Namaku Arian. Usia? Ya... paruh baya lah. Jangan tanya detail, nanti aku merasa tua. Yang jelas, aku hidup normal—bekerja, makan, tidur, dan menghabiskan waktu dengan nonton anime atau baca manga. Kekuatan super? Sihir? Dunia lain? Aku suka banget semua itu.
Dan jujur aja, mungkin aku terlalu tenggelam dalam semua itu. Sampai-sampai aku latihan bela diri diam-diam. Belajar teknik pedang dari video online. Latihan fisik tiap pagi.
Semua demi satu alasan sederhana: Kalau suatu hari dunia ini tiba-tiba berubah seperti di anime, aku mau siap.
Konyol, ya? Aku juga mikir gitu… sampai hari itu datang. Aku bereinkarnasi.
Ini kisahku. Dari seorang otaku paruh baya yang mati konyol, menjadi petarung sejati di dunia sihir.
Namaku Arian. Dan ini... awal dari legenda Raja Arlan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BigMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 26 - Pedang Kayu Keramat, Kudeta Anak SD
"BERHENTI DI SITU!!"
Suara kecil, lantang. Lalu... tap tap tap!
Seorang bocah muncul dari semak di pinggir jalan, melompat ke tengah jalur tanah becek dan... berdiri memalang jalan.
Rambutnya merah menyala—berantakan seperti sarang burung, pipinya kotor, dan pakaiannya... bisa dibilang hanya kain tambalan. Tapi dia berdiri tegap, dengan dagu terangkat dan pedang kayu yang sudah patah ujungnya—diacungkan ke arahku.
Di belakangnya, tiga bocah lain muncul. Yang satu gemetaran. Satunya lagi sepertinya berusaha sembunyi di balik anak yang satu lagi. Tapi si rambut merah itu... matanya menyala. Tatapan seperti api yang tak kenal takut.
“Aku Gon, Penjaga desa ini! Serahkan barang-barang kalian!” serunya. “Atau kalian akan menyesal!”
Ya Tuhan.
Luther menyipitkan mata. Sir Kaela bersiaga. Salah satu prajurit bahkan mulai menggenggam tombaknya dan bersiap memacu kudanya untuk menyibak anak itu dari jalan.
Tapi aku mengangkat tangan.
“Berhenti.”
Kudaku berhenti. Begitu pula pasukan di belakang.
Semua menatapku.
Aku turun perlahan dari pelana, menjejakkan kaki ke tanah desa Cedros. Langkahku ringan, tapi setiap suara sepatu botku seperti gema di keheningan pagi.
Aku mendekati bocah itu. Dia tidak mundur. Bahkan saat aku hanya beberapa langkah darinya.
Aku jongkok. Agar sejajar dengannya. Lalu bertanya dengan suara rendah.
“Apa maksudmu ‘barang-barang kami’?” Aku mencabut pedangku perlahan dan menyerahkannya ke tangannya. “Kau mau ini... Silakan. Ambil.”
Anak itu terkejut. Matanya membelalak melihat pedang panjang berlapis sihir itu dihadapkannya. Tapi ia tak menyentuhnya.
“Aku... tidak butuh itu,” ujarnya. “Kami tidak butuh senjata. Kami butuh makan. Roti. Daging. Apapun yang bisa dimakan!”
Aku mengangguk pelan. Lalu menatapnya dalam-dalam.
“Kalau begitu, dengar aku baik-baik. Aku akan memberimu sebagian persediaan makanan yang kami punya di belakang—roti, daging asin, bahkan keju dan madu. Tapi, aku punya satu syarat.”
Dia mengerutkan dahi. “Syarat?”
“Tunjukkan padaku jalan tercepat menuju Lembah Sunyi. Jalan rahasia, kalau kau tahu.”
“...Lembah Sunyi?”
“Ya. Tempat itu.”
Dia menatapku lama. Matanya menyipit. Seakan menimbang apakah aku hanya bangsawan lain yang ingin memanfaatkan mereka. Atau seseorang yang sungguh-sungguh.
Lalu akhirnya... dia mengangguk.
“Aku tahu jalur rahasia. Dulu... ayahku yang tunjukkan. Tapi... dia sudah mati waktu musim dingin lalu.”
“Kalau begitu,” kataku sambil menepuk pundaknya, “maka kau akan jadi pemandu kami hari ini, Gon.”
Ia mengangkat alis.
“Bagaimana kau tahu namaku?”
Aku tersenyum kecil. “Pangeran punya banyak cara mengetahui nama orang. Tapi sebenarnya, tadi kau teriak sambil nyebut namamu. Agak keras.”
Lyra menahan tawa di belakang. Luther hanya memalingkan muka, sepertinya berusaha tak terlihat tertawa. Sir Kaela menghela napas panjang. “Ini pangeran macam apa sebenarnya...” gumamnya.
Gon menggigit bibir, lalu tersenyum—pertama kalinya sejak kami datang. Sebuah senyum kecil, ragu... tapi nyata.
Dan di balik senyumnya, aku melihat sesuatu yang sangat langka di desa seperti ini.
Kepercayaan.
...----------------...
Kami terus berjalan melewati desa Cedros, mengikuti bocah kecil itu yang kini dengan bangga berdiri di depan kami—seperti seorang kapten muda yang baru saja mendapatkan perintah langsung dari rajanya.
Ya, rajanya... meski dia belum tahu siapa aku sebenarnya.
Gon menuntun kami menyusuri jalan kecil di belakang rumah-rumah reyot, menyibak semak dan akar pohon yang tumbuh liar, hingga akhirnya kami sampai di jalur sempit yang tampaknya hanya dikenal oleh penduduk lokal.
Jalan itu nyaris tertutup kabut dan dikelilingi pohon-pohon cemara tua. Bahkan Sir Kaela sempat berbisik bahwa dia tak pernah tahu jalur ini kalau Gon tidak menunjukkannya.
“Ini jalan ke Lembah Sunyi?” tanyaku.
Gon menoleh dan mengangguk cepat. “Dulu ayah sering lewat sini untuk menghindari patroli... waktu musim pajak.”
Aku menarik napas pelan. “Musim pajak”, katanya. Itu... terdengar sangat tidak menyenangkan.
Lyra yang menunggang kuda di sampingku—seperti biasa, dengan raut wajah mencurigakan seolah ingin menginterogasi bocah ini—mencondongkan tubuhnya ke arahku. Rambutnya berkibar ringan di angin pagi.
“Tuan Muda... kau yakin tidak apa-apa terlalu lama menunggang kuda?” bisiknya pelan. “Tubuhmu belum—”
“Sst.” Aku tersenyum dan menoleh padanya. “Aku baik-baik saja, Lyra. Aku sudah terbiasa sekarang... lagipula aku sudah mencuri start latihan sejak beberapa minggu lalu.”
“Yaaaah... bilang dong dari awal!” gumamnya, menatap ke arah bokong kudaku. “Kuda ini pasti stres bawa dua beban berat. Kamu dan harga diriku.”
“…Apa hubungannya harga diri kamu?”
“Karena aku merasa tersaingi! Kuda itu lebih sering kamu pegang daripada aku!”
Tuhan saksi, kadang-kadang pelayan istana bisa jauh lebih ribut dari medan perang.
Beberapa saat kemudian, Gon berhenti. Ia memutar badan dan berdiri dengan tangan terentang, seolah menjadi penjaga gerbang suci.
“Dari sini tinggal ikuti jalur ini ke arah barat daya. Ada sungai kecil, ikuti sampai ketemu pohon cemara patah, lalu belok kiri. Itu jalur tercepat.”
Aku mengangguk. Lalu merogoh ke dalam kantung pelana.
“Gon.”
Ia menoleh.
Aku melemparkan sebuah kantung kain padanya. Ia menangkapnya... dan wajahnya langsung berubah saat merasakan beratnya isi kantung itu.
“Apa ini?”
“Persediaan makanan. Roti, daging asin, sedikit keju... bahkan madu. Untukmu dan teman-temanmu.”
Matanya membelalak. Tapi sebelum dia sempat berkata apapun—aku menarik sesuatu dari balik jubahku. Sebuah pin perak berbentuk lambang kerajaan Argandia: seekor singa bersayap yang menggenggam bintang.
Aku melemparnya pelan, dan ia menangkapnya refleks.
“Simpen itu baik-baik,” kataku, nada suaraku kali ini jauh lebih dalam. “Sebagai tanda bahwa aku akan kembali. Aku tidak tahu kapan... tapi aku akan kembali ke desa ini. Dan aku akan membawa lebih banyak dari sekadar makanan.”
Gon menunduk menatap pin itu. Jemarinya menggenggam erat, seolah memegang dunia.
Aku menambahkan, “Aku melihat potensi dalam dirimu, Gon. Api dalam matamu... itu langka. Terus berlatih. Asah pedang kayumu hingga kau bisa mengangkat pedang sesungguhnya. Jadilah kuat.”
Matanya perlahan mendongak.
“Dan bila kau sudah siap,” lanjutku sambil tersenyum, “temuilah aku di ibu kota Argandia. Aku akan menunggumu di sana.”
Gon menggigit bibir. Emosi mulai berkumpul di balik matanya, tapi dia menahannya. Bocah ini keras kepala, ya... tapi hatinya tidak sekeras mulutnya.
“...Kalau kau bohong, aku akan datang dan mencarimu. Meski harus jalan kaki sampai ibu kota,” gumamnya.
Aku mengangguk dengan mantap. “Itu janji.”
Sir Kaela hanya menatap diam dari belakang, sementara Lyra perlahan mengusap matanya yang mulai basah. Luther menghela napas, lalu menepuk pundakku dari samping kudanya.
“Kau benar-benar aneh, Pangeran,” katanya pelan. “Tapi... aneh yang bagus.”
Aku tak membalas.
Karena saat itu... untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa seperti seseorang yang bisa membawa perubahan.
Dan semuanya... dimulai dari seorang bocah dengan pedang kayu dan perut kosong.