Mess Up!
Seperti judulnya, kisah cinta Ben tidak pernah berjalan mulus—hanya penuh kekacauan.
Hidupnya tenang sebelum ia bertemu Lya, seorang perempuan dengan trauma dan masa lalu yang berat. Pertemuan itu membuka jalan pada segalanya: penyembuhan yang rapuh, obsesi yang tak terkendali, ledakan amarah, hingga kehancuran.
Di balik kekacauan yang nyaris meluluhlantakkan mental Ben, justru tumbuh ikatan cinta yang semakin dalam, semakin kuat—dan tak terpisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cemployn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 23 Ke Jalan Berbeda
Lya dan kedua orang tuanya berdiri di sisi makam dengan nisan batu berukir nama Anna. Hari ini, untuk pertama kalinya mereka menatap sosok yang kini hanya tersisa sebagai nama di atas batu.
Makam itu tampak terawat—rindang dan bersih—berkat Leo, satu-satunya orang yang selama ini setia datang. Dialah yang selalu meletakkan bunga-bunga segar setiap kali hari peringatan kematian tiba.
"Maaf karena baru mengunjungimu sekarang, Anna..." ucap Ibu Lya pelan.
Kondisi beliau kini mulai membaik—cukup kuat untuk berjalan ke pemakaman di hari Minggu yang tenang itu.
Untuk pertama kalinya, mereka kembali lengkap, berempat.
Bersama dalam rasa pengertian dan memaafkan yang perlahan menyembuhkan hubungan keluarga itu, meski satu di antara mereka takkan pernah tahu—karena telah terlelap dalam mimpi abadi.
Ben senantiasa berada di sana, hanya saja berdiri agak jauh, tidak ingin mengganggu reuni keluarga kecil tersebut. Mengamati dengan perasaan lega yang bercampur haru.
"Selain suka mendesak, kau itu benar-benar tukang ikut campur." Suara itu mengacaukan haru di hati Ben.
Dengan sinis pria berstatus kekasih Lya itu melirik ke sisi kanannya, tempat berdirinya Leo, yang ditempeli perekat luka di beberapa bagian wajahnya. Seperti habis dipukul.
"Apa yang terjadi padamu?" tanya Ben, mengurungkan niat untuk bersifat jutek pada pria tinggi itu.
Leo melirik sinis sejenak sebelum membuang nafas panjang. "Bukan urusanmu." Urat wajah Ben mengencang, emosinya sukses naik mendapatkan jawaban yang sudah ia duga itu dari Leo.
"Yah, tidak peduli juga." Ben memilih untuk tidak peduli. Nada sinis pun terlontar pada kalimatnya. "Hanya saja... Kurasa Lya masih peduli padamu. Aku tidak suka kalau dia jadi menaruh khawatir padamu setelah melihat wajah babak belur itu," sambung Ben, menggosok tengkuknya dengan mata dingin yang menatap lurus ke depan.
Leo memandang dengan kesal. “Sifatmu itu menyebalkan, kau tahu?"
Cambukan petir yang ganas seakan tampak di antara keduanya, menjadi latar yang sempurna bagi permusuhan yang kian menegang.
Ben tidak menghiraukan olok-olok Leo. Ia berdiri, menyilangkan tangan di dada sambil bersandar di batang pohon tebal di tempat berdirinya. "Aku merasa semakin aneh jika menyangkut Lya. Rasanya ingin kumonopoli, untuk diriku sendiri." Ben menyalurkan perasaannya tanpa diminta, hanya disimak dalam diam oleh Leo.
"Anak itu... Jika mendengarnya, pasti dia akan lari ketakutan, kan?" Ben memijat kepalanya. Merasa pusing sendiri pada khayalan masa depan yang bahkan tidak pasti akan terjadi.
Angin berhembus cukup kencang. Mata kedua pria di bawah pohon tertuju pada keluarga Lya yang tampak berjalan ke arah mereka. Ben dan Leo segera berdiri tegak. Begitu mendekat, keluarga kecil itu reflek menaruh perhatian pada wajah Leo yang penuh plester luka.
"Kau pulang kampung hanya untuk dipukuli Ayahmu?" tanya Lya datar. Tidak ada bentuk perhatian yang ditakutkan Ben.
Leo tidak menjawab, hanya menggosok lehernya canggung. Tidak bisa membantah perkataan Lya. Kenyataannya, kemarin setelah memasuki rumah, ia langsung terlibat perdebatan dengan sang Ayah.
"Leo..." panggil Ayah Lya sebelum ia membungkukan badannya 90° bersama Ibu. "Terimakasih karena telah menjaga dua putri kami selama ini."
Mata Leo terbuka lebar. Ia tak pernah menyangka akan mendengar ucapan seperti itu dari orang-orang yang selama ini ia anggap berhati dingin. Perubahan yang begitu mendadak itu membuatnya hanya mampu menyunggingkan senyum pahit.
"Bukankah dunia kini menjadi lebih baik?" Entah sindiran atau hanya omong kosong. Tidak ada yang merespon kalimat tersebut.
Leo menghela napas panjang, lalu menunduk membalas hormat kedua orang tua Lya—tidak serendah mereka, namun cukup menunjukkan hormat.
“Aku tidak pantas menerima terima kasih itu,” katanya lirih. “Karena pada akhirnya, aku tak benar-benar melakukan apa pun.”
Setelah mengucapkan hal itu, Leo berdiri tegak dan menyerahkan sebuket bunga kepada Lya—bunga yang sejak tadi ia genggam.
“Ini akan menjadi kunjungan terakhirku ke makam Anna…”
Ucapan itu membuat keempat orang yang mendengarnya sontak menatap Leo dengan pupil yang melebar, diisi oleh ketidak percayaan.
Leo tersenyum miring, disertai dengusan kecil. “Jangan menatapku begitu. Anna sudah punya kalian yang datang untuknya,” katanya, suaranya terdengar hangat sekaligus getir.
Ia berbalik, menatap jalan setapak yang membentang di depan. “Aku juga… sudah saatnya melangkah maju.”
Dan dengan langkah yang tenang, ia pergi—meninggalkan pemakaman, bersama kenangan yang perlahan ia relakan.
Ben dan Lya menatap jalur kepergian Leo, merasakan perasaan campur aduk yang mereka pilih untuk tidak dihiraukan. Setidaknya kini semuanya terasa lebih baik—dan itu saja sudah cukup.
Ben mengulurkan tangannya pada Lya, disertai senyum lebar yang secerah matahari siang itu, menyilaukan hingga membuat panas menjalar di wajah Lya.
“Ayo, kita kembali, Lya.”
“Maaf sudah merepotkan,” ucap Ibu Lya pelan Pada Ben.
“Tidak apa-apa, Bu,” jawab Ben sambil menggeleng ringan. “Saya senang bisa membantu.”
Lya menatap Ben sekilas, lalu tersenyum kecil. Di balik semua yang telah terjadi, hari itu terasa seperti babak baru—bagi mereka semua.
“Maaf karena tidak bisa mengantarmu ke kota rantau, Lya. Kondisi Ibu masih belum cukup kuat untuk menempuh perjalanan sejauh itu.”
Kini giliran Ayahnya yang bersuara. Tatapan matanya kemudian jatuh pada sosok Ben—diam, menilai.
“Tolong jaga putriku…” ucapannya terdengar pelan, namun cukup untuk meninggalkan kesan seperti sebuah restu bagi Ben.
“Jangan khawatir,” jawab Ben dengan nada mantap. “Akan kulakukan.”
Setelah itu, mereka pun berpisah, menempuh jalan masing-masing. Orang tua Lya kembali ke rumah dengan mobil mereka, sementara Ben dan Lya melanjutkan perjalanan menuju kota rantau.
Setelah perpisahan singkat—sekadar lambaian tangan dari mobil masing-masing—Lya dan Ben kini benar-benar hanya berdua.
Tiba-tiba, Lya merasa ada yang terlupakan. Ia menoleh, memutar tubuhnya untuk melihat ke kursi belakang.
“Lulu… tidak ikut kita?” tanyanya heran.
Ekspresi Ben tampak ragu. Ia menatap ke depan sambil mulai menjalankan mobilnya. “Anak itu… entahlah.” Melihat keraguan di wajah Ben, Lya memilih untuk tidak lagi bertanya. Sejak hari ketika Lulu bertengkar dengan Ayahnya, mereka memang tidak pernah melihatnya lagi.
Ben menatap Lya dengan wajah cemas. Semakin ia pikirkan, semakin jelas bahwa kekasihnya itu dikelilingi orang-orang berbahaya.
Pertama, Leo. Sejak tahu Lya dan Leo sempat pulang bersama ke kampung halaman tempo hari, rasa khawatir Ben tak pernah benar-benar reda. Ia masih mengingat jelas bagaimana Leo pernah hampir menyerang Lya saat itu.
Namun, pertemuan barusan membuat Ben sedikit lebih tenang. Setidaknya, Leo bukan lagi ancaman dari kelihatannya.
Tapi memaafkan? Belum bisa Ben lakukan. Bahkan ia belum sempat melayangkan tinju pada wajah cantik itu, sebagai balasan telah membuat Lya menangis.
"Suatu saat, akan kulakukan..." gumam Ben pelan.
"Kamu bicara sesuatu?" tanya Lya heran, Ben menggeleng cepat.
"No, no, tidak ada, kok," sangkal Ben, disusul tawa kaku yang segera mati di udara.
Hening kembali merayap di antara mereka. Namun kepala Ben belum berhenti bekerja—rasa cemasnya kini bergeser, bukan lagi pada Leo, tapi pada gadis bernama Lulu.
Orang lainnya yang menyukai Lya. Perasaan was-was timbul, lebih dalam ketika ia menghadapi Leo. Pria teman kecil itu memang aneh, tapi Lulu seperti menyimpan sesuatu yang lebih berbahaya lagi.
“Lya,” panggil Ben beberapa detik kemudian. Tatapannya serius, membuat perempuan di sampingnya menelan ludah gugup.
“Lulu memang temanmu… tapi aku ingin kamu sedikit menjauh darinya,” pinta Ben.
Ia menepikan mobil ke bahu jalan, lalu bersandar ke depan pada kemudinya. Tatapannya terarah penuh pada Lya—penuh cemas, penuh memelas.
“Aku cemburu, kau tahu? Maukah menuruti permintaan egoisku yang ini, Lya?”
Ben sengaja memasang wajah itu—wajah yang ia tahu selalu berhasil meluluhkan hati Lya.
Dan benar saja, senjatanya kembali ampuh. Dengan wajah tampan, bulu mata lentik, serta ekspresi polos bak anak anjing yang meminta dibelai—belum lagi bibir tebalnya yang seolah menantang untuk disentuh—semua itu membuat Lya tak kuasa menolak. Ia mengiyakan permintaan Ben, meski sejujurnya, ia akan mengabulkan apa pun yang diminta pria itu.
Lya mengangkat tangannya, sejajar dengan wajah, lalu menggerakkan telapaknya naik turun—gestur halus yang meminta Ben untuk mendekat.
Ben menurut, masih dengan wajah bingung. Ia mencondongkan tubuh, mendekati Lya seperti yang diminta.
Sedetik kemudian, kerah bajunya ditarik, dan bibirnya disergap—gerakan cepat dari bibir Lya yang membuatnya membeku di tempat.
Ben menyeringai, tidak seperti sebelumnya ia sengaja pasif, kini ia ingin mengambil alih. Tapi ketika hendak memeluk tubuh Lya dan memperdalam tautan mereka, Lya lebih dulu mengigit bibir Ben.
Membuat pria itu sempat melenguh. Mulutnya reflek terbuka, sehingga Lya memakai kesempatan itu untuk masuk lebih dalam menyusuri rongga mulut Ben.
Sekali lagi, Ben dibuat kaget oleh sisi agresif Lya yang sesekali muncul tanpa diduga. Namun keterkejutan itu tak bertahan lama; dalam hitungan menit, rasa tertantang mengambil alih. Ben pun membalas, mengikuti ritme permainan Lya.
Seperti biasanya, ciuman itu berakhir ketika napas Lya mulai tersisa pendek.
Keheningan menyelimuti mereka, hanya tersisa sisa hangat di Antara napas yang belum sempat teratur.
"Ayo kita kembali..." lirih Ben. Matanya tampak mabuk berkat permainan singkat mereka.
Ketika Lya tersenyum, matanya ikut tersenyum. Ia mempertemukan kening mereka sekilas sebelum akhirnya menjauhkan jarak. "Menyetir lah dengan hati-hati. Aku akan mencoba untuk tidak tidur. Menemanimu."
"Terimakasih." Ben membalas dengan senyuman yang tidak kalah lebar, dengan wajah yang masih panas. Mobil pun kembali melaju di jalanan panjang.
***
Perjalanan panjang akhirnya usai saat matahari tenggelam di barat. Cahayanya meredup perlahan, seakan diserap langit yang mulai menggelap, menggantungkan tirai hitamnya.
Di tengah kota, tepatnya di distrik hiburan—tempat cahaya bintang seolah tak pernah padam—Leo menghentikan mobilnya. Ia turun, memperlihatkan sosoknya pada dunia; indah, meski wajahnya masih dipenuhi plester luka.
Kakinya melangkah pasti ke satu tujuan. Melewati tangga turun, membuka pintu hitam yang memancarkan kesan misterius. Di sambut interior yang familiar. Suasana dengan kesan dewasa yang menenangkan.
Segera setelah berada di dalam bar, Leo menolehkan kepalanya ke sana kemari, sibuk mencari seseorang. Pengunjung bar tidak begitu banyak, hingga tidak sulit mencari sosok yang ia ingin temui. Hanya saja, sosok itu memang tidak berada di sana.
Leo menunduk, rasa kecewa tergambar jelas di wajahnya. Layar ponselnya menyala, menampilkan deretan pesan penuh penyesalan yang baru saja ia kirim pada seseorang yang tak kunjung membalas tersebut. Bahkan Leo sampai memakai emoji lucu agar berharap orang itu luluh setidaknya sedikit.
"Aku terlalu yakin... Padahal mengenalnya saja tidak..." gumam Leo merasa bodoh, ia memilih duduk di kursi yang menghadap meja bar.
Ia tidak berniat mabuk sehingga hanya memesan minuman tanpa ada kadar alkoholnya.
Tanpa menatap bartender, Leo memesan minuman sembarang. Hanya satu permintaan yang ia ucapkan—tanpa alkohol.
Mata Leo masih setia terpaku pada layar ponselnya yang berkali-kali ia nyalakan dan matikan. Ia hanya berharap ada tanda ‘dibaca’ dari seberang sana. Wajahnya menampakkan kekecewaan yang sama, bahkan setelah sepuluh kali mencoba hal yang sama.
"Ini minuman pesanan anda."
Tidak lama seseorang datang, memberikan minuman yang di pesan Leo. Spontan pria itu mendongak, matanya segera membulat tanpa aba-aba.
Sosok yang membuat Leo bereaksi seperti itu tersenyum miring, meski sorot matanya pahit.
“Minuman tanpa alkohol? Bukankah kau seperti bayi?” sindir Vincent—pria yang tengah dicari Leo—dengan nada bercanda.
Leo merasakan lega. Wajahnya sempat menegang sesaat, namun segera tergantikan oleh dengus tawa.
“Aku masih harus mengemudi,” balas Leo santai.
Vincent hanya menatapnya, tidak menjawab, tapi sudut bibirnya terangkat sedikit—antara geli dan getir.
Tanpa mengatakan apa pun, Vincent berbalik, hendak meninggalkan Leo, namun segera dihentikan. Leo berdiri dari kursinya dan menggenggam tangan Vincent yang berada di seberang meja bar.
"Aku mengirimi banyak pesan. Bacalah." Leo berucap penuh nada berharap.
Vincent berbalik, menatap Leo dengan mata tegasnya sebelum memberikan satu sentilan tiba-tiba yang cukup keras di kening Leo. Membuat pria bersurai hitam tersebut mengedipkan mata berulang kali, syok.
"Aku sedang bekerja," ujar Vincent. "Kau ingin aku dimarahi karena melihat ponsel saat bekerja?" sambungnya.
Leo menggeleng pelan. “Baiklah... kapan pun kamu selesai, aku akan menunggumu,” ucapnya, dengan wajah memelas yang sulit diabaikan.
Ekspresi itu sukses meluluhkan hati Vincent—hati yang seharusnya ia pertahankan demi melanjutkan permainan tarik-ulur ini.
Demi tidak menunjukan emosinya, Vincent menarik tangannya, kemudian berbalik tanpa menatap lebih mata mata Leo. "Aku akan lama. Tidak usah repot, pulanglah jika mau pulang." Sebisa mungkin Vincent bernada sinis.
Leo tidak sempat berkata apa pun lagi. Vincent sudah masuk ke ruang staff yang tak bisa diraih. Ia pun hanya bisa kembali duduk di kursinya, meneguk tanpa bosan minuman yang diantarkan Vincent.
Niatnya hanya ingin duduk di sana, mengamati Vincent bekerja. Namun anehnya, pria bersurai merah itu tak kunjung keluar lagi dari pintu staf. Leo menghela napas, menahan sesuatu yang sulit dijelaskan. Senyum pahit muncul di wajahnya sebelum ia berdiri dan melangkah keluar dari bar.
Begitu melangkah keluar, langkah Leo terhenti. Di ujung tangga atas, seseorang berdiri menghadangnya.
Awalnya sosok itu tampak gelap, siluetnya membelakangi cahaya gemerlap dari gedung-gedung di sekitar sana.
"Kau bilang ingin menunggu, bukan?"
Suara yang familiar itu membuat Leo dengan cepat melangkah maju, menaiki anak tangga dengan tergesa. Di puncak sana, Vincent berdiri—pria bersurai merah dengan potongan pendek itu tersenyum, senyuman antusias yang langsung mengembalikan kenangan Leo.
Senyuman yang sama, yang sebelumnya sering ia lihat saat mereka menghabiskan waktu bersama di rumah sakit—sebelum semuanya menjauh karena kesalahan yang ia buat.
"Maafkan aku..." ucap Leo, nafasnya tersengal, wajahnya penuh rasa bersalah. "Aku kekanakan, melampiaskan rasa kesalku padamu... Menyakitimu... Maafkan aku."
Vincent diam, tatapannya lurus pada iris kecoklatan di depannya, tengah menilai. Membuat Leo cukup gugup berdiri di sana.
Beberapa detik kemudian, Vincent mendenguskan tawa. Merasa geli melihat sosok Leo yang memelas.
"Ekspresimu sekarang, lebih seperti manusia, kau tahu?" goda Vincent, tangannya menyentil pelan kening Leo.
Leo menatap dengan tampang bodoh, membuat Vincent tak bisa menahan tawa. Ada rasa segar melihat sosok pria di depannya yang kini benar-benar menyesal. Perasaannya pun sedikit lebih ringan setelah sempat membaca deretan pesan dari Leo—penuh permintaan maaf yang tulus sekaligus konyol.
Sungguh menggemaskan, pikir Vincent, seketika membuatnya lupa pada semua kesalahan yang pernah dilakukan Leo.
"Sungguh, maafkan aku... Aku bahkan tidak mengenalmu tapi menilaimu dengan kasar." Leo memeluk pria itu, pelukan yang terasa posesif karena terlalu erat.
Vincent menepuk pelan kepala Leo, pandangannya menatap ke atas, merasa senang dengan banyak alasan. "Aku ini memang murahan, kan? Aku memaafkanmu dengan mudah."
Leo menggeleng dalam pelukan itu, "Tidak, maafkan aku, kau tidak seperti itu." Vincent kembali terkekeh, kemudian memilih menikmati moment tersebut sedikit lebih lama.
Malam itu, dua teman masa kecil dengan takdir yang penuh luka akhirnya menapak keluar dari dunia kecil mereka. Mereka berjalan di jalan berbeda menuju penyembuhan—penyembuhan yang nyata, hadir dalam sosok yang tersenyum tulus, yang memeluk mereka tanpa syarat, dan seolah mengatakan bahwa segala luka itu boleh perlahan reda.
Tidak perlu berlarut dalam rasa bersalah.
Seseorang yang pergi pun, berharap keduanya bahagia.
Semua orang pantas menerima kasih sayang dan rasa damai dalam hidup mereka.
.
.
.
To be Continue