Bagimana jika dimasa lalu kalian dikhianatin sahabat kalian sendiri? Akankah kalian memaafkan orang tersebut? Atau kalian akan membalaskan dendam kalian?
Lalu bagaimana dengan hidup Calista yang di khianati oleh Elvina sahabatnya sendiri. Lalu kemudian ada seseorang laki-laki yang mengejar Calista, namun disatu sisi lain laki-laki itu disukai oleh Elvina.
Bagimana menurut kalian? Akankah Calista memanfaatkan moment ini untuk balas dendam di masa lalu? Atau bahkan Calista akan mendukung hubungan mereka?
Calista tersenyum remeh, lalu memperhatikan penampilan Elvina dari atas sampai bawah. "Pacarnya ya? Pantes, kalian cocok! Sama-sama baj**ngan!" Kata Calista tanpa beban, ia mengacungkan jari tengahnya sebelum ia pergi.
Kepo? Yuk simak cerita kelanjutannya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Njniken, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. kepikiran Calista
Calista kepikiran sekali dengan Barra. Ia merasa tidak enak setelah mengusir Barra. Entah dorongan dari mana, ia pun mengambil ponselnya lalu kemudian mengetikkan pesan.
Barra
Bar, Lo jangan lupa kesini lagi ya.
Setelah mengirim pesan itu, Calista kembali menaruh ponselnya di atas nakas. Setelah mengetikkan pesan itu, ia baru merasa lega. Meskipun pesan itu bukan permintaan maaf, namun setidaknya Barra tidak kecewa.
Callista pun kembali merebahkan dirinya, berharap ia bisa tidur juga.
Ditempat yang sama, kini mama Davira, papa Harun, serta Dokter Elina sedang berkumpul di kantin rumah sakit sejahtera.
"Perkenalkan nama saya Elina." Kata Dokter Elina kepada Harun dan Davira. Davira pun tersenyum manis pada Dokter Elina.
"Salam kenal juga, saya Davira. Dan ini suami saya namanya Harun." Kata Davira menjabat tangan Dokter Elina.
"Salam kenal dokter Elina, saya Harun. Senang bertemu dengan Anda." Kata papa Harun juga.
Tak lama dari itu, papa tiba-tiba papa Darwin datang. "Loh, pak Darwin. Anda disini juga." Celetuk papa Harun ketika melihat papa Darwin tiba-tiba datang.
"Loh, Pak Harun. Saya disini untuk menjemput istri saya. Saya dengar dari suster kalau istri saya kesini. Eh ternyata kalian ada disini juga." Terang papa Darwin.
"Mama ngajakin mereka makan malam pa." Sahut Dokter Elina.
"Boleh saya duduk disini?"
"Boleh dong! Kenalin Darwin, ini istri saya namanya Davira." Kata papa Harun.
"Wah, mama nya Calista ya. Salam kenal saya Darwin." Mama Davira tersenyum ramah.
Mereka pun mengobrol sembari makan malam bersama. Makan malam yang mereka makan pun bukan makanan hambar seperti pasien. Namun justru Makanan itu enak. Karena bekerja disana, Dokter Elina memesankan Makanan yang enak pada Chef disana. Ia tak ingin pertemuan pertamanya dengan keluarga Calista menjadi sungkan karena makanan hambar.
Setelah makan malam dan berbincang dengan senang, papa Darwin memutuskan untuk mengajak istrinya pulang. Keluarga Calista benar-benar membuat papa Darwin dan Dokter Elina merasakan aura positif dari mereka.
Begitu juga dengan mama Davira, seolah ia bertemu dengan keluarga yang baik untuk Calista. Entah apa yang mereka pikirkan namun mama Davira senang Barra dan keluarganya.
"Pah, meskipun ini pertemuan pertama, tapi mama suka pa sama keluarga mereka. Kayaknya Barra pun juga anak baik-baik ya." Kata mama Davira sembari berjalan menyusuri koridor untuk kembali ke ruangan Calista.
"Iya sih. Meskipun kita harus tetap hati-hati. Tapi papa juga merasakan kebaikan mereka. Apalagi Darwin ma, dia teman baik yang ku kenal."
"Kayaknya kalau pun Barra sama Calista dekat, mama setuju deh."
"Hahaha apapun untuk Calista deh, yang penting Calista seneng."
Hm, mereka ini belum tau aja tentang kelakuan Barra di luar sana.
***
Disaat yang sama, di tempat yang berbeda.
Kini Elvina sedang merokok di balkon kamarnya. Udara malam diluar Balkon itu membawa asap rokok Elvina kemana-mana.
Saat ini gadis itu tengah menikmati rokoknya, hatinya merasa senang karena tadi melihat Calista tumbang.
Dan saat pikirannya lagi tenang dan hatinya senang kayak gini. Tiba-tiba Elvina kepikiran dengan Barra.
"Hm... Barra ngapain ya?" Ucapnya. Ia mengambil ponselnya untuk menghubungi Barra. Memang sih, Barra tidak pernah menghubungi nya lebih dulu kecuali diajakin di Bar atau club. Meskipun cuma begitu, tapi Elvina senang setidaknya bisa dikatakan kencan dengan Barra. Ya, meskipun disamping nya Barra adalah wanita sexy lainnya.
Tut....Tut...Tut...
"Kemana sih, ni anak!" Elvina mulai kesal karena panggilan telepon nya tidak diangkat.
Sedangkan diluar sana, Barra baru saja selesai mandi. Dia tidak di rumah melainkan di markas Wolf.
Ting tung Ting...
Ia melihat ponselnya itu berdering dan bertuliskan nama Elvina disana. Barra tersenyum seperti iblis, tiba-tiba saja otaknya memiliki rencana nakal.
Barra pun menerima telepon itu.
Barra
Halo? Ada apa?
Elina tersenyum senang di seberang sana.
Elvina
Lo lagi ngapain? Kok nggak ngabarin aku sih?
Barra
Lagi main. Besok temuin gue dirooftop bisa nggak?
Elvina
Emang kenapa bar? Ada yang mau Lo omongin ya?
Barra
Iya. Gue sakit beliin gue obat ya. Yaudah gue istirahat dulu bye!
Tut!
Sambungan telepon dimatikan begitu saja oleh Barra. Tak peduli perasaan Elvina disana. "Dasar cewek gampangan!" Kata Barra kemudian ia merebahkan tubuhnya diatas kasur itu.
Sedangkan Elvina disana kesal sendiri. "Eh, ih... Kok langsung dimatiin gitu aja sih. Nyebelin banget."
"Uhuk uhuk uhuk anjir rokok sialan. Bikin gue batuk aja!" Umpatnya kemudian ia masuk ke kamar untuk minum air putih.
Setelah itu ia duduk diatas kasurnya. "Nggak papa deh, yang penting besok ketemu Barra. Nah, kayak gini dong! Calista, Lo nggak lihat cowok Lo, gue embat saat Lo nggak ada hahahhaa rasain cal, dia itu punya gue!"
Barra merebahkan tubuhnya di atas kasur sembari melihat isi pesan yang di kirimkan oleh Calista. Barra tersenyum melihat isi pesan tersebut. Ya ampun, ni anak lucu juga ya...
Orange
Pasti!
Pesan singkat itu telah ia kirimkan pada Calista. Setelah itu memejamkan matanya sembari tersenyum. Tidak tidur, Barra hanya ingin mengulang kejadian menyenangkan itu di otaknya.
Keesokannya
Elvina dengan senang hati berangkat pagi-pagi ke sekolah karena ia akan bertemu dengan Barra.
Ia bahkan bersenandung saat memasuki gerbang sekolah membuat siswi siswi lainnya mencibirnya.
Apaan sih nenek lampir... Sok iye!
Kayaknya lagi bahagia bangettt
Mukanya kejam benget. Dia aja nggak punya teman di sekolah ini.
Udahlah jauh-jauh aja sama dia.
Tentu Elvina mendengar bisik-bisik mereka. Ia pun berhenti berjalan dan menatap galak pada mereka yang membicarakannya.
"Heh! Gausah ngomongin gue! Lo iri kan gue lagi bahagia sedangkan elo pada enggak!" Ucap Elvina dengan nada tinggi.
"Dih, emang iya! Gue lagi ngomongin elo ke semua orang supaya jangan deket-deket sama nenek lampir kayak elo! Takut ketularan sintingnya!" Kata salah satu siswi itu membuat Elvina emosi.
"Heh! Lo salah. Siapa sih yang nggak mau temenan sama cewek cantik kayak gue anjir. Udah kaya, sexy lagi nggak kayak Lo pada nggak ada apa-apa nya di banding gue!"
"Dih, udahlah gaes ngapain juga pengen kayak dia. Cewek murahan nggak jelas dan nggak tau diri."
"Halah Lo punya teman aja kagak njir."
Elvina meninggalkan area lapangan untuk segera ke rooftop. Ia emosi sendiri mendengar ucapan mereka.
Namun belum juga sampai di rooftop, seseorang mencegahnya. Lalu kemudian...
Plak!
"Lo keterlaluan ya jadi manusia. Lo itu bukan manusia Lo binatang tau nggak!"
Plak!
Terkejut yang kedua kalinya. Elvina mendapatkan tamparan kanan kiri di pipinya.