Deva dan Selly telah membangun kisah cinta selama lima tahun, penuh harapan dan janji masa depan. Namun semua berubah saat Deva menghadapi kenyataan pahit: ibunya menjodohkannya dengan Nindy, putri dari sahabat ibunya.
Demi membahagiakan keluarganya dan demi mempertahankan hubungannya secara diam-diam Deva menjalani dua kehidupan: bersama Nindy, dan kekasih Selly di balik bayang-bayang malam.
Tapi seberapa lama rahasia bisa bertahan?
Ketika cinta, pengkhianatan, dan rasa bersalah bertabrakan, Deva harus memilih: menghancurkan satu hati... atau kehilangan segalanya.
Di dunia di mana cinta tak selalu datang pada waktu yang tepat, siapakah yang akhirnya akan Deva genggam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vitra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dibalik Tatapan Diam
Fani dan Rendi kini duduk di sudut restoran, berpura-pura sebagai pelanggan biasa. Sejak siang tadi, mereka sudah memantau Deva dari depan kantornya, dan sore ini usaha mereka berbuah hasil.
Begitu Deva keluar dari kantor dan menuju mobilnya, Rendi langsung menyalakan mesin dan membuntutinya dari jarak aman. Bukannya pulang atau menuju apartemen Selly seperti dugaan mereka, Deva malah membelokkan mobilnya ke arah sebuah restoran.
"Sepertinya dia akan bertemu Selly di sini," bisik Rendi saat mereka tiba di halaman parkir restoran.
"Bagus, kita bisa lebih leluasa mengawasi tanpa mencolok," timpal Fani.
Mereka segera memilih meja yang cukup jauh namun strategis, agar tetap bisa mengamati Deva dengan leluasa. Fani pun bersiap dengan ponselnya, berpura-pura bermain sambil siap memotret jika diperlukan.
Deva terlihat sudah duduk di sebuah meja, sibuk mengetik pesan di ponselnya. Sesekali, ia mengangkat kepala, seolah mencari seseorang.
Tak lama kemudian, pintu restoran terbuka, dan Selly muncul. Penampilannya rapi dan anggun. Saat melangkah masuk, Fani langsung memperhatikan sepatu yang dikenakannya.
"Hei, Ren, lihat! Sepatu merah itu. Sama seperti yang diunggahnya di media sosial kemarin," bisik Fani, semangat.
Rendi mengangguk setuju. Mereka makin yakin dengan dugaan mereka.
Selly melambaikan tangan ke arah Deva, dan Deva langsung berdiri menyambutnya. Ia tersenyum hangat.
"Maaf, aku sedikit terlambat," ucap Selly sambil meletakkan tasnya di kursi.
"Kamu hari ini cantik," puji Deva, membuat pipi Selly sedikit merona.
Mereka segera memesan makanan. Sambil menunggu, Deva dan Selly terlibat percakapan santai, tampak begitu nyaman satu sama lain.
Sementara itu, Rendi dengan cekatan memotret interaksi mereka. Tangannya cepat, namun tetap hati-hati agar tak menarik perhatian.
Cekrek! Cekrek!
Beberapa foto berhasil diabadikan termasuk saat Deva menggenggam tangan Selly di atas meja.
"Kalau bukan sepasang kekasih, nggak mungkin seromantis ini," komentar Fani setengah berbisik.
Deva dan Selly tampak begitu larut dalam dunia mereka. Deva memutuskan untuk tidak membahas soal proyek iklan yang akan melibatkan Selly. Ia hanya ingin menikmati momen ini.
Namun, di tengah percakapan, Selly tiba-tiba bertanya dengan nada hati-hati, "Dev, aku mau tanya... Nindy, calon tunanganmu, dia kerja di mana?"
Deva mengernyit heran. "Kenapa tiba-tiba tanya tentang Nindy?"
Selly tersenyum kaku. "Ah, cuma penasaran aja," kilahnya cepat.
"Dia kerja di Nusa Capital Bank," jawab Deva santai.
Mendengar jawaban itu, tubuh Selly seketika menegang. Ia pura-pura batuk untuk menutupi kegugupannya.
Deva menatapnya khawatir. "Kamu sakit?" tanyanya lembut.
"Nggak kok, cuma tenggorokan kering," sahut Selly cepat.
Tanpa pikir panjang, Deva bangkit dari tempat duduk dan meminta sebotol air mineral kepada pelayan. Ia menyerahkannya pada Selly begitu kembali.
Selly meneguk air itu perlahan, sambil dalam hati mencoba menenangkan dirinya. Ia takut. Bagaimana jika rahasianya dengan Kevin terbongkar? Bagaimana kalau Nindy tahu lalu memberi tahu Deva?
Deva pun sesekali melirik ke sudut restoran, merasa ada yang memperhatikannya. Namun, ia mengabaikan rasa aneh itu dan kembali fokus pada Selly.
Makanan mereka datang, dan keduanya mulai menyantap sambil terus berbincang. Deva sesekali menggenggam tangan Selly, membelai lembut seolah tak ingin melepaskannya.
Dari kejauhan, Fani dan Rendi tidak melewatkan momen itu. Kamera ponsel mereka terus merekam dalam diam.
Beberapa saat kemudian, mereka menyelesaikan makan, berpura-pura santai, lalu keluar dari restoran lebih dulu. Namun mereka tetap menunggu di dalam mobil, ingin memastikan semuanya.
Tak lama, pintu restoran terbuka. Deva dan Selly keluar. Di bawah sinar temaram sore itu, keduanya tampak begitu dekat.
Tiba-tiba, Deva memeluk Selly erat, lalu mengecup keningnya penuh kasih.
Cekrek! Cekrek!
Rendi berhasil mengabadikan semua momen itu.
"Kita punya cukup bukti sekarang," gumam Rendi sambil menatap layar ponselnya dengan puas.
Fani mengangguk pelan. Apa yang mereka lihat hari ini, lebih dari cukup untuk menggoyahkan dunia yang selama ini tampak sempurna dari luar.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Kevin pulang lebih awal, sesuatu yang jarang sekali ia lakukan belakangan ini. Jam baru menunjukkan pukul delapan malam ketika ia memasuki rumah.
Martha, yang baru saja selesai makan malam, menoleh begitu mendengar pintu dibuka. Ia mengamati Kevin yang berjalan melewatinya dengan langkah cepat.
"Tumben, kamu pulang lebih awal," ucap Martha, berusaha terdengar santai. Padahal dalam hati, ia tahu benar alasannya. Kevin pasti tidak pergi mengunjungi Selly malam ini.
Kevin menghentikan langkahnya, menoleh sekilas dengan tatapan ketus. "Kenapa?" tanyanya datar.
Martha tak menjawab. Ia justru berdiri mendekat, kemudian dengan lembut melepaskan dasi Kevin yang sudah terlihat kusut.
"Lebih baik dasimu dilepas dulu, supaya kamu bisa bernapas lebih lega," katanya sambil membuka simpul dasi di leher Kevin.
Anehnya, Kevin hanya diam. Ia tidak memberontak seperti biasanya.
Ada kilasan memori yang mendadak menyeruak di benaknya kenangan masa kuliah, saat Martha adalah sosok yang mengisi harinya dengan cinta.
Martha tersenyum kecil setelah berhasil melepaskan dasi Kevin. Ia meletakkan kedua tangannya di bahu Kevin, menatapnya lembut.
"Nah... sudah selesai," ucapnya dengan suara hangat.
Kevin berdehem pelan, menutupi kecanggungan yang tiba-tiba muncul. "Ehem... terima kasih," katanya singkat.
Tanpa banyak kata, ia membalikkan badan, hendak pergi. Namun Martha cepat-cepat menahan pergerakannya.
"Kamu nggak mau makan malam? Ada makanan kesukaanmu, lho," tawar Martha, suaranya lembut namun penuh harap.
Kevin menghela napas pendek. "Nggak, tadi aku sudah makan di kantor. Aku mau langsung ke kamar," jawabnya dingin.
Tanpa menunggu respon, Kevin segera melangkah menuju tangga, meninggalkan Martha begitu saja.
Dari ruang makan, Martha menatap punggung Kevin yang perlahan menghilang di balik lantai atas. Senyum ramah di wajahnya perlahan menguap, berganti tatapan kosong yang dingin. Ada emosi yang dalam bergulung di matanya, sesuatu yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Sementara itu di kamarnya, Kevin melempar dasi ke sofa, lalu merebahkan diri di ranjang.
Ia menghela napas panjang.
Pikirannya kacau. Ia sendiri heran, kenapa tadi membiarkan Martha begitu dekat dengannya tanpa menolak? Kenapa hatinya bergetar sejenak saat wanita itu melepaskan dasinya?
"Hei, nggak mungkin aku jatuh cinta lagi sama Martha," gumam Kevin, mencoba menepis perasaan aneh yang menghampirinya.
Ia menggelengkan kepala keras-keras, menolak untuk membiarkan pikirannya melayang lebih jauh.
Baginya, hanya Selly yang ada di hatinya. Hanya Selly yang dia cintai sekarang.
Namun, sekeras apapun ia menyangkal, bayangan masa lalu itu tetap menghantui pikirannya malam ini, membuat tidurnya tak lagi setenang biasanya.
Ketika Kevin mulai goyah dengan perasaannya, berbeda halnya dengan Martha.
Di dalam hatinya, kebencian terhadap Kevin semakin membara.
Bahkan tadi, saat ia mendekat dan melepaskan dasi Kevin, rasa muak itu hampir saja meledak.
Melihat wajah Kevin dari jarak dekat membuat hatinya berteriak ingin menjauh.
"Sebenarnya aku sudah sangat muak dengan Kevin. Tapi, demi rencanaku... aku harus bisa menahannya," gumam Martha, penuh kebencian.