NovelToon NovelToon
Terlahir Kembali Menjadi Seorang Perempuan

Terlahir Kembali Menjadi Seorang Perempuan

Status: sedang berlangsung
Genre:Anime / Reinkarnasi
Popularitas:407
Nilai: 5
Nama Author: Lidelse

Reni adalah pemuda pekerja keras yang merantau ke kota, dia mengalami insiden pencopetan, saat dia mengejar pencopetan, dia tertabrak truk. Saat dia membuka mata ia melihat dua orang asing dan dia menyadari, dia Terlahir Kembali Menjadi Seorang Perempuan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lidelse, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Invasi - 4

Pengumuman Gilgamesh, "Selamat datang, di Pertempuran Sona!" adalah pukulan terakhir bagi Lyra. Itu bukan hanya pengkhianatan pribadi; itu adalah kudeta total yang telah direncanakan dengan sempurna oleh Valerius, menggunakan Mana Darah yang ia cintai sebagai ujung tombak.

Lyra merasakan seluruh jiwanya, jiwa reinkarnasi Reni yang keras kepala dan hati Lyra yang penuh cinta, terkoyak. Dia tidak mampu. Dia Archmage Ruang-Waktu, tetapi dia tidak bisa melihat ini datang. Dia tidak bisa melindungi siapa pun.

Lyra merosot, berlutut di atas pecahan batu dan genangan darah Solosa Mercury.

Dengan jeritan putus asa yang tak tertahankan, Lyra mencengkeram tanah. Dia mencengkeram puing-puing itu seolah ingin menahan bumi agar tidak berputar, agar waktu berhenti.

Darah dari luka-luka Gilgamesh sudah membasahi tangannya. Kini, kuku-kuku Lyra mengelupas, hancur oleh tekanan putus asa yang mengerikan, tetapi dia tidak merasakan sakit. Rasa sakit emosional melampaui fisik.

Lyra, dalam keadaan histeria, menarik rambut merah mudanya sendiri. Dia menjambaknya kuat-kuat, ingin mengeluarkan ingatan yang baru saja Gilgamesh masukkan ke dalam benaknya, ingin mengeluarkan janji-janji yang kini terasa seperti racun.

Teriakan Lyra memekakkan telinga, bukan teriakan perang, melainkan teriakan kekalahan yang paling memalukan.

Saat Lyra mengangkat pandangannya yang basah dan mata hijau zamrudnya yang kacau, dia melihat apa yang dilihat Aen dari atap.

Dari arah Sincorta, di balik gerbang yang baru saja ditembus, puluhan panah api melesat ke udara. Bukan sembarang panah, tetapi proyektil Mana yang didorong oleh sihir tingkat tinggi, bergerak cepat dan mematikan.

Targetnya bukan Akademi yang sudah luluh lantak. Targetnya adalah Distrik Alexa, rumah bagi para bangsawan Elemendorf

Valerius tidak hanya menyerang pertahanan; dia menyerang jantung Kerajaan Elemendorf.

Aen, meskipun bahunya berdarah dan Mana Anginnya terkuras, melompat turun dari atap, mendarat di samping Lyra. Rasa sakitnya ditenggelamkan oleh kebutuhan militer yang mendesak.

Aen mencengkeram lengan Lyra yang sedang berlutut, menariknya dengan kuat agar berdiri.

"Lyra! Kita harus pergi! Sekarang!"

perintah Aen, suaranya tajam seperti angin pisau.

"Kau lihat itu?! Mereka menuju Alexa! Ini bukan lagi duel pribadi, ini invasi total! Kita harus mundur!"

Lyra menepis tangan Aen, matanya kosong menatap mayat Solosa. Air mata dan darah dari kukunya bercampur di pipi dan tangannya.

"Tidak!"

teriak Lyra.

"Aku tidak bisa! Masih ada orang di dalam Akademi! Seraphine... dia gila, tapi dia ada di sana! Dan Murad! Dan Cide! Aku tidak bisa meninggalkan mereka!"

"Lyra, dengarkan aku!"

desis Aen, memaksa Lyra menatapnya.

"Aku tahu! Tapi ini adalah perang, bukan penyelamatan sekolah! Jika kau tetap di sini, kau akan mati, dan perkataan Gilga benar-benar akan menjadi kenyataan!"

Emi Altera, yang baru saja memastikan Gilgamesh tidak segera mengikuti (dia disibukkan oleh serangan tiba-tiba yang lain), bergegas mendekat. Dia melihat kengerian di mata Lyra dan mengerti.

"Aen benar, Astrea,"

kata Emi, suaranya dingin dan realistis. Dia tidak memiliki ikatan emosional seperti Aen, membuat keputusannya kejam namun perlu.

"Kita tidak punya waktu untuk menyelamatkan gurumu. Mereka tahu risikonya. Tugasmu sekarang adalah bertahan hidup agar Kerajaan ini punya harapan. Archmage Ruang-Waktu adalah target utama Valerius! Jika kau jatuh, semuanya berakhir."

Emi tanpa ragu mengaktifkan Mana Anginnya, menampar wajah Lyra dengan Mana yang dingin, menyalurkan energi kepada Lyra untuk mengatasi syoknya.

"sekarang!"

Emi membantu Aen.

Mereka bertindak secara paksa. Aen mengangkat Lyra yang masih lemah dan penuh penolakan ke dalam gendongannya. Lyra, yang biasanya tangguh, kini terlalu tenggelam dalam keputusasaan untuk melawan.

Aen dan Emi segera melesat dari reruntuhan Akademi Elorick, menuju First Grail, dengan tujuan akhir Heaven Grail, zona teraman di Sincorta, untuk evakuasi ke kota Rosania.

Mereka bergerak melalui jalan-jalan Middle Grail yang biasanya tenang. Keadaan Distrik Sona yang berdekatan sangat kacau. Asap mengepul di mana-mana, berasal dari panah-panah api yang menghantam Distrik Alexa.

Pasukan Valerius sudah beraksi. Mereka bergerak cepat, menjarah, dan menghancurkan infrastruktur. Pasukan Valerius tidak mencari pertarungan satu lawan satu, melainkan melakukan serangan terkoordinasi untuk melumpuhkan pertahanan.

Pendekar militer Elemendorf sudah diturunkan. Mereka bertarung dengan berani di jalan-jalan, tetapi jumlah mereka kalah banyak dan mereka tidak siap menghadapi agresi sebesar ini.

Aen menggendong Lyra yang masih gemetar, menerobos kerumunan warga sipil yang panik, yang kini berlarian menuju Heaven Grail. Emi berlari di belakang mereka, sesekali merapal Mana Angin dan Es untuk membersihkan jalur dari puing-puing atau menahan guncangan dari ledakan di kejauhan.

Mereka harus mencapai Heaven Grail, gerbang terakhir. Setelah itu, mereka akan melakukan perjalanan panjang ke Rosania, kota yang berada jauh di belakang Sincorta, tempat aman yang tidak akan mudah dicapai oleh Valerius.

Aen Pendragon, dengan bahu yang berlumuran darah dan napas yang terengah-engah, akhirnya mencapai gerbang belakang Heaven Grail. Lyra masih berada dalam gendongannya, tubuhnya lemas karena syok dan kelelahan Mana emosional. Emi Altera mengikuti di belakang, Mana-nya siap untuk mempertahankan mereka dari serangan mendadak.

Heaven Grail, jantung kekuasaan Elemendorf, seharusnya menjadi benteng yang tenang. Namun, di gerbang belakang, terlihat pemandangan yang kacau balau namun teratur: banyak kereta kuda mewah dan para bangsawan berpangkat tinggi sedang terburu-buru melewati gerbang menuju jalan pelarian. Para pedagang kaya juga ikut menyelinap di antara kerumunan, membawa serta harta benda mereka.

Aen, dengan Mana Anginnya yang sakit, berusaha mencapai gerbang. Matanya tertuju pada sebuah kereta kuda besar dan kokoh yang baru saja akan melaju keluar, jelas disiapkan untuk perjalanan jarak jauh.

Saat mereka mendekat, Aen terkejut melihat dua sosok yang berdiri di samping kereta itu, mengawasi proses evakuasi dengan tatapan yang tenang namun tegas.

Itu adalah Marlina Von Elemendorf dan Eminan Von Elemendorf, nenek dan kakek Lyra, yang juga Duke dan Duchess Kerajaan Elemendorf. Mereka belum naik ke kereta.

"Nenek! Kakek!"

Aen berteriak, suaranya parau karena kelelahan.

Marlina, yang memiliki mata tajam seorang Ratu, segera berbalik. Matanya melebar melihat kondisi Aen yang terluka dan Lyra yang tidak berdaya dalam gendongannya.

"Lyra!"

Marlina bergegas mendekat. Eminan, yang posturnya masih kokoh meskipun sudah tua, ikut menyusul.

"Apa yang terjadi di Akademi?"

tanya Eminan, nadanya mendesak, matanya tertuju pada darah di baju Aen dan Lyra.

"Gilga... Archmage Darah... pengkhianatan... Valerius!"

kata Aen, sulit untuk menyusun kalimat lengkap.

"Solosa tewas. Ini invasi total! Pertempuran Sona!"

Marlina tidak membuang waktu untuk berteriak atau histeris. Sebagai mantan Ratu, dia adalah seorang strategis.

"Sihir Jiwa, Pasti"

bisik Marlina.

"Dia menggunakan Gulungan Sihir Jiwa. Cepat! Masukkan Lyra ke dalam kereta!"

Aen dengan lembut menyerahkan Lyra kepada Marlina. Lyra, yang merasakan sentuhan lembut neneknya, akhirnya membuka matanya.

"Nenek... Gilga..."

bisik Lyra, air mata mengalir lagi.

Marlina memeluk Lyra erat-erat.

"Aku tahu, Sayang. Aku tahu. Racel benar. Dia seharusnya tidak pernah membawamu ke sini." Marlina menatap Aen.

"Bawa dia masuk, Tuan Pendragon. Nona Altera, terima kasih atas bantuanmu. Kalian berdua akan ikut kami. Kita harus meninggalkan Sincorta."

Eminan memberi perintah kepada pengawal yang tersisa.

"Kita akan menuju Rosania. Itu adalah kota militer terisolasi, benteng terakhir kita. Jaga Duke dan Duchess dengan nyawa kalian!"

Aen dan Emi segera masuk ke dalam kereta kuda yang mewah itu. Di dalamnya, Lyra segera tersandar di bahu Marlina, Mana-nya yang bergolak perlahan ditenangkan oleh kehadiran sang Duchess.

Marlina melihat ke arah gerbang yang akan segera ditutup. Kekacauan dan api yang terlihat di kejauhan adalah bukti bahwa Kerajaan Elemendorf sedang jatuh.

Eminan duduk di seberang mereka, wajahnya dingin dan penuh tekad. Dia mengangguk pada Marlina, menyiratkan bahwa mereka harus pergi sekarang.

Kereta kuda besar itu bergerak cepat, melewati gerbang belakang Heaven Grail yang tertutup dengan suara keras. Mereka meninggalkan kekacauan Middle Grail dan api Distrik Alexa di belakang mereka.

Lyra perlahan membuka matanya. Syok dan kelelahan Mana-nya mulai surut, digantikan oleh kesadaran yang tajam dan rasa sakit yang menusuk. Dia mendorong tubuhnya sedikit, duduk tegak di pelukan neneknya.

Hal pertama yang keluar dari bibirnya, dengan suara parau yang penuh kekhawatiran, adalah nama Gilga.

"Nenek... di mana Gilga?"

tanya Lyra, matanya yang hijau zamrud mencari di sekeliling.

"Dia... apakah dia ikut? Dia terluka parah di gudang itu, dan sekarang dia ada di Lapangan Akademi..."

Marlina hanya memeluk Lyra lebih erat.

"Sayangku. Tenanglah. Jangan pikirkan dia sekarang."

"Tidak, aku harus tahu!"

desak Lyra, mulai panik.

"Mana Mana Darahnya sangat terkorupsi! Dia tidak sengaja! Dia pasti dipaksa oleh Valerius! Di mana dia sekarang, Nenek?"

Eminan, yang biasanya tenang, menghela napas berat.

"Lyra, dia tidak bersama kita. Dia... dia adalah panglima serangan itu. Dia yang meluncurkan proyektil darah."

Kenyataan itu menghantam Lyra. Dia mengingat senyum dingin Gilgamesh, tato sihir jiwa di tangan Gilga, dan suara janji yang dikhianati.

"Tidak!"

teriak Lyra. Dia mendorong tubuhnya dari Marlina dan beringsut ke sudut kereta.

"Dia tidak mungkin! Gilga berjanji! Dia adalah bentengku! Dia bilang dia mencintaiku! Dia tidak mungkin membunuh! Dia tidak mungkin melukai semua orang itu!"

Lyra menggelengkan kepalanya keras-keras, seolah ingin mengguncang kebenaran yang mengerikan itu keluar dari pikirannya.

"Valerius... Valerius yang mengendalikan. Dia pasti mengendalikan Gilga melalui Gulungan Sihir Jiwa!"

Lyra mencoba berpegangan pada harapan terakhirnya.

Marlina merangkak mendekati Lyra, memeluknya lagi.

"Mungkin. Tapi yang jelas, saat ini, dia adalah senjata Valerius. Kita tidak bisa menyelamatkannya sekarang, Lyra."

Tiba-tiba, mata Lyra melebar. Kengerian pribadi segera digantikan oleh ketakutan keluarga.

"Papa? Mama?"

tanya Lyra, suaranya kini bergetar ketakutan.

"Di mana Papa dan Mama? Racel dan Erin. Mereka di perbatasan, kan? Apa yang terjadi pada mereka, Kakek?"

Eminan dan Marlina saling pandang. Keheningan mereka adalah jawaban yang menghancurkan.

"Lyra,"

kata Eminan, suaranya lembut tetapi penuh kesedihan.

"Kami belum bisa menghubungi mereka. Racel ada di perbatasan, dan dengan serangan mendadak ini, jalur komunikasi terputus. Kami harus berasumsi bahwa mereka sedang diserang habis-habisan."

"Kami sudah mengirim utusan sihir sebelum kami pergi,"

tambah Marlina, air matanya mulai menetes.

"Tetapi mereka tidak merespons. Sayangku, ayah dan ibumu mungkin... mungkin harus bertarung sendirian di perbatasan sekarang. Dan kami harus fokus menyelamatkanmu."

Kekuatan Lyra runtuh total. Ayahnya, Dewa Pedang, terisolasi di perbatasan yang diserang. Ibunya, Archmage yang menulis tentang Mana, mungkin berada di sisinya. Lyra, yang berjanji akan melindungi keluarganya, kini malah lari.

Lyra tersedu-sedu, memeluk erat Marlina.

"Aku gagal, Nenek,"

isak Lyra, kepalanya terkubur di bahu Marlina.

"Aku gagal melindungi mereka. Aku lari. Aku tidak bisa menyelamatkan Bart, aku tidak bisa menyelamatkan Gilga dari Valerius, dan sekarang aku meninggalkan Papa dan Mama!"

"Tidak, Lyra,"

bisik Marlina, membelai rambut merah muda Lyra.

"Kau tidak gagal. Kau adalah harapan Elemendorf. Kau harus hidup. Dan kami, kakek dan nenekmu, tidak akan membiarkan Valerius mengambilmu. Kami akan melindungi janji terakhir kami pada Racel dan Erin."

Lyra menangis sejadi-jadinya, kesedihan, penyesalan, dan pengkhianatan Gilga menyatu menjadi satu trauma yang mengerikan. Di sudut kereta, Aen melihat Lyra, hati militernya mencelos. Emi Altera hanya menatap ke luar jendela, matanya memancarkan tekad dingin: perang baru telah dimulai.

1
Anonymous
ceritanya wahhh, sih. cuma kayaknya penulisan nya bisa lebih emosional lagi
Anonymous
gila plot twist nya
Moge
episode 4 udah mulai seru jir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!