Pada hari pernikahannya, Naiya dengan kesadaran penuh membantu calon suaminya untuk kabur agar pria itu bisa bertemu dengan kekasihnya. Selain karena suatu alasan, wanita dua puluh lima tahun itu juga sadar bahwa pria yang dicintainya itu tidak ditakdirkan untuknya.
Naiya mengira bahwa semuanya akan berjalan sesuai rencananya. Namun siapa sangka bahwa keputusannya untuk membantu calon suaminya kabur malam itu malah membuatnya harus menikah dengan calon kakak iparnya sendiri.
Tanpa Naiya ketahui, calon kakak iparnya ternyata memiliki alasan kuat sehingga bersedia menggantikan adiknya sebagai mempelai pria. Dan dari sinilah kisah cinta dan kehidupan pernikahan yang tak pernah Naiya bayangkan sebelumnya akan terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon roseraphine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cemburu
"Awh!" Naiya merasakan pergelangan tangan sebelah kiri serta kedua kakinya terasa panas. Ia refleks berjongkok untuk mengusap kakinya yang memerah terkena tumpahan cairan panas tersebut.
Shaka yang cepat memahami keadaan otomatis langsung ikut berjongkok di hadapan Naiya untuk memeriksa keadaan wanita itu. Raut wajahnya terlihat khawatir.
"Kamu gak ap-,"
Ucapan Shaka terhenti ketika tangannya yang ingin menyentuh Kaki Naiya yang memerah itu ditepis oleh sang pemilik. Membuatnya seketika mendongak dan mendapati Naiya yang sedang menatapnya dengan mata yang memerah menahan tangis.
"Kalau kamu masih marah sama aku karena aku ketiduran di tepi ranjang tadi malam, gak gini cara balesnya, Kak. Sakit tau!" tuduh Naiya dengan Air mata yang mulai mengalir. Ia mengira Shaka sengaja menyampar kopi panas di tangannya karena masih kesal dengan nya.
Sedangkan Shaka hanya diam menerima tuduhan itu. Dirinya masih terkejut karena baru pertama kali ini ia melihat Naiya marah seperti ini. Biasanya wanita itu akan menurut dan diam saja apapun perlakuan Shaka. Tapi sungguh, ia memang tidak sengaja menyampar gelas berisi cairan panas itu dari tangan Naiya.
"Ya ampun! Ada apa ini?" Bi Nur berjalan tergopoh-gopoh menuju ruang makan ketika mendengar suara sesuatu yang pecah.
Naiya menghapus air matanya sebelum dilihat oleh Bi Nur kemudian berdiri, "Aku mau cuci kaki dulu, Bi. Nanti Naiya aja yang bersihkan."
Shaka menatap punggung Naiya yang menjauh dari sana. Ingin rasanya menyusul wanita itu, namun entah kenapa kakinya terasa berat untuk melangkah. Bahkan mulutnya enggan untuk sekedar mengucapkan kata maaf meskipun hatinya ingin.
Tak dapat dipungkiri, perasaan bersalah menyusupi hatinya. Benaknya terus terbayang wajah Naiya yang ingin menangis tadi. Bahkan saat tiba di kantor, Shaka tak bisa sepenuhnya fokus terhadap pekerjaannya. Pria itu ingin mengetahui keadaan Naiya. Apakah kakinya sampai melepuh?
Shaka mencari kontak seseorang yang berada di ponsel mahal miliknya. Lalu ketika sudah menemukan seseorang yang ingin ia hubungi, pria itu mulai mengetikkan sebuah pesan singkat. Tak lama kemudian, ponselnya berbunyi dan terlihat balasan dari orang tersebut.
From : Bibi
Nak Naiya sudah berangkat sejak tadi
Membaca balasan dari wanita paruh baya yang tak lain adalah Bi Nur itu tidak membuat Shaka lega. Ingin bertanya lebih lanjut mengenai keadaan Naiya namun rasanya seperti ada yang menahan. Entah apa itu. Apa ia lihat saja di ruangan wanita itu ya? Seharusnya Naiya sudah sampai.
Namun belum sempat Shaka beranjak dari duduknya, tiba-tiba pintu ruangannya terbuka dan muncullah sosok sahabatnya, Regan.
"Sebentar lagi ada rapat buat bahas tender di Surabaya sama di Bandung, Ka!" ucap Regan berniat untuk mengingatkan Shaka.
"Kok tiba-tiba? Bukannya masih besok?" tanya Shaka.
"Loh, bukannya lo udah baca WhatsApp gue, kan? Di situ gue bilang kalau tender di Bandung bakal maju tiga hari lebih cepat. Lo juga yang nyuruh buat rapat sekarang," jelas Regan menjawab kebingungan Shaka.
"Oh, sorry. Gue lagi gak fokus," jawab Shaka menyadari bahwa sejak tadi fokusnya terbagi antara pekerjaan dan juga Naiya.
"Kenapa? Muka lo kusut gitu?" Regan memperhatikan raut wajah Shaka yang terlihat gelisah. Tidak seperti biasanya.
"Gak apa-apa. Kecapekan paling," sahut Shaka.
Regan tak mempercayai ucapan Shaka begitu saja. Ia tahu betul bagaimana Shaka sejak dulu. Namun untuk saat ini ia tak akan bertanya lebih lanjut. Daripada membuat Shaka kehilangan moodnya saat rapat nanti.
"Yaudah. Gue tunggu di ruang rapat, ya? Atau lo mau sekalian bareng?" tanya Regan.
"Lo duluan aja," jawab Shaka. Ia ingin memastikan sesuatu terlebih dahulu.
"Oke."
Setelah memastikan Regan benar-benar pergi dari ruangannya, Shaka juga beranjak dari sana untuk pergi ke ruangan rapat namun melewati ruangan Naiya terlebih dahulu. Ingin memastikan bahwa keadaan wanita itu baik-baik saja.
"Gak ada orang" batin Shaka ketika matanya melirik ke ruangan kerja Naiya yang posisinya tak jauh dari ruang kerjanya. Menghela napas berat, Shaka melanjutkan langkahnya menuju ke ruang rapat yang berada di satu lantai di bawah lantai paling atas yang sekarang ia pijak.
Saat berbelok untuk menuju lift, netranya melihat sosok yang sejak tadi dicarinya itu ternyata bersama Regan sedang menunggu pintu lift terbuka. Mereka terlihat saling melemparkan candaan satu sama lain serta tertawa bersama. Shaka juga melihat Regan yang terkadang menjahili Naiya yang membuat wanita itu malu-malu.
Shaka dengan sigap berbalik arah agar mereka berdua tak melihat dirinya. Ia memutuskan untuk melewati tangga darurat saja. Lagipula cuma satu lantai. Langkah kakinya terkesan buru-buru. Raut wajah Shaka juga berubah semakin dingin. Batinnya berperang di dalam sana. Berusaha menyangkal bahwa sebenarnya ia tak suka melihat kedekatan Naiya dan juga Regan.
-oOo-
"Nada! Tebak saya bawa apa hari ini?"
Nada yang sedang fokus meneliti proposal untuk rapat beberapa saat lagi itu seketika menoleh dan mendapati Azka menunjukkan sebuah bungkusan plastik di tangannya. Pria itu masuk ke dalam ruangannya dengan wajah yang terlihat sumringah.
"Memangnya itu apa, Pak?" tanya Nada penasaran.
Azka duduk tepat di sebelah Nada yang berada di sofa lalu membuka bungkusan itu, "Lihat!"
"Wah! Bapak beli cimol?" seru Nada takjub. Memang baru beberapa hari ia tak merasakan makanan khas Bandung itu, namun rasanya seperti sudah lama sekali.
"Nih, kamu yang rasa balado," ucap Azka sembari memberikan makanan itu kepada Nada yang tentunya langsung disambut dengan antusias.
"Makasih banyak, Pak," ucap Nada kepada Azka dengan mata yang berbinar.
"Gara-gara kamu saya jadi tergila-gila sama makanan ini," sahut Azka. Pria itu begitu menikmati makanan yang ada di mulutnya sekarang.
Beberapa minggu ini mereka memang terlihat dekat seperti teman. Namun Nada masih tahu batasan. Dirinya yang merasa bersalah kepada Azka karena kejadian tempo lalu berniat untuk menebus kesalahannya dengan membantu Azka dengan bekerja sebaik mungkin. Bahkan ia dengan berani tak menggubris perintah-perintah yang diberikan oleh Alya. Entah keberanian dari mana. Tapi yang pasti, seperti kesepakatannya dengan Naiya, mereka harus mulai berani melawan Wira dan Alya.
"Oh iya, proposalnya sudah beres semua, Pak. Saya yakin kita bisa menjadi perwakilan perusahaan untuk memenangkan tender di Surabaya minggu depan," ujar Nada begitu yakin. Ia memang sepakat membantu Azka membuat proposal yang sempurna agar bisa menjadi perwakilan perusahaan untuk memenangkan tender bernilai fantastis itu.
"Semoga, ya? Saya juga berharap proposal kita bisa diterima. Hitung-hitung sebagai permintaan maaf untuk memperbaiki kesalahan saya beberapa waktu yang lalu," ucap Azka penuh pengharapan.
"Aamiin...." balas Nada tulus lalu tersenyum menatap Azka membuat pria itu juga ikut tersenyum.
"Sebelum rapat dimulai, saya punya sesuatu buat Bapak," Nada mengeluarkan sebuah kotak makan berwarna biru langit dari dalam tasnya lalu menyerahkannya kepada Azka.
"Apa ini, Nada?"
"Coba dibuka, Pak!"
Tanpa menunggu lama, Azka segera membuka kotak makan itu dan betapa terkejutnya ia melihat ada makanan yang sangat ia nantikan, yaitu cumi saus padang buatan Ibu Nada.
"Wah! Cumi saus padang?"
Nada mengangguk, "Di makan, Pak. Pasti nanti energi Bapak tambah berkali-kali lipat."
"Ibu kamu ke sini? Kok kamu bisa bawa bekal ini lagi?" tanya Azka lalu menyuapkan makanan favoritnya itu ke dalam mulut.
Nada menggeleng, "Nggak, Pak. Saya cuma dikirimi Ibu. Terus saya panasin lagi, deh. Tapi tetap enak, kan?"
Azka langsung mengangguk, "Enak! Enak banget! Makasih ya sudah berbagi dengan saya. Saya jadi tambah semangat."
-o0o-
.
.
.
To be continued