"Jadilah istri Tuan Roger agar hutang paman menjadi lunas!"
Nazura tidak mampu menolak perintah sang paman untuk menikah dengan orang yang bahkan sama sekali belum pernah ia temui. Namun, meskipun berat tetap ia lakukan untuk membalas jasa sang paman yang sudah membesarkan.
Setelah pernikahan itu terjadi, ternyata kehidupan Nazura tidaklah lebih baik. Justru kesabarannya terus diuji.
Lantas, bagaimana kisah Nazura selanjutnya? Akankah gadis itu menemukan kebahagiaan?
Simak Kisahnya di sini.
Jangan lupa dukung karena dukungan kalian sangat berarti ☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GPH 31
Keheningan tercipta di ruangan Roger. Lelaki itu duduk bersebelahan dengan Nazura. Sejak tadi, Roger ingin sekali menatap Nazura, tetapi wanita itu terus saja menunduk. Menghindari pandangannya sampai-sampai membuat Roger gemas sendiri.
"Tuan, biarkan saya pergi sekarang. Saya sudah terlalu lama mengantar kue, takutnya nanti akan dipecat," ujar Nazura memecah keheningan di antara mereka.
"Biarkan saja. Kalau kamu dipecat aku justru senang," timpal Roger disertai seringai tipis.
Nazura berdecak kesal karenanya. "Kalau saya tidak bekerja lalu bagaimana cara saya bisa membayar hutang kepada Anda, Tuan."
Demi apa pun, Roger merasa kesal karena ucapan Nazura yang selalu membahas tentang hutang padahal ia sudah tidak pernah mempermasalahkannya dan sudah menganggapnya lunas.
"Bukankah semua hutang itu sudah kuanggap lunas? Aku tidak akan menagih walaupun kamu pergi dariku dan ingatlah kalau aku ini masih berstatus sah sebagai suamimu." Roger mendes*hkan napas ke udara secara kasar.
"Tapi, Tuan—"
"Sudah lebih baik kamu diam saja. Kalau sampai kamu membahas soal itu lagi maka aku tidak akan pernah tinggal diam!" Roger mulai kehabisan kesabaran. Mendengar nada bicara Roger yang mulai naik, Nazura pun hanya bisa diam karena khawatir lelaki itu akan marah kepadanya.
"Na ...." Suara Roger terdengar begitu lembut. Tidak seperti tadi.
"I-iya, Tuan."
"Kembalilah padaku," ucap Roger pada akhirnya. Kalimat yang sejak tadi ditahan karena Roger merasa gengsi ketika hendak mengucapkannya. Namun, setelah dipikir-pikir Roger memilih membuang gengsinya jauh-jauh karena tidak ingin rasa gengsi itu membuat ia harus kehilangan Nazura lagi.
"Maaf, Tuan. Saya tidak bisa." Nazura menjawab lirih dan kembali menunduk dalam. Benar-benar tidak ingin bertatapan dengan Roger.
"Kenapa? Aku akan memberikan apa pun yang kamu mau. Kamu bahkan tidak perlu susah payah bekerja," rayu Roger. Namun, Nazura lagi-lagi menggeleng lemah.
"Maafkan saya, Tuan. Saya tetap tidak bisa. Lebih baik Anda urus surat perceraian kita dan saya akan menandatanginya dengan segera," balas wanita itu. Dalam hatinya sangat tidak ingin dekat dengan Roger. Bukan karena ia tidak menginginkan lelaki itu. Akan tetapi, ia sadar jika berada di dekat Roger maka akan ada bahaya yang selalu mengancam dan bukan hanya dari satu penjuru.
"Tapi sampai kapan pun aku tidak akan pernah menceraikanmu." Roger berbicara tegas.
Ia sudah memajukan wajahnya dan mengecup lembut bibir Nazura. Awalnya Nazura hendak menolak, tetapi Roger sudah menahan kedua tangannya dan akhirnya yang bisa dilakukan Nazura adalah memejamkan mata dan menikmati ciuman tersebut.
Ia merasakan ciuman itu sangatlah dalam seolah sedang melampiaskan rasa rindu yang begitu menggebu. Nazura dan Roger bahkan sama-sama menikmatinya hingga tanpa sadar, Roger sudah menurunkan ciumannya ke leher jenjang Nazura.
Tidak ada penolakan karena Nazura benar-benar luluh dengan sentuhan itu. Bahkan, ia bersusah payah menggigit bibir untuk menahan des*han agar tidak keluar. Ia tidak ingin Roger mengetahui kalau dirinya sedang terbuai saat ini.
"Tu-Tuan." Lagi-lagi Nazura menggigit bibir. Suaranya yang terdengar setengah mendes*h membuat Roger makin semangat mendaratkan ciumannya.
"Roger!"
Kedua orang yang sedang saling melepas rindu itu pun tersentak dengan pekikan Soraya yang baru masuk ke ruangan. Roger sontak menjauh dari Nazura yang saat ini sedang membenarkan kancing kemeja yang sudah terbuka dua biji.
Melihat sorot mata Soraya yang dipenuhi kilatan amarah sontak membuat Nazura langsung menunduk dalam. Tubuhnya gemetar hebat dan ia pun hanya bisa membisu.
"Bisakah kamu masuk mengetuk pintu terlebih dahulu!" protes Roger geram. Ia merasa sangat marah karena Soraya sudah mengganggunya.
"Memangnya kenapa? Kalau aku mengetuk pintu terlebih dahulu sudah pasti aku tidak akan pernah memergoki kalian yang sedang bercumbu," balas Soraya tak kalah seru.
"Arghh! Sakit, Nona." Nazura meringis kesakitan saat Soraya sudah menarik rambutnya dengan kuat seperti akan mencabut dari akar-akarnya.
"Rasakan! Apa kamu tidak mendengarkan ucapanku!" Gigi Soraya bergemerutuk. Andai tidak ada Roger di sana sudah pasti Soraya akan mencekik wanita itu.
"Kamu jangan gila!" Roger menarik tubuh Soraya dan menjauhkannya dari Nazura. Ia tidak menyangka kalau Soraya berani senekat itu.
"Ya! Aku memang gila! Aku pikir kamu hanya bermain-main dengan wanita ini sama seperti sebelumnya, kamu yang hanya dekat dengan wanita lain, tapi pasti akan kembali padaku! Tapi kali ini, aku takut kamu akan meninggalkanku!" Suara Soraya meninggi. Diiringi isak tangis yang membuat Nazura menjadi tidak tega.
"Asal kamu tahu, Nazura adalah istriku dan aku pun tidak berniat meninggalkanmu. Kamu tetap akan menjadi sahabat masa kecilku," timpal Roger. Berusaha meredam amarah Soraya. Namun, ia tidak menyadari jika ucapannya justru makin membuat Soraya naik darah.
"Sahabat? Apakah kamu lupa kalau kita ini sudah bertunangan sejak kecil? Bahkan Tante Rosa sudah sangat setuju," kata Soraya.
Jika dulu air matanya bisa membuat hati Roger luluh, tetapi tidak untuk sekarang. Tatapan lelaki itu justru sudah berbeda dengan dulu. Hal inilah yang membuat Soraya merasa sangat cemas jika harus kehilangan lelaki tersebut.
"Soraya, ini masalah hati. Kita tidak akan pernah tahu—"
"Jangan banyak basa-basi! Apa kamu akan bilang kalau ternyata kamu sudah mencintai wanita rendahan ini?" Telunjuk Soraya mengarah kepada Nazura yang sejak tadi duduk menunduk dan terus mendengar perdebatan itu.
"Jaga mulutmu! Dia bukan wanita rendahan!"
"Lalu apa? Ingat, Roger! Dia hanyalah gadis miskin yang dijadikan penebus hutang oleh pamannya. Jangankan harta atau status sosial yang tinggi, orang tua saja dia tidak punya! Apa kamu tidak curiga dan khawatir dia akan mengambil hartamu?"
"Berani sekali kamu berbicara seperti itu?" Roger benar-benar geram mendengar ucapan Soraya. Apalagi ketika ia melihat Nazura yang sedang berusaha menahan tangis membuat emosi dalam dada Roger terasa membuncah.
"Apa yang aku katakan memang benar bukan? Seharusnya kamu menikah dengan wanita yang setara dan jelas bibit, bebet, bobot. Bukan wanita rendahan dan jal*ng seperti dia."
Plak!
suka nih peran cewe begini