatapnya sejenak lalu tersenyum tipis. “Hmm... kepikiran aja. Lu kan ukhti-ukhti gitu, pasti bisa ngaji, kan?” ucapnya beralasan, padahal dalam hati sebenarnya hanya ingin lebih dekat dengan Syahnaz.
Syahnaz menautkan alis, senyumnya pelan tapi menggoda. “Bukannya kamu punya banyak teman ukhti-ukhti seperti aku? Kamu kan... playboy.”
Rakha langsung membeku sesaat, lalu terkekeh kecil menutupi debaran dadanya. “Akkh... parah! Senyuman lu bikin gue susah fokus, sumpah...” gumamnya dalam hati.
“Ah, lu ngejek ya?” ucapnya pura-pura kesal. “Ukhti-ukhti yang gue kenal tuh genit-genit semua, jadi gue nggak mau deket-deket mereka.”
Syahnaz spontan tertawa kecil, lalu menatapnya sambil menggeleng. “Buaya...” ucapnya sambil terkekeh, membuat Rakha hanya tersenyum malu, kalah telak malam itu.
untuk desain Visualnya bagus membuat para pembaca bisa masuk ke alurnya.
Salam literasi.
sambil baca sambil mikir berarti lulus SMAnya umur 17th.