Semua orang mengira Zayan adalah anak tunggal. Namun nyatanya dia punya saudara kembar bernama Zidan. Saudara yang sengaja disembunyikan dari dunia karena dirinya berbeda.
Sampai suatu hari Zidan mendadak disuruh menjadi pewaris dan menggantikan posisi Zayan!
Perang antar saudara lantas dimulai. Hingga kesepakatan antar Zidan dan Zayan muncul ketika sebuah kejadian tak terduga menimpa mereka. Bagaimana kisah mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 31 - Mendekati Leony
Pagi itu, suasana rumah keluarga Nugroho tampak sibuk. Para pekerja keluar masuk membawa bunga dan hiasan pernikahan. Di tengah kesibukan itu, sebuah mobil hitam berhenti di depan halaman. Dari dalamnya keluar Zidan, dengan kemeja putih sederhana dan senyum gugup di wajahnya.
Ia berdiri sejenak di depan pintu besar rumah itu, menarik napas panjang sebelum mengetuk perlahan.
Suara langkah mendekat dari dalam, lalu pintu terbuka. Leony berdiri di sana, mengenakan gaun rumah berwarna pastel. Begitu melihat wajah Zidan, ekspresi lembutnya langsung mengeras. Meski tidak dekat, Leony bisa dengan mudah membedakan Zidan dan Zayan. Itu terlihat jelas dari cara berjalan, senyuman dan pakaian mereka.
“Kau lagi?” suaranya dingin, tanpa sapaan. “Untuk apa datang ke sini?”
Zidan tersenyum canggung. “Aku cuma ingin membantu, Bu. Kudengar Zayan akan menikah, jadi--”
“Tak perlu pura-pura sopan,” potong Leony cepat. “Kami tidak kekurangan orang untuk membantu.”
Zidan menunduk sedikit, menelan ludah. “Aku tahu. Tapi aku ingin melakukannya sendiri, bukan karena disuruh siapa pun.”
Leony mendengus kecil, lalu berbalik. “Lakukan sesukamu, asal jangan ganggu aku.”
Zidan hanya mengangguk pelan. Ia tahu, tak ada gunanya berdebat. Ia mengikuti Leony masuk, dan mulai membantu beberapa pekerja menata bunga di ruang tamu. Beberapa pelayan rumah mengenalnya dan menyapanya dengan sopan, tapi Zidan membalas dengan senyum malu. Ia tidak ingin menimbulkan keributan, cukup hadir dan berbuat sesuatu.
Siang itu, Leony sibuk menata undangan di meja ruang makan. Zidan melangkah pelan mendekat, membawa baki berisi minuman.
“Ibu belum minum dari tadi,” ucapnya sambil meletakkan gelas di meja.
Leony hanya melirik sekilas. “Aku tidak minta.”
“Tapi Ibu butuh istirahat juga,” lanjut Zidan, berusaha tersenyum.
“Jangan mengajariku apa yang harus kulakukan,” balas Leony ketus. Tangannya tetap sibuk merapikan undangan, tapi sesekali matanya melirik ke arah Zidan, ada sedikit keraguan di sana, meski cepat ia sembunyikan.
Zidan tidak tersinggung. Ia duduk di kursi seberang, memperhatikan tumpukan pita dan kartu nama di meja. “Kalau Ibu mau, aku bantu lipat pita-pitanya,” katanya lembut.
Leony menatapnya tajam. “Kau bahkan tahu cara melipat pita untuk undangan?”
Zidan terkekeh. “Tidak, tapi aku bisa belajar.”
Leony mendengus pelan. “Kau memang keras kepala, ya?”
“Katanya aku mirip Ibu,” jawab Zidan cepat, dengan senyum lebar yang membuat Leony nyaris tersedak ludahnya sendiri karena kaget. Ia tak menyangka Zidan bisa menjawab balik seperti itu.
Leony pura-pura sibuk, menunduk lagi pada undangan di depannya. Tapi ada sesuatu yang berubah di wajahnya. Sudut bibirnya sedikit menahan senyum, meski ia berusaha menutupinya dengan batuk kecil.
Zidan pura-pura tak melihat, dan mulai melipat pita dengan tangan palsunya. Gerakannya kaku, pita itu beberapa kali terlepas dari genggaman, tapi ia tetap mencoba dengan sabar.
Leony akhirnya tak tahan melihatnya berkutat terlalu lama. “Bukan begitu, bodoh,” katanya spontan, lalu mengambil satu pita dari tangannya. “Lihat, begini caranya.”
Ia menunjukkan dengan teliti, jarinya yang ramping bergerak cekatan membuat simpul rapi. Zidan memperhatikan penuh perhatian, seperti anak kecil yang diajari hal baru.
“Begitu?” tanyanya, mencoba meniru.
“Tidak. Lihat lagi,” jawab Leony dingin, tapi kali ini suaranya tak sekeras tadi.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang aneh. Mereka bekerja berdua, hanya diiringi suara kertas dan pita yang bergesekan. Sesekali, Leony melirik tangan palsu Zidan, lalu cepat mengalihkan pandangan. Ada sesuatu yang menyesak di dadanya setiap kali melihat anak itu berjuang dengan senyum seolah semuanya baik-baik saja.
Sore menjelang. Ruangan kini dipenuhi undangan yang sudah terikat rapi. Zidan mengusap keringat dari pelipisnya, lalu berdiri. “Sudah cukup banyak, Bu. Besok tinggal dikirim.”
Leony tak menjawab. Ia menatap hasil pekerjaan mereka, lalu berdehem pelan. “Tidak jelek,” katanya singkat.
Zidan tersenyum. “Artinya aku lulus ya?”
Leony mendengus kecil. “Jangan besar kepala. Itu cuma… cukup saja.”
Zidan terkekeh kecil, tapi tak menanggapi. Ia tahu, dalam bahasa Leony, “cukup” sudah berarti banyak.
Saat Zidan hendak beranjak, Leony tiba-tiba bersuara pelan. “Zidan.”
Zidan berhenti, menoleh. “Ya, Bu?”
Perempuan itu tidak langsung menatapnya. Ia sibuk membereskan pita-pita sisa di meja, tapi suaranya terdengar lebih lembut. “Terima kasih sudah datang membantu.”
Zidan tertegun sejenak. Kata-kata sederhana itu membuat hatinya hangat. Ia menunduk sedikit, suaranya hampir berbisik. “Aku yang harusnya berterima kasih, Bu. Sudah diizinkan datang.”
Leony menatap sekilas wajah anaknya, wajah yang mirip sekali dengan Zayan, tapi ada sesuatu yang lebih lembut di sana. Sesuatu yang dulu ia abaikan karena rasa malu dan takut. Ia menghela napas, lalu berkata dengan nada datar, “Pulanglah dulu. Besok mungkin kau bisa bantu bagian dekorasi.”
Zidan tersenyum lebar. “Siap, Bu.”
Ia melangkah pergi dengan hati ringan, sementara Leony masih berdiri di ruang makan, memandangi pintu yang baru saja tertutup.
Perlahan, senyum kecil muncul di bibirnya, senyum yang lama tak pernah muncul, senyum seorang ibu yang mulai menyadari, betapa besarnya hati anak yang pernah ia tolak.
Orang yang menggunakan atau melakukan sesuatu yg direncanakan untuk berbuat keburukan/mencelakai namun mengena kepada dirinya sendiri.
Tidak perlu malu untuk mengakui sebuah kebenaran yg selama ini disembunyikan.
Menyampaikan kebenaran tidak hanya mencakup teguh pada kebenaran anda, tetapi juga membantu orang lain mendengar inti dari apa yang anda katakan.
Menyampaikan kebenaran adalah cara ampuh untuk mengomunikasikan kebutuhan dan nilai-nilai anda kepada orang lain, sekaligus menjaga keterbukaan dan keanggunan.
Mempublikasikan kebenaran penting untuk membendung berkembangnya informasi palsu yang menyesatkan lalu dianggap benar.
Amarah ibarat api, jika terkendali ia bisa menghangatkan dan menerangi. Tapi jika dibiarkan, ia bisa membakar habis segalanya termasuk hubungan, kepercayaan, bahkan masa depan kita sendiri...😡🤬🔥
Kita semua pernah marah. Itu wajar, karena marah adalah bagian dari sifat manusia.
Tapi yang membedakan manusia biasa dengan manusia hebat bukanlah apakah ia pernah marah, melainkan bagaimana ia mengendalikan amarah itu.
Alam semesta memiliki caranya sendiri untuk menyeimbangkan segala hal.
Apa yang kita tanam, itulah yang kita tuai.
Prinsip ini mengajarkan kita bahwa tindakan buruk atau ketidakadilan akan mendapatkan balasannya sendiri, tanpa perlu kita campur tangan dengan rasa dendam..☺️
Meluluhkan hati seseorang yang keras atau sulit diajak berdamai adalah tantangan yang sering kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Baik dalam hubungan keluarga, pertemanan, maupun pekerjaan.
Meluluhkan hati seseorang adalah usaha yang harus diiringi dengan kesabaran, doa, dan perbuatan baik. Serahkan segala urusan kepada Allah SWT karena hanya Dia yang mampu membolak-balikkan hati manusia.
Jangan lupa untuk selalu bersikap ikhlas dan terus berbuat baik kepada orang yang bersangkutan.
Karena kebaikan adalah kunci untuk meluluhkan hati manusia.