NovelToon NovelToon
ISTRI CANTIK SANG CEO TAMPAN : MISI BALAS DENDAMKU

ISTRI CANTIK SANG CEO TAMPAN : MISI BALAS DENDAMKU

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Kde_Noirsz

"Aku mati. Dibunuh oleh suamiku sendiri setelah semua penderitaan KDRT dan pengkhianatan. Kini, aku kembali. Dan kali ini, aku punya sistem."

Risa Permata adalah pewaris yang jatuh miskin. Setelah kematian tragis ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Doni, anak kepala desa baru yang kejam dan manipulatif. Seluruh hidup Risa dari warisan, kehormatan, hingga harga dirinya diinjak-injak oleh suami yang berselingkuh, berjudi, dan gemar melakukan KDRT. Puncaknya, ia dibunuh setelah mengetahui kebenaran : kematian orang tuanya adalah konspirasi berdarah yang melibatkan Doni dan seluruh keluarga besarnya.

Tepat saat jiwanya lepas, Sistem Kehidupan Kedua aktif!

Risa kembali ke masa lalu, ke tubuhnya yang sama, tetapi kini dengan kekuatan sistem di tangannya. Setiap misi yang berhasil ia selesaikan akan memberinya Reward berupa Skill baru yang berguna untuk bertahan hidup dan membalikkan takdir.

Dapatkah Risa menyelesaikan semua misi, mendapatkan Skill tertinggi, dan mengubah nasibnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4 : Topeng Pahlawan sang Predator

Setelah malam yang penuh dengan mimpi buruk dan kedinginan di dalam gudang bawah tangga, Risa terbangun oleh suara decitan pintu besi yang karat. Cahaya lampu neon yang berkedip-kedip di lorong menyinari debu-debu yang menari di udara. Risa merapatkan pelukannya pada lutut, tubuhnya gemetar bukan hanya karena hawa dingin, tapi juga karena rasa lapar yang mulai melilit perutnya.

"Keluar. Calon suamimu sudah datang membawa sarapan," suara Tante Dina terdengar ketus dari balik pintu.

Risa berdiri dengan sisa-sisa kekuatannya. Pakaiannya yang kotor dan rambutnya yang berantakan membuatnya tampak seperti gelandangan, bukan lagi putri seorang Kepala Desa yang terhormat. Dengan langkah gontai, ia mengikuti Tante Dina menuju ruang makan utama yang dulu selalu penuh dengan tawa hangat ayahnya.

Di sana, Doni Wijaya duduk dengan angkuh di kursi kayu jati milik almarhum Baskoro. Ia mengenakan kemeja sutra mahal dan jam tangan emas yang berkilau di bawah lampu kristal. Di atas meja, tersedia berbagai hidangan mewah yang aromanya menusuk hidung Risa, namun gadis itu merasa mual alih-alih bersyukur.

"Duduklah, Risa," Doni tersenyum, sebuah senyuman yang tidak pernah mencapai matanya. "Aku dengar kau belum makan sejak kemarin. Kasihan sekali calon pengantinku ini."

Paman Hari dan Pak Surya berdiri di sudut ruangan, memperhatikan dengan tatapan puas. Risa duduk di ujung meja, menjauh dari Doni sejauh mungkin.

"Terima kasih atas bantuanmu kemarin, Doni. Tapi aku ingin tahu... bagaimana kau bisa mengusir para penagih hutang itu begitu cepat?" tanya Risa, matanya menatap tajam ke arah Doni, mencoba mencari celah dalam sandiwara ini.

Doni tertawa kecil sambil memotong sepotong steak dengan gerakan yang lambat dan penuh tekanan. "Keluargaku memiliki pengaruh, Risa. Ayahku adalah Kepala Desa sekarang. Orang-orang kasar seperti mereka sangat menghormati otoritas. Aku memberikan jaminan atas namaku sendiri bahwa hutang ayahmu akan segera lunas begitu kita sah menjadi suami istri."

"Hanya karena itu?" Risa mengepalkan tangannya di bawah meja. "Bukankah itu terlalu mudah untuk hutang sebesar lima milyar?"

BRAK!

Doni tiba-tiba menghantamkan garpunya ke atas meja kayu yang mahal itu, membuat piring porselen bergetar. Kilatan amarah muncul di matanya sejenak sebelum ia kembali memasang topeng tenangnya.

"Mudah? Kau pikir menyelamatkan nyawamu dari tangan preman kota itu mudah? Kau seharusnya bersyukur aku mau mengambilmu yang sekarang sudah tidak punya apa-apa ini!" suara Doni meninggi, memenuhi ruangan itu dengan aura intimidasi yang pekat.

Paman Hari segera mendekat, meletakkan tangannya di bahu Risa dengan cengkeraman yang memperingatkan. "Risa, jangan tidak sopan. Doni sudah mempertaruhkan reputasi keluarganya demi melindungimu dari aib hutang ayahmu."

"Aku tidak minta dilindungi dengan cara dijual!" balas Risa, air mata kemarahan mulai menggenang.

Doni berdiri, melangkah pelan memutari meja hingga ia berada tepat di belakang kursi Risa. Ia membungkuk, menumpukan tangannya di sandaran kursi, mengurung Risa dalam ruang gerak yang sempit. Aroma parfum maskulin yang tajam bercampur bau rokok darinya membuat Risa ingin muntah.

"Dengar, Risa Permata," bisik Doni tepat di telinga Risa, suaranya rendah dan penuh ancaman. "Aku bisa saja membiarkan orang-orang itu membawamu kemarin. Aku bisa saja membiarkan rumah ini rata dengan tanah. Tapi aku memilih untuk membelimu. Ya, membelimu. Kau sekarang adalah barang yang sudah aku bayar di muka."

"Aku bukan barang!" Risa mencoba berdiri, namun Doni menekan bahunya ke bawah dengan satu tangan yang sangat kuat, memaksanya tetap duduk.

"Kau akan menjadi barang yang sangat patuh, atau kau akan melihat makam ayahmu diratakan dengan aspal jalanan minggu depan," ancam Doni. "Pilihan ada di tanganmu. Menjadi istriku yang penurut, atau menjadi yatim piatu yang bahkan tidak punya tempat untuk menabur bunga."

Risa terisak. Ancaman itu adalah yang paling kejam yang pernah ia dengar. Mereka tahu bahwa cinta Risa pada ayahnya adalah kelemahannya yang paling besar.

"Kenapa kalian melakukan ini?" tanya Risa di sela tangisnya. "Apa salah keluargaku pada kalian?"

Pak Surya, yang sejak tadi diam, akhirnya melangkah maju. "Baskoro terlalu rakus, Risa. Dia menguasai akses hutan jati ini sendirian selama bertahun-tahun. Dia menolak bekerja sama dengan kami untuk mengeksploitasi lahan ini secara besar-besaran karena alasan 'lingkungan'. Sekarang, setelah dia pergi, lahan ini harus jatuh ke tangan yang lebih produktif. Dan kau adalah kunci legalitasnya."

Risa menyadari bahwa dirinya hanyalah sebuah segel hidup. Pernikahannya dengan Doni akan melegalkan perpindahan seluruh kekuasaan ayahnya kepada para pengkhianat ini tanpa kecurigaan dari otoritas provinsi.

"Makanlah," Doni mendorong piring berisi makanan yang sudah dingin ke arah Risa. "Habiskan semuanya. Aku ingin calon pengantinku terlihat cantik di depan kamera besok pagi."

"Kamera?" Risa menoleh bingung.

"Besok kita akan melakukan sesi foto pre-wedding dan pengumuman resmi kepada warga desa," jelas Paman Hari dengan nada riang yang memuakkan. "Kita harus menunjukkan bahwa kau menikah dengan Doni karena cinta dan keinginanmu sendiri setelah duka yang mendalam. Itu akan meredam gosip tentang kematian ayahmu."

Risa menatap makanan di depannya dengan rasa jijik. Setiap suapan terasa seperti menelan duri. Namun, ia dipaksa menghabiskannya di bawah pengawasan mata Doni yang tidak berkedip.

Setelah makan siang yang penuh tekanan itu, Doni mengajak Risa "jalan-jalan" di taman belakang. Tentu saja, itu bukan jalan-jalan biasa. Doni mencengkeram lengan Risa dengan sangat kuat sepanjang perjalanan, memastikan tidak ada jarak sedikit pun di antara mereka.

"Lihat taman ini, Risa. Sebentar lagi, aku akan membangun kolam renang besar di sini. Dan pohon-pohon kesayangan ayahmu itu? Aku akan menebangnya semua," ujar Doni sambil tertawa kecil, menikmati wajah pucat Risa.

"Kau monster, Doni," desis Risa.

Doni tiba-tiba berhenti berjalan dan memutar tubuh Risa menghadapnya. Dengan gerakan cepat yang tidak terduga, ia mencengkeram leher Risa dan menekannya ke batang pohon besar.

"Aku bisa menjadi lebih dari sekadar monster jika kau tidak menjaga mulutmu," Doni mendekatkan wajahnya, matanya memancarkan kegilaan. "Di depan orang-orang, aku adalah pahlawanmu. Tapi saat kita berdua... kau harus ingat siapa tuanmu. Satu kata salah yang keluar dari mulutmu besok di depan wartawan, dan aku akan memastikan Paman Harimu mendapatkan bagian dari 'hutang' yang tidak akan pernah bisa dia bayar."

Risa berjuang untuk bernapas. Cengkeraman Doni sangat kuat hingga ia merasa tenggorokannya akan patah. Untuk pertama kalinya, Risa merasakan teror fisik yang nyata. Rasa takut akan kematian yang sama dengan ayahnya mulai membayangi pikirannya.

"Paham?!" bentak Doni.

Risa hanya bisa mengangguk lemah di tengah sisa-sisa kesadarannya. Doni melepaskan cengkeramannya, membuat Risa jatuh terduduk di tanah, terbatuk-batuk sambil memegang lehernya yang kini memerah dan lebam.

"Bagus. Sekarang kembali ke gudangmu. Tante Dina akan membawakan gaun untuk sesi foto besok. Pastikan kau memakainya tanpa banyak protes," Doni berbalik dan pergi, meninggalkan Risa yang tergeletak di tanah, di samping pohon yang dulu sering ia gunakan untuk bersandar saat mendengarkan cerita ayahnya.

Risa melihat tangannya yang gemetar. Ia merasa sangat kecil, sangat lemah, dan sangat bodoh karena tidak pernah mempelajari cara melawan. Selama ini ayahnya terlalu melindunginya, menyembunyikannya dari sisi gelap dunia, hingga saat badai itu datang, Risa langsung hancur tanpa perlawanan.

Malam itu, di dalam gudang yang sempit, Risa mencoba mencari celah untuk kabur. Ia memeriksa jendela gudang, namun jendela itu sudah dipasang jeruji besi baru yang masih berbau cat. Ia mencoba mendorong pintu, namun pintu itu digembok dari luar dengan rantai.

Ia terduduk di atas lantai semen, menatap bayangannya di cermin pecah yang ada di sudut gudang. Matanya yang dulu bersinar kini redup dan penuh duka. Pipi yang dulu merah merona kini pucat dan memar.

Tiba-tiba, ia teringat sesuatu. Ayahnya pernah bercerita tentang seorang pengacara hebat di kota yang merupakan sahabat lamanya. Jika saja ia bisa menghubungi pria itu, mungkin ada harapan. Namun bagaimana? Semua akses komunikasi telah diputus.

"Aku harus bertahan... setidaknya sampai aku menemukan cara untuk membuktikan kejahatan mereka," bisik Risa pada dirinya sendiri, mencoba menguatkan hati yang sudah hancur berkeping-keping.

Namun, harapan itu terasa sangat jauh. Di luar sana, ia bisa mendengar suara Doni yang sedang berpesta dengan teman-temannya di ruang tamu rumahnya. Mereka tertawa, minum-minum, dan membicarakan rencana masa depan mereka di atas tanah milik ayahnya.

Risa memejamkan mata, namun yang ia lihat hanyalah wajah ayahnya yang tersenyum sesaat sebelum kecelakaan itu terjadi. Rasa bersalah menghujam jantungnya. Maafkan aku, Ayah... aku terlalu lemah untuk menjagamu. Aku terlalu lemah untuk menjaga rumah kita.

Dendam yang ia rasakan bukan lagi sekadar benci, melainkan api yang mulai mengonsumsi kewarasannya. Namun di kehidupan pertama ini, Risa belum tahu bahwa dendam tanpa kekuatan hanyalah jalan menuju kehancuran yang lebih dalam.

[HOOK/CLIFFHANGER]

Keesokan paginya, sandiwara besar dimulai. Risa dipaksa mengenakan gaun indah namun terasa seperti baju besi yang menyesakkan. Doni berdiri di sampingnya dengan senyum lebar di depan kamera wartawan lokal yang sudah dibayar oleh Pak Surya.

Saat salah satu wartawan bertanya, "Nona Risa, apakah pernikahan ini adalah keinginan terakhir almarhum ayah Anda?", Risa merasakan ujung pisau kecil yang ditekan Doni ke pinggangnya dari balik punggung.

"Katakan iya, atau makam ayahmu akan dibongkar malam ini," bisik Doni dengan senyum yang tetap terpatri untuk kamera.

Risa menatap lensa kamera dengan mata yang berteriak meminta tolong, namun bibirnya terpaksa mengucapkan kata-kata yang mengikatnya pada neraka. Jaring-jaring pengkhianatan ini kini sudah tidak hanya mengurung fisiknya, tapi juga mulai merantai suaranya di depan dunia.

1
Andira Rahmawati
hadir thor.. kerenn ...walau jln ceritanya agsk rumit sih👍👍👍
Ayu Nur Indah Kusumastuti: bener banget kak, tapi mungkin ini gaya authornya kak
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!