"Aku tidak mencintaimu, Raya. Kau hanya pelengkap... sampai dia kembali."
Itulah kalimat pertama yang Raya dengar dari pria yang kini secara sah menjadi suaminya, Arka Xander — CEO dingin yang membangun tembok setebal benteng di sekeliling hatinya.
Raya tak pernah memilih jalan ini.
Di usia yang baru dua puluh tahun, ia dipaksa menggantikan kakak tirinya di altar, menikah dengan pria yang bahkan tak ingin melihat ke arahnya.
Pernikahan mereka adalah rahasia keluarga—dan dunia mengira, kakak tirinya lah yang menjadi istri Arka.
Selama dua tahun, Raya hidup dalam bayang-bayang.
Setiap pagi, ia tersenyum palsu, berusaha tidak berharap lebih dari tatapan kosong suaminya.
Sampai suatu malam, satu kesalahan kecil—sepotong roti—mengubah segalanya.
Untuk pertama kalinya, Arka menatapnya bukan sebagai pengganti... melainkan sebagai wanita yang menggetarkan dunianya.
Namun, ketika cinta mulai mekar di tengah dinginnya hubungan, masa lalu datang menerjang tanpa ampun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch : Dua Puluh Tujuh
Langkah Raya sedikit goyah ketika keluar dari ruangan Arka.
Ia bahkan tidak sadar kalau napasnya terdengar lebih berat dari biasanya. Dada terasa sesak — bukan karena amarah, tapi karena sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
“Nona Raya, kamu baik-baik saja?”
Suara itu datang dari sisi kanan. Sekretaris Arka, yang sejak tadi duduk di depan pintu ruang kerja sang CEO, menatapnya dengan cemas.
Raya berusaha tersenyum, meski senyum itu lebih mirip garis tipis yang dipaksakan.
“Ya, aku baik-baik saja,” jawabnya pelan.
“Bapak terlihat agak… tegang tadi,” sang sekretaris masih menatap, mencoba membaca sesuatu dari wajah Raya.
Namun Raya hanya menunduk sopan. “Tidak apa-apa, aku yang mungkin terlalu sensitif.”
Ia melangkah pergi, menolak tatapan penasaran di belakang punggungnya.
Begitu masuk ke dalam lift, Raya menatap deretan tombol logam di depannya.
Jarinya berhenti di atas angka 17, tapi entah mengapa, ia tidak menekannya.
Matanya menatap ke arah tombol paling atas — Rooftop.
Sebuah dorongan muncul begitu saja. Ia menekannya.
Pintu lift tertutup perlahan, dan dalam keheningan ruang sempit itu, Raya memejamkan mata.
Ia tidak tahu kenapa setiap kali bertemu Arka, rasanya seperti kembali ke titik awal — titik di mana semuanya dimulai tapi juga berakhir bersamaan.
**
Udara di rooftop lebih dingin dari biasanya.
Angin menerpa wajahnya, membuat rambutnya yang panjang terurai berantakan.
Dari ketinggian itu, ia bisa melihat seluruh kota — mobil-mobil yang tampak kecil, gedung-gedung tinggi yang menjulang, dan langit biru yang mulai diselimuti awan tipis.
Raya bersandar di pagar pembatas, kedua tangannya menggenggam besi dingin itu erat-erat.
Dunia di bawah sana tampak begitu sibuk, seolah tidak peduli bahwa di atas sini ada seseorang yang sedang mencoba menahan air matanya.
Suara angin menjadi satu-satunya teman saat pikirannya perlahan melayang, kembali ke dua tahun yang lalu.
Malam itu… malam pernikahan mereka.
**
Raya masih ingat semuanya dengan jelas — aroma bunga lili di aula pernikahan, denting gelas dari tamu-tamu yang memberi selamat, senyum palsu yang ia pasang sepanjang malam.
Dan tentu saja, wajah Arka.
Datar. Dingin. Tanpa sedikit pun ekspresi bahagia di hari yang seharusnya jadi awal kebersamaan mereka.
Malam itu, setelah semua tamu pulang, mereka berdiri berdua di kamar hotel yang disiapkan untuk malam pertama.
Gaun pengantin Raya masih melekat di tubuhnya, sedangkan Arka telah mengganti jasnya dengan kemeja putih sederhana.
Namun tatapan pria itu tidak pernah berubah — kosong, nyaris beku.
“Aku tidak mencintaimu, Raya,” katanya tiba-tiba, tanpa jeda, tanpa nada lembut.
Kalimat itu jatuh seperti batu besar ke dalam hati Raya.
Arka menatap langsung ke matanya, tanpa ragu, memastikan setiap kata sampai tepat di tempat yang seharusnya.
“Kau hanya pelengkap… sampai dia kembali.”
Raya ingat, saat itu ia berdiri terpaku di tengah ruangan, tangan yang menggenggam buket bunga gemetar tanpa kendali.
Alih-alih mendapatkan ucapan terima kasih karena telah menyelamatkan hari pernikahannya, Raya justru mendapatkan peringatan keras dari Arka.
Raya menghela napas panjang, menatap langit luas di atas kepalanya.
Kenapa ia bisa melupakan kalimat itu selama ini?
Kenapa baru sekarang, setelah dua tahun, kata-kata itu kembali menggema di kepalanya — keras, tajam, dan menyakitkan seperti baru diucapkan semalam?
Mungkin karena selama ini ia berusaha percaya bahwa Arka telah berubah.
Bahwa seiring waktu, pernikahan mereka tidak lagi hanya tentang kesepakatan, tapi juga perasaan.
Bahwa setiap perhatian kecil yang Arka tunjukkan bukan sekadar kewajiban.
Bahwa ketika pria itu menatapnya dalam diam, mungkin ada sedikit saja… rasa yang sama.
Tapi pagi tadi, dari caranya menatap, dari nada dingin suaranya, dari setiap kata yang diucapkan tanpa jeda — Raya sadar, mungkin dia memang hanya pelengkap.
Bagian dari cerita yang tak pernah benar-benar menjadi miliknya.
**
Angin kembali bertiup kencang.
Raya menutup matanya, membiarkan udara menerpa wajahnya. Ia menahan air mata yang sudah memenuhi pelupuk, tapi satu tetes akhirnya jatuh juga.
Ia tertawa kecil — tawa yang kosong.
“Lucu ya, kenapa aku bisa berharap pada sesuatu yang jelas-jelas tidak dijanjikan.”
Suara langkah kaki terdengar di belakangnya.
Langkah yang berat dan tegas.
Raya menegakkan tubuhnya perlahan, namun tidak berbalik.
“Rooftop?” suara berat itu memecah kesunyian.
Raya menelan ludah, mengenali suara itu tanpa perlu melihat. “Aku cuma butuh udara segar, Pak.”
Arka berdiri beberapa meter di belakangnya.
Entah bagaimana, ia selalu tahu di mana harus menemukan Raya setiap kali perempuan itu ingin menenangkan diri jika di kantor.
“Udara segar?” suaranya datar, tapi di dalamnya ada sesuatu yang lain — campuran rasa khawatir dan marah yang nyaris tak bisa dibedakan. “Kau kelihatan tidak baik sejak tadi.”
“Aku baik-baik saja,” jawab Raya tanpa menoleh.
Kata-kata yang sama seperti yang ia ucapkan pada sekretaris tadi. Tapi kali ini, suaranya terdengar lebih rapuh.
Arka melangkah lebih dekat, kini hanya berjarak satu langkah di belakangnya.
“Kalau kau baik-baik saja, kenapa matamu memerah?”
Raya tertawa pelan, menatap langit lagi. “Mungkin karena angin.”
Keheningan jatuh di antara mereka.
Sampai akhirnya, Arka berkata pelan, “Aku tidak bermaksud membuatmu tidak nyaman tadi.”
Raya memejamkan mata. Kalimat itu seperti tambalan kecil di luka yang terlalu dalam.
Ia berbalik perlahan, menatap pria yang kini berdiri dengan rahang tegang dan mata gelap yang sulit ditebak.
“Bukan kamu yang membuatku tidak nyaman, Arka,” katanya tenang. “Aku hanya… sadar sesuatu.”
“Sadari apa?”
“Bahwa aku terlalu sering lupa,” jawabnya lirih. “Lupa siapa aku bagimu, lupa apa arti pernikahan ini sebenarnya.”
Arka terdiam.
Wajahnya berubah, tapi suaranya tetap tenang. “Raya—”
“Sudahlah.” Raya memotong cepat. “Aku tidak ingin membahas hal yang sama. Aku tahu batasku. Aku tahu peranku.”
Ia tersenyum kecil, tapi senyum itu begitu getir.
Lalu ia melangkah melewati Arka, menuju pintu keluar rooftop.
Pintu terbuka.
Suara langkah kaki Raya perlahan menjauh, hanya menyisakan gema halus di antara deru angin dan gemerisik dedaunan yang tumbuh di sisi rooftop.
Arka masih berdiri di sana, kaku.
Tangannya mengepal di sisi tubuh, rahangnya mengeras, seolah kalimat sederhana itu baru saja menampar kesadarannya.
Ia tidak mengejar. Tidak memanggil. Tidak menjelaskan.
Yang ia lakukan hanyalah menatap kosong ke arah pintu yang baru saja tertutup, lalu memejamkan mata.
Ia menunduk, menarik napas panjang, tapi udara yang masuk terasa berat—menyesakkan dada.
**
Sudah berhari-hari sejak Amara kembali.
Dan sejak saat itu pula, semua yang ada di antara dirinya dan Raya perlahan runtuh—tanpa suara, tapi nyata.
Yang aneh, Arka tahu.
Ia tahu betul dialah yang membuat semuanya menjadi seperti ini.
Ia tahu tatapannya yang berubah, kata-katanya yang menyinggung, sikap dinginnya yang tiba-tiba.
Ia tahu, tapi tidak melakukan apa-apa untuk memperbaikinya.
Kenapa?
Ia sendiri tidak tahu.
Atau mungkin… ia tahu, tapi memilih untuk tidak mengakuinya.
Arka berjalan perlahan ke arah pagar pembatas tempat Raya berdiri tadi.
Tangannya menyentuh besi dingin itu—masih ada sedikit embun yang menempel, dinginnya menembus kulit telapak tangannya.
Di tempat inilah Raya berdiri, dengan tatapan yang tenang tapi penuh luka.
Ia bisa membayangkan bagaimana perempuan itu menahan tangisnya—seperti yang biasa ia lakukan setiap kali tersakiti.
Arka menunduk.
Entah sejak kapan, setiap gerak kecil Raya selalu terekam jelas dalam ingatannya.
Cara gadis itu menunduk ketika gugup,
cara ia tertawa terlalu keras hanya untuk menutupi rasa canggung,
cara ia berpura-pura sibuk dengan dokumen hanya untuk menghindari tatapan matanya di kantor.
Dan terutama, cara Raya mencintainya—dengan diam.
Tanpa tuntutan, tanpa syarat, tanpa kata.
Arka menghela napas, jemarinya mengetuk pagar besi pelan, satu, dua, tiga kali.
Kebiasaannya saat sedang berpikir keras.
Ia ingat kembali percakapan dengan Amara di balkon beberapa waktu lalu—hari ketika semuanya mulai berubah.
Amara datang dengan senyum yang terlalu tenang untuk disebut tulus.
Tatapan matanya tajam, seperti sedang menilai sesuatu yang ia anggap miliknya.
📖 To Be Continued...
km sbg suaminya raya sja tak mmberinya kpastian tentang posisi raya... apa lgi km jga GAJE... mmbiarkn masa lalumu hidup bebas dlm satu atap dgnmu dan raya....
rmh tangga macam apa ini arka........