NovelToon NovelToon
TamaSora (Friend With Benefits)

TamaSora (Friend With Benefits)

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / One Night Stand / Playboy / Diam-Diam Cinta / Kehidupan di Kantor / Office Romance
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Mama Mima

"Cinta ini tak pernah punya nama... tapi juga tak pernah benar-benar pergi."

Sora tahu sejak awal, hubungannya dengan Tama tak akan berakhir bahagia. Sebagai atasannya, Tama tak pernah menjanjikan apa-apa—kecuali hari-hari penuh gairah.

Dan segalanya semakin kacau saat Tama tiba-tiba menggandeng wanita lain—Giselle, anak baru yang bahkan belum sebulan bergabung di tim mereka. Hancur dan merasa dikhianati, Sora memutuskan menjauh... tanpa tahu bahwa semuanya hanyalah sandiwara.

Tama punya misi. Dan hanya dengan mendekati Giselle, dia bisa menemukan kunci untuk menyelamatkan perusahaan dari ancaman dalam bayang-bayang.

Namun di tengah kebohongan dan intrik kantor, cinta yang selama ini ditekan mulai menuntut untuk diakui. Bisakah kebenaran menyatukan mereka kembali? Atau justru menghancurkan keduanya untuk selamanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mima, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Coba-coba.

Semua yang duduk di tribun menoleh ke arah sumber suara. Sedangkan yang sedang berada di lapangan, mengangkat kepala demi melihat ke atas tribun di mana Tama dan Giselle sudah berdiri di baris kedua. Tempat mereka duduk sejak tadi. Tidak ada yang paham arti ucapan laki-laki yang kini menatap Julian dan Sora dengan marah. Apakah karena adegan ciuman barusan?

"Maksud lo apa?" Julian berjalan maju, menantang dengan kedua tangan berada di pinggang. Berdiri di depan Tama yang jelas posisinya lebih tinggi dari dia.

"Eh... eh... , lo berdua mau apa hoi!" Rupanya Axel dan Jo menyadari keheningan di lapangan sebelah karena ultimatum dari Tama. Mereka langsung menghentikan permainan.

"Sejak kapan lo punya hak nutup-nutup aula?" Julian kembali melanjutkan. Dia ingin melihat seberani apa Tama menunjukkan kegilaannya hanya karena terbakar api cemburu.

"Gue juga bisa pindahin lo ke divisi lain kalau gue mau." Tama menjawab dengan santai namun tetap dengan aura yang menakutkan. Dan itu sukses membuat Julian kehabisan kata-kata. Sepertinya sang ayah sudah memberinya kekuasaan mengingat statusnya sudah terungkap. Memang sih, setelah kasus Bambang ini selesai, besar kemungkinan Tama akan langsung didapuk untuk menggantikan sang ayah. Jadi dia sangat mengerti kenapa Tama bisa menunjukkan sifat nge-bossy-nya sekarang.

“Ya elah, Tam… kalau aulanya ditutup, kita-kita bakal olahraga di mana lagi dong?” Fabian menimpali tanpa ada rasa bersalah setelah membuat peraturan yang nyeleneh.

“Kayak gini yang lo bilang olahraga? Lo malahan nggak ngapa-ngapain sejak tadi, Fab. Cuma jadi provokator untuk kedua orang ini.” Tama menunjuk Sora dan Julian dengan dagunya. Tidak peduli jika orang-orang bisa membaca kecemburuan dalam sikap dan juga kalimat yang dia lontarkan.

Yang jelas dia tidak suka dengan apa yang sering terjadi di tempat ini. Bukankah dulu Sora dan Julian juga jadian gara-gara permainan ini? Sekalian dia tutup saja ketimbang terulang terus-menerus.

“Ya, ya, ya, my bad. Ini kesalahan gue. Gue janji nggak akan mengulangi itu lagi. Tapi jangan ditutup lah. Kasian anak-anak yang udah terlanjur senang main ke sini tiap sore.” Fabian meminta maaf demi keselamatan mereka semua. Dari pada harus cari tempat lain yang berbayar ‘kan?

Tama mendengar itu sambil menjatuhkan tatapannya pada Sora yang masih berdiri di lapangan. Sepertinya, sejak tadi pun Sora sedang memperhatikan dia. Sehingga saat tatap mereka bertemu, perempuan itu langsung berpaling ke arah lain. Ck. Cemen! Batin Tama.

“Gue serius. Kalau kalian memakai tempat ini sebagai ajang untuk pamer romantisme, gue akan benar-benar menutupnya secara permanen. Paham lo semua?”

Tidak ada yang berani menjawab. Bagi mereka itu terlalu berlebihan mengingat semua hanyalah untuk seru-seruan belaka. Tama sudah terlalu malas di sana. Dia beranjak pergi dengan Giselle yang mengekor di belakang.

“Dasar dianya aja yang jealous. Kambing emang.” Julian berdecak pelan namun bisa didengar Fabian, Sora dan orang yang ada di dekatnya.

“Masih belum move on aja dia? Bukannya dia yang duluan pacaran? Heran.” Fabian geleng-geleng kepala sambil tersenyum mengejek. Melihat bagaimana sikap Tama yang over begitu, jelas dia cemburu karena masih menaruh hati pada Sora.

“Biasalah, telat mikir.” Jo menanggapi dengan sedikit guyonan. Menimbulkan tawa di sekelilingnya.

Jika para pria menanggapi sikap Tama dengan santai, berbeda dengan Sora yang sejak tadi hanya diam saja. Sejujurnya dia tidak berekspektasi efek dari Julian mencium pelipisnya akan sedahsyat itu. Bagaimana kalau ciuman yang lebih intens? Hiiiyy, sepertinya Tama akan menghabisi Julian, mewakili malaikat pencabut nyawa. Seram!

Yang membuat Sora semakin tidak habis pikir adalah, apa Tama lupa siapa yang sedang berdiri di sebelahnya? Kenapa dia tidak menjaga perasaan sang kekasih? Bukankah dia harus menjaga mood Giselle agar tetap on track sampai misinya selesai? Selain itu, Sora khawatir Giselle akan berpikir negatif kepadanya.

Si Tama memang kadang-kadang nggak mikir, hufftt. Kalau kata si Jo, telat mikir. Ckk.

***

Jam delapan malam, Sora sampai di apartemen. Julian mengantarnya setelah rame-rame makan malam di warung tenda. Dia cukup senang malam ini. Tapi tahukah kalian? Merindukan seseorang di saat kalian merasa kesepian, itu adalah hal yang wajar. Namun merindukan dia di saat kita sedang berada di keramaian dan sedang bersenang-senang dengan banyak, it's another level.

Dia rindu Tama ada di setiap kebersamaannya dengan anak-anak. Setiap kali dia tertawa bersama Kayla, Axel, Jo dan Julian, sesungguhnya dia berharap ada Tama juga di antara mereka. Tapi mau bagaimana lagi. Sekarang keadaannya sedang seperti ini.

Sora melepas semua barang bawaannya. Paper bag berisi baju kantor dia kosongkan terlebih dahulu. Kemudian masuk ke dalam kamar untuk melepas tas dan juga pakaiannya. Dia gerah. Ingin mandi dan berendam dengan air hangat di dalam bath tub.

Namun sepertinya keinginan itu harus tertunda sejenak. Mendadak air hangat yang dia inginkan sama sekali tidak berfungsi. Padahal dia tidak pernah mematikan mesin mengingat akhir-akhir ini dia selalu pulang malam. Sora kebingungan. Apakah perlu bertanya ke bagian manajemen apartemen? Sepertinya perlu. Dia tidak ingin benda itu rusak permanen.

Perempuan itu sudah kembali memakai ulang kostum olah raganya karena harus menunggu petugas ledeng yang katanya akan segera on the way. Untungnya, dua menit kemudian bel apartemen berbunyi. Mereka cepat tanggap juga. Sora bergerak dari sofa menuju pintu.

“Katanya air panas di kamar mandi lo nggak berfungsi.”

Sora mematung di tempat. Ah, dia baru ingat kalau dia adalah pemilik bangunan ini.

“Iya. Dan gue nggak butuh owner untuk turun tangan. Cukup tukang ledengnya aja.”

Tama menerobos masuk tanpa permisi. Memangnya siapa yang akan menuntut?

“Tam! Lo ngapain?” Sora mengejar Tama yang tau-tau sudah masuk ke dalam kamar. Pintu apartemen terpaksa dia tutup dulu. Sesampainya di kamar mandi, dia mendapati laki-laki itu sudah mengutak-atik mesin air hangat miliknya.

“Tadi sore memang ada maintenance. Sepertinya karena lo nggak ada di apartemen, aliran listrik lo memang sengaja dimatiin dari meteran luar. Dan setelah mereka hidupin lagi, mesinnya udah terlalu lama berhenti bekerja. Jadi, butuh waktu. Lo tunggu sekitar satu jam lagi aja. Pasti udah bisa.”

Oh begitu. Monolog Sora dalam hati. Namun yang dilihat Tama, dia hanya mengangguk sekali tanpa bersuara.

“Paham?”

“Oke, paham. Makasih,” jawan Sora tanpa berani membalas tatapan pria itu. Sejak kemunculannya tadi sore dengan model rambut yang baru, jantung Sora sudah sangat berdebar melihat laki-laki itu. Sangat tampan dan mempesona. Dia takut tidak akan kuat menahan ekspresi kagumnya kalau menatap Tama terlalu lama.

Tama pun tidak menjawab lagi. Dia keluar dari kamar mandi dan juga kamar. Sora berjalan pelan di belakangnya, siap-siap mengunci pintu jika Tama sudah keluar.

Ceklek.

Kepala wanita itu terangkat. Barusan dia mendengar suara kunci diputar. Dan sekarang, Tama sudah berdiri menghadap kepadanya dengan posisi bersandar di daun pintu sambil bersidekap di dada. What… the… hell! Sora memilih diam di tempat. Mungkin berjarak dua meter dari Tama.

“Lo enjoy malam ini?” Laki-laki itu memulai obrolan dengan pertanyaan yang sudah jelas menjurus ke mana.

“Sama kayak lo enjoy hari lo. Btw lo ngapain ngunci-ngunci kamar gue?”

“Akhir-akhir ini gue nggak pernah enjoy sama hidup gue. Jangan sok tau.”

Sora tercekat. Masak sih??

“Lo suka dicium sama Julian?” Kembali bertanya straight to the point, tanpa basa basi busuk. Ditatapnya Sora dengan begitu tajam.

“Wajar kan dicium pacar sendiri?” balas Sora tajam. Dia yakin Tama akan langsung paham maksudnya apa. Tentu saja tentang ciuman yang juga laki-laki itu dapatkan dari Giselle.

“Lo nyindir gue?”

Sora mengangkat bahu. Mikir aja sendiri!

“Gimana Giselle nyium gue tadi, beda sama gimana Julian nyium lo. Lo berdua sama-sama mau. Saling lempar godaan verbal. Gue enggak. Giselle sengaja biar lo liat. Beberapa saat sebelum dia cium gue, gue udah suruh dia duduk dan jauh-jauh dari gue.” Tama menjelaskan dengan tenang. Namun dadanya tetap bergejolak tiap mengingat adegan cium pelipis yang hanya sepersekian detik itu.

Dan kata-kata itu sukses membuat Sora kembali terdiam. Benarkah seperti itu? Tapi... kalaupun iya, untuk apa juga dia tau?

“Gue nggak ada urusan dengan lo berdua, Tam. Lo nggak harus menjelaskan apapun.”

“Tapi lo ada urusan sama gue, Nona. Semakin sering lo salah paham, semakin sulit kita menemukan jalan untuk kembali.”

Hening.

Keduanya diam untuk beberapa saat.

“Maju sini.” Tama memberi perintah.

“Ngapain?”

“Gue suruh sini, ke sini, Sora.”

“Lo emang yang punya apartemen ini ya, tapi gue bayar. Unit ini dan segala isinya adalah otoritas gue sampai gue out. Dan gue berhak untuk nggak ikutin mau lo. Jangan sampai sikap nge-bossy lo di kantor kebawa-bawa sampai ke sini juga!” Perempuan itu menghardik dengan kencang. Dia kesal Tama terkesan ingin berkuasa di manapun dia berada.

“Nge-bossy?”

“Seenaknya pengen nutup aula, itu apa lagi namanya kalau bukan nge-bossy?!”

Tama mengerti. Mengangguk-angguk sambil mengusap batang hidung yang mancung.

“Lo masih bisa bilang gue seenaknya walau lo tau alasannya? Lo tau gue nggak suka lihat lo sama Julian.”

“Tapi nggak impulsif gitu juga, Tama! Dan satu hal yang paling penting. Lo menempatkan gue dalam posisi bahaya! Lo udah sukses membuat Giselle akan semakin membenci gue. Setelah ini, gue nggak tau lagi dia bakal nganggap gue kayak apa. Lo pernah nggak mikirin gue?!”

Dada Tama bagai tertohok.

“Jadi... gue salah lagi? Bisa nggak lo lihat dari sisi gue juga? Lo bukan orang yang duduk di tribun dan melihat interaksi cewek yang lo suka begitu intim dengan pria lain! Lo nggak tau kan sebesar apa api cemburu gue, Sora?” Kedua mata elang Tama menusuk ke dalam netra kecoklatan itu. Bodoh amat dibilang nggak bisa move on. Kenyataannya dia memang tidak bisa melupakan Sora begitu saja.

Yang ditanya menelan ludah kasar sambil menenangkan diri. Dia sadar betul kalau Tama cemburu. Laki-laki itu menunjukkannya dengan jelas. Dan Sora kembali berada di ambang kewarasan. Hati jelas tersanjung tapi otak menyuruh untuk jangan terlena!

“Dalam keadaan lo yang sekarang, simpan rasa cemburu lo dalam-dalam, Tam! Itu bukan hal yang penting! Lo butuh Giselle! Bukankah lo harus segera menyelesaikan urusan lo dengan pak Rahmat? Mau selama apa lagi bokap lo nungguin lo??”

“I need you more than I need Giselle, Sora cantik. Tapi lo selalu mendorong gue mundur.”

Kedua bola mata Sora berputar. Ini nggak akan selesai. Mereka akan berkutat di persoalan yang itu lagi, itu lagi. Setelah ucapan Tama itu, mereka sama-sama diam sejenak. Demi ketenangan diri masing-masing.

“Gue mau mandi. Lo kalau mau tetap di sini, terserah. Mau disuruh pergi ribuan kali pun lo akan tetap masuk karena lo punya akses—”

Tama bergerak cepat menarik dagu Sora dan menyatukan bibir mereka berdua. Secepat itu pula tangannya menahan pinggang Sora yang ramping agar melekat kepadanya.

“Hmpph.” Sora berontak. Tangannya memukul-mukul dada pria itu. Apakah mereka akan seperti ini setiap malam?

“Balas ciuman gue, Sora, atau gue akan minta lebih.”

“Brengsek!”

Ciuman Tama ini, meski sedikit mengandung unsur pemaksaan, tetap saja hati Sora berhasil tersentuh. Jantungnya bereaksi dengan bekerja dua kali lebih cepat, pertanda kalau dia juga menginginkan ini.

Belum membalas ciuman Tama, hanya saja tidak melarang pria itu menciumnya, Sora membayangkan kenangan-kenangan mereka dulu. Dia juga rindu kembali ke masa-masa itu. Nanti… kalau semuanya sudah selesai dan katakanlah Tama sudah tidak dengan Giselle. Saat laki-laki itu meminta mereka untuk kembali bersama, apakah rasanya masih akan sama? Atau tidak?

Karena seperti yang Sora katakan kemarin, Tama sudah terlanjur menorehkan luka di dalam hatinya dan mereka tidak akan mungkin kembali seperti dulu. Lantas, kalau tidak demikian, kehidupan seperti apa yang akan dia jalani dengan Tama? Apakah persahabatan yang benar-benar berubah menjadi cinta sejati?

Remasan Tama di tengkuknya seperti sebuah perintah agar Sora ikut berpartisipasi. Mana semuanya sudah menempel dari atas sampai ke bawah. Ck, bahkan saat Sora tidak membalas ciuman itupun, adik kecil Tama sudah on. Kenapa sih masih harus coba-coba? Sudah tau nggak akan mungkin melakukan ‘itu’ lagi.

“Lo mau mati?” ancaman Tama terdengar karena Sora tak kunjung membalas ciumannya.

“Lo udah on, Tam! Gue nggak mau kita kebablasan kayak beberapa bulan yang lalu!”

Tama merogoh sakunya dan mengeluarkan sesuatu dari dalam sana. Mengangkat benda itu persis di depan wajah Sora.

“Lo?!”

“Lo nggak ada alasan untuk nolak gue lagi.”

“Lo udah merencanakan ini kan? Jangan-jangan lo yang sengaja matiin meteran listrik gue?! Brengsek lo! Lepas!” Feeling Sora sudah tidak enak. Jangan-jangan Tama memang sengaja. Kalau tidak, kenapa juga benda itu stand by di dalam saku celananya?

Tama menyerangnya dengan ciuman di leher. Pelukannya begitu kuat sampai Sora tidak berhasil melepaskan diri. Sesapan demi sesapan itu membuat sekujur tubuh Sora bergetar. Laki-laki ini seperti sengaja menarik kulitnya kuat-kuat agar bekas kemerahan itu muncul.

“Ga! Besok anak-anak bakalan lihat!” protes Sora kesal dan semakin marah. Berusaha mendorong Tama dari lehernya.

Tama yang sudah mabuk kepayang lantas melihat ke arahnya sebentar.

“Jadi? Maunya di mana? Di dada? Atau di pangkal paha bagian dalam? Pilih sekarang."

***

1
Teh Fufah
cerita nya bsgus, cma mungkin author ny lun trknal d nt yaaaa
Mama Mima: Bantu share yah kakkk. hihiiiii. Terima kasih kakakkk
total 1 replies
Jeng Ining
/Facepalm//Facepalm//Facepalm/ ada yg kebakaran tp gada apinya
Jeng Ining
nah ini dpt bgt feelnya tnpa typo nama, kita kek masuk beneran diantara mreka, terimakasih Kak, mdh²an ga cm updte 1 bab ya 🙏😁✌️
Asri setyo Prihatin
Luar biasa
Mama Mima
Terima kasih masukannya, Kakk. Padahal aku udah double check teruss. Ada aja yang kelolosan. Heuu... 🙏🏻🥹
Jeng Ining
terimakasih udh suguhin cerita keren kak🙏🥰
Jeng Ining
cerita bagus, penggambarannya mudah dicerna begini🫰😍🥰, sayang kak banyak typo nama, lbh baik direvisi atw paling engga ke depannya lbh teliti lg, mhn maaf klo komennya kurg berkenan, mdh²an makin sukses di NT🙏☺️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!