Aruna telah lama terbiasa sendiri. Suaminya, Bagas, adalah fotografer alam liar yang lebih sering hidup di rimba daripada di rumah. Dari hutan hujan tropis hingga pegunungan asing, Bagas terus memburu momen langka untuk dibekukan dalam gambar dan dalam proses itu, perlahan membekukan hatinya sendiri dari sang istri.
Pernikahan mereka meredup. Bukan karena pertengkaran, tapi karena kesunyian yang terlalu lama dipelihara. Aruna, yang menyibukkan diri dengan perkebunan luas dan kecintaannya pada tanaman, mulai merasa seperti perempuan asing di rumahnya sendiri. Hingga datanglah Raka peneliti tanaman muda yang penuh semangat, yang tak sengaja menumbuhkan kembali sesuatu yang sudah lama mati di dalam diri Aruna.
Semua bermula dari diskusi ringan, tawa singkat, lalu hujan deras yang memaksa mereka berteduh berdua di sebuah saung tua. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Aruna merasakan hangatnya perhatian… dan dinginnya dosa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TDT 6
Malam itu, Aruna duduk sendiri di kamar yang remang, hanya diterangi lampu meja yang temaram. Di hadapannya, lemari penuh baju terbuka lebar, tapi ia tak benar-benar memperhatikan deretan pakaian di dalamnya. Tangannya yang sejak tadi sibuk memilah-milah kini terhenti. Matanya menerawang ke depan, namun pikirannya melayang jauh... bukan pada Bagas yang entah ada di belahan dunia mana, bukan pada sektor C yang sedang dilanda hama, tapi pada satu sosok yaitu Raka.
Ada sesuatu dari pemuda itu yang melekat di benaknya. Bukan sekadar wajahnya yang tenang dan tubuhnya yang tegap, tapi juga caranya bicara, kesopanannya, kepeduliannya yang tak dibuat-buat. Raka adalah kejutan. Aruna tak menyangka kehadiran seorang seperti dia bisa membalikkan dunianya begitu cepat, seperti hujan pertama setelah kemarau panjang.
Ia bahkan malu pada dirinya sendiri karena membiarkan pikirannya terlalu liar. Tapi ia tak bisa menyangkal, bahwa hatinya terasa lebih hidup sejak kehadiran Raka. Ada semacam getar yang telah lama hilang, dan kini kembali merambat perlahan, membangkitkan sisi dirinya yang selama ini tertidur.
Aruna menghela napas panjang. Esok akan kembali ia temui pemuda itu. Ia tak sabar, meski ia sendiri belum tahu harus menganggap ini apa. Yang jelas, malam ini, ia merasa sedikit lebih hangat dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia menutup mata dengan senyum kecil di bibirnya.
Pagi itu, udara masih sejuk ketika denting alarm di meja nakas berbunyi nyaring, memecah keheningan kamar Aruna. Jam menunjukkan pukul 06.30, dan tanpa menunda, Aruna bangkit dari ranjang.
Tak seperti biasanya yang suka bermalas-malasan beberapa menit, kali ini ia langsung menuju kamar mandi dengan semangat yang tak bisa disembunyikan.
Hari ini ia ingin segala sesuatunya berjalan lebih baik dari kemarin lebih tertata, lebih berkesan. Dan yang terpenting, ia ingin Raka betah berlama-lama di rumahnya.
Setelah mandi dan berdandan sederhana namun anggun, ia mengenakan pakaian yang nyaman namun tetap feminin, blus putih gading berpadu rok kain dengan motif bunga- bunga kecil yang membuatnya semakin feminin. Rambutnya ia biarkan terurai lembut, hanya dijepit satu sisi dengan klip kecil berwarna emas.
Sambil menikmati segelas air hangat, ia menelpon Ibu Marni, asisten rumah tangganya yang biasa datang jika dibutuhkan. Suaranya terdengar antusias ketika meminta Ibu Marni untuk datang lebih awal hari ini.
“Bu Marni, saya minta tolong datang sekarang ya. Masakannya agak spesial hari ini. Saya mau jam sembilan sudah siap semuanya.”
“Siap, Bu Aruna. Mau masak apa saja, Bu?” sahut suara di seberang dengan nada bersahaja.
“Masak ayam bakar bumbu rujak seperti biasa, tambah sambal matah dan tumis labu kuning, kerupuknya jangan lupa digoreng. Sama buat jus semangka juga ya.”
Ia menutup telepon dengan senyum puas. Pikirannya langsung melayang pada Raka. Hari ini, ia ingin pemuda itu merasakan kehangatan rumahnya, dan diam-diam, ia ingin menciptakan kenangan yang lebih dalam daripada sekadar percakapan tentang hama tanaman.
Seperti sudah menjadi kebiasaannya, Raka selalu datang tepat waktu. Jam belum sepenuhnya menunjukkan pukul delapan, namun suara langkah kaki di teras depan sudah terdengar. Ia berdiri sebentar, lalu duduk santai di bangku rotan, menunduk memainkan ponsel di tangannya seolah ingin menunjukkan bahwa ia rileks, tidak terlalu formal, walau sebenarnya ada hal penting yang hendak ia sampaikan hari ini.
Tak lama, Aruna muncul dari balik pintu dengan senyum hangat. Ia tampil segar pagi itu, wajahnya terpulas riasan tipis yang justru memperjelas kecantikannya. Rambutnya yang lembut tergerai hingga bahu, dan aroma mawar samar-samar menyeruak saat ia mendekat.
“Pagi, Mas Raka. Sudah datang rupanya,” sapanya lembut.
Raka berdiri dan membalas dengan anggukan sopan. “Pagi, Bu Aruna. Saya sengaja lebih awal, tadi malam saya lembur sedikit buat beresin laporan dari hasil lab.”
Ia kemudian membuka ransel kerjanya, mengeluarkan map berwarna hitam dan menyerahkannya pada Aruna. Di dalamnya terdapat beberapa lembar laporan lengkap hasil uji laboratorium dari sampel daun dan tanah yang ia ambil kemarin.
“Ini hasil dari sektor C. Tanamannya terinfeksi Fusarium oxysporum,” ujar Raka, nada suaranya serius.
Aruna mengangguk pelan, ia pernah mendengar nama itu sebelumnya, tapi tidak menyangka hama jamur itu kini menyerang lahannya.
“Ini jenis jamur patogen yang menyerang sistem perakaran, menyebabkan pembuluh xilem tersumbat. Itulah kenapa daun-daunnya menguning lalu mengering mendadak. Kalau dibiarkan, bisa menyebar ke area lain.”
Aruna menyimak dengan seksama.
“Langkah pertama yang harus kita lakukan, kita harus segera isolasi tanaman yang sudah parah. Cabut dan musnahkan dengan dibakar, jangan dibiarkan membusuk di tanah. Lalu, kita perlu sterilisasi area tanah itu pakai kapur dolomit dan biofungisida hayati.”
Ia kemudian membuka lembar berikutnya.
“Kedua, kita juga butuh sistem rotasi tanaman. Jangan tanam jenis yang sama dalam dua musim berturut-turut. Saya sarankan tanam tanaman penetral seperti kacang-kacangan dulu satu musim.”
Aruna terus mencatat dalam benaknya, matanya tak lepas dari wajah Raka yang begitu fokus menjelaskan.
“Dan ketiga, saya minta tim lapangan untuk mulai pengamatan mingguan di sektor C dan D. Kalau ada gejala serupa di sektor lain, kita bisa langsung tangani sebelum menyebar. Saya juga akan buat formulasi cairan hayati dan beberapa mikroba baik lain. Ini bisa menekan pertumbuhan Fusarium tanpa merusak tanah.”
Raka menutup mapnya, lalu memandang Aruna dengan lembut. “Kebun Ibu masih sangat bisa diselamatkan. Tapi kita harus disiplin.”
Aruna menghela napas lega. Penjelasan Raka begitu meyakinkan. Ia merasa seperti menemukan pelindung yang tak hanya mampu menenangkan hatinya, tapi juga menyelamatkan kerja kerasnya selama ini.
“Terima kasih, Mas Raka. Saya benar-benar bersyukur kamu yang datang bantu saya,” ucapnya tulus.
Dan untuk sesaat, tak ada suara di antara mereka selain nyanyian burung pagi yang melintas di atas pohon.
Raka melirik arlojinya sekilas, lalu mengangkat wajahnya kembali menatap Aruna.
“Saya pamit ke lapangan sekarang, Bu. Saya ingin langsung mengatur tim dan buat sistem pengamatan rutin. Biar saya saja yang turun, Ibu tak perlu repot ikut,” ucapnya sopan namun tegas.
“Tenaga kerja yang di sektor C ada dua belas orang, kemarin sudah saya cocokkan datanya. Mereka cukup untuk dibagi ke beberapa shift pengawasan,” tambahnya, nada suaranya menunjukkan bahwa ia sudah menyiapkan rencana secara matang.
Aruna sempat membuka mulut untuk menawarkan sesuatu, “Tunggu sebentar, Mas. Minum dulu, ya?”
Namun Raka tersenyum, menggeleng pelan. “Terima kasih, Bu. Saya lebih baik langsung ke lokasi sebelum matahari makin tinggi.”
Aruna sedikit mengerucutkan bibirnya, merasa tak enak karena Raka selalu menolak segala bentuk keramahan kecil yang ingin ia berikan.
“Kalau begitu... siang nanti harus makan siang di rumah, ya? Saya sudah minta Bu Marni masak yang enak-enak,” ujarnya setengah memaksa, tapi dengan senyum hangat.
Raka sempat terlihat ragu, namun akhirnya menyerah saat tatapan mata Aruna menekannya penuh harap. Ia mengangguk pelan.
“Baiklah. Saya makan siang di sini nanti,” ujarnya sambil menyelipkan map kembali ke ranselnya.
Aruna mengangguk puas, dan hanya dengan itu, pagi yang terasa biasa berubah menjadi sesuatu yang lebih berarti baginya.
prosanya sip...mkin skbma novel mu thor