NovelToon NovelToon
Love, On Pause

Love, On Pause

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Diam-Diam Cinta / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:385
Nilai: 5
Nama Author: Nisa Amara

Jovita Diana Juno dikhianati oleh kekasihnya sendiri, Adam Pranadipa tepat tiga bulan sebelum pernikahan mereka. Sementara itu, Devan Manendra lekas dijodohkan dengan seorang anak dari kerabat ibunya, namun ia menolaknya. Ketika sedang melakukan pertemuan keluarga, Devan melihat Jovita lalu menariknya. Ia mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan, dan sudah membicarakan untuk ke jenjang yang lebih serius. Jovita yang ingin membalas semua penghinaan juga ketidakadilan, akhirnya setuju untuk berhubungan dengan Devan. Tanpa perasaan, dan tanpa rencana Jovita mengajak Devan untuk menikah.

update setiap hari (kalo gak ada halangan)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nisa Amara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

4

Mawar Emeline, wanita yang kini duduk berhadapan dengan Devan. Usianya dua tahun lebih tua, putri tunggal pemilik perusahaan konstruksi besar, dan calon penerus bisnis keluarga. Bukan orang asing bagi Devan. Mereka sudah saling mengenal sejak lama. Orang tua mereka berteman dekat, bahkan dulu mereka sempat satu sekolah dan pernah mengambil kelas kuliah umum yang sama.

Beberapa waktu lalu, mama Devan dan ayah Mawar bertemu kembali. Dalam obrolan hangat itu, sang mama sempat mengeluhkan anaknya yang belum juga menikah, sementara keinginannya sederhana: melihat Devan berumah tangga dan memberinya cucu.

Dari sanalah ide itu muncul, ayah Mawar menyahut kalau putrinya juga belum menikah di usia tiga puluh satu. Kekhawatiran yang sama membawa mereka pada satu kesimpulan: mungkin, anak-anak mereka bisa saling melengkapi.

“Jadi, kamu disuruh untuk bertemu denganku? Kamu tau ini?” tanya Devan, masih belum percaya sepenuhnya.

Mawar duduk santai, melipat kakinya dengan anggun. Ia menyandarkan punggung ke kursi, menatap Devan dengan senyum tipis di bibirnya, lalu mengangguk pelan.

“Tentu, aku udah tau,” jawabnya ringan.

Devan memiringkan kepalanya sedikit, alisnya berkerut. “Kenapa kamu setuju buat ketemu?” tanyanya heran, masih mencoba membaca ekspresi wanita di hadapannya.

Mawar terdiam sejenak, pandangannya jatuh ke meja di depannya. Jemarinya mengetuk pelan permukaan kayu, seolah menimbang sesuatu. Senyum tipis masih terukir di wajahnya saat ia kembali menatap Devan.

“Kamu sendiri,” katanya pelan tapi mantap, “setuju buat dateng sekarang.”

Devan terdiam sejenak, lalu terkekeh pelan, nada tawanya terdengar hambar. Memang benar, ia setuju datang, tapi ujungnya sudah bisa ditebak: ia akan menolak. Dari dulu alasannya selalu sama. Bukan karena wanita-wanita itu kurang menarik, melainkan karena dirinya memang tak berniat menikah dalam waktu dekat. Bahkan, Devan tidak tertarik pada hubungan romansa sama sekali. Hidupnya sudah terasa cukup seperti ini, stabil, teratur, dan tanpa risiko patah hati.

“Memang aku setuju untuk bertemu denganmu,” ujarnya datar, menatap Mawar tanpa ekspresi. “Tapi aku akan menolaknya.”

Mawar terdiam sejenak, matanya menyipit tipis seolah tengah menimbang sesuatu. Ada alasan jelas di balik kesediaannya datang hari ini. Ia mengangkat pandangannya lagi ke arah Devan, tatapannya tenang, tapi ada sorot licik yang tersembunyi di balik senyumnya.

“Kamu tau gak,” ujarnya pelan, nada suaranya terdengar begitu santai namun penuh arti, “perusahaan ayahku dan firma hukum keluargamu baru aja menandatangani kontrak sebagai mitra utama?”

Devan mengernyit. Keluarganya memang memiliki firma hukum yang didirikan oleh neneknya puluhan tahun lalu dan kini menjadi salah satu yang terbesar di tanah air. Namun Devan sendiri tidak banyak terlibat dalam urusan itu. Ia seorang jaksa, profesi yang justru berdiri di sisi berseberangan.

Firma hukum seperti milik keluarganya bekerja secara independen, membela kepentingan klien, bahkan bisa saja berhadapan langsung dengan negara di pengadilan. Sementara Devan, sebagai jaksa, terikat oleh hukum dan mewakili negara sebagai pihak penuntut.

“Itu bukan urusanku. Kamu tahu sendiri aku jaksa,” ucap Devan santai sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi. Hening sejenak melingkupi mereka. Hanya terdengar suara lembut musik restoran dan dentingan sendok dari meja lain.

“Kayaknya gak ada lagi yang perlu dibicarakan,” lanjutnya akhirnya sambil berdiri. “Sampaikan ke ayahmu, aku gak setuju dijodohkan.”

Baru selangkah ia beranjak, suara Mawar menahannya. “Tapi aku butuh perjodohan ini.”

Devan menoleh, menatapnya dengan dahi berkerut.

“Aku harus menikah supaya perusahaan itu bisa jadi milikku,” lanjut Mawar pelan namun tegas.

Devan menghela napas berat. Telunjuknya mengusap pelipisnya yang terasa panas karena kesal.

“Kalau begitu, cari orang lain buat kamu nikahi,” katanya datar, lalu berbalik meninggalkan Mawar sendirian di tengah restoran itu.

Mawar mematung, bibirnya terkatup rapat menahan kecewa. Kata-kata Devan barusan terasa menampar harga dirinya. Ia memang bisa saja menikahi pria lain, tapi Devan adalah pilihan paling sempurna, strategis dan menguntungkan. Ada tujuan yang jauh lebih besar di balik keinginannya menikah, sesuatu yang hanya bisa terwujud jika Devan yang berdiri di sisinya.

***

Mawar duduk sendirian di ujung meja makan yang panjang. Di sekelilingnya, para ART sibuk menyiapkan hidangan makan malam. Ia menyuap makanannya perlahan, tanpa minat. Rasa di lidahnya hambar, bukan karena masakannya buruk, tapi karena ia sudah terlalu sering memakan hal yang sama setiap hari. Kini, semuanya terasa membosankan.

Tak lama kemudian, Heri, ayahnya, baru pulang dari kantor. Hari ini ia sedikit lebih terlambat dari biasanya karena ada rapat.

“Udah ketemu Devan?” tanyanya tanpa basa-basi, lalu duduk di hadapan Mawar. Seorang ART segera menuangkan kopi hitam untuknya, seperti biasa setiap kali ia baru tiba di rumah.

Mawar mengangguk pelan, gerakannya tetap anggun saat memotong daging di piring. “Dia menolak,” ucapnya santai sebelum menyuap makanannya.

Heri menaikkan sebelah alis, lalu meletakkan cangkir kopinya di meja. Ia terkekeh pelan, nada suaranya terdengar mengejek. “Selalu gagal. Apa yang sebenarnya bisa kamu lakukan?”

Ucapan seperti itu sudah jadi makanan sehari-hari bagi Mawar, sama membosankannya dengan makan malam yang sedang ia santap. Ia tak berniat membalas, hanya terus mengunyah dengan tenang tanpa menatap ayahnya, seolah kata-kata itu tak pernah ada.

“Kejar dia. Pastikan Devan setuju menikah denganmu. Habiskan malam dengannya kalau perlu, laki-laki gak akan bisa menolak tubuh wanita,” ucap Heri dingin tanpa ragu sedikit pun.

Gerakan Mawar langsung terhenti. Ia menatap ayahnya tak percaya, heran, jijik, sekaligus marah. “Apa?” tanyanya lirih, nyaris tak bersuara. Ia tak menyangka kalimat sekeji itu keluar dari mulut ayahnya sendiri.

“Kalau kamu gak bisa menikah dengannya, lupakan perusahaan,” balas Heri datar sebelum bangkit dan meninggalkan ruang makan.

Mawar menghela napas panjang, rahangnya menegang. Jemarinya mencengkeram garpu di tangan, menahan luapan amarah yang mendidih di dadanya.

Usai makan, Mawar melangkah ke kamarnya. Ia duduk di depan meja kerja, menatap kosong ke arah layar laptop yang tak menyala. Pikirannya berkelana, terus berputar pada ucapan ayahnya dan pertemuannya dengan Devan siang tadi.

Kata-kata mereka menggema di kepalanya, berulang-ulang sampai membuatnya muak. Perlahan perutnya terasa mual, dadanya sesak. Ia menekan dada dengan tangan gemetar, mencoba menahan, tapi rasa itu makin menjadi.

Dengan tergesa, Mawar berlari ke kamar mandi. Ia memuntahkan semua makanan yang tadi ia santap. Wajahnya pucat, pelipisnya basah oleh keringat, dan tangannya bergetar lemah saat ia mencoba menopang tubuhnya sendiri.

Ia keluar dari kamar mandi dengan langkah gontai, tubuhnya lemas, satu tangannya menekan perut yang terasa perih, sementara dadanya masih sesak. Napasnya tak beraturan. Dengan sisa tenaga, ia membuka laci di meja kecil di samping ranjang, mengambil sebotol obat, dan menelan beberapa pil tanpa pikir panjang.

Tangannya bergetar saat meraih ponsel di meja. Ia membuka daftar kontak dan menekan nama Rosmala, mama Devan. Butuh beberapa dering sebelum panggilan itu tersambung.

“Tante…” suaranya terdengar serak dan lemah, “aku setuju untuk menikah dengan Devan… tapi dia menolak.”

Percakapan mereka berlangsung cukup lama, penuh dengan pembahasan soal perjodohan antara Mawar dan Devan. Mawar menceritakan bagaimana Devan menolaknya, lalu dengan suara hati-hati ia meminta Rosmala untuk membantunya, setidaknya mengatur satu pertemuan lagi dan memberi waktu agar ia bisa mencoba meyakinkan Devan.

Rosmala mendengarkan dengan tenang. Ia tahu bagaimana keras kepalanya Devan dalam urusan seperti ini. Sebelumnya, saat Devan kembali dari kencan buta yang ia atur, Rosmala memilih tak memaksa. Tapi kali ini berbeda. Ia mengenal Mawar dan juga ayahnya, Heri. Keduanya dikenal baik, dan Mawar sendiri meninggalkan kesan positif di matanya, anggun, cerdas, dan tidak berlebihan seperti wanita lain yang katanya ‘terlalu’ menurut Devan.

Mungkin, pikir Rosmala, mereka hanya butuh waktu untuk saling memahami.

“Oke, Tante. Terima kasih,” ucap Mawar pelan sebelum menutup telepon, nada suaranya terdengar lega, sekaligus penuh tekad baru.

***

Pagi itu suasana kantor terasa lebih sunyi dari biasanya, tanpa alasan yang jelas. Langkah Jovita terdengar mantap saat memasuki ruangan, wajahnya memancarkan percaya diri, meski beberapa rekan kerja tampak berbisik-bisik di belakangnya, masih membicarakan kejadian beberapa hari lalu.

Namun Jovita tidak peduli. Ia tidak akan meninggalkan perusahaan ini, tidak sekarang, tidak pernah. Diselingkuhi bukan kesalahannya, jadi ia tidak akan mundur hanya karena rasa malu yang seharusnya bukan miliknya. Lagi pula, ada sesuatu yang ingin ia buktikan, terutama pada Adam. Bahwa ia bisa tetap berdiri tegak tanpa lelaki itu. Bahwa Adam sudah kehilangan satu-satunya hal yang seharusnya tak pernah ia khianati.

Tak lama kemudian, Arum datang dengan wajah santai, seolah tidak ada apa-apa yang terjadi. Seolah dia bukan orang yang baru saja menghancurkan hubungan seseorang, atau melakukan kecurangan demi mendapatkan pengakuan dari atasan. Memuakkan, pikir Jovita, menatapnya dingin dari balik meja.

Semua orang di kantor tahu. Bahkan Arum sendiri tahu kalau dirinya jadi bahan gunjingan. Tapi rupanya wajahnya terlalu tebal untuk merasa malu, seakan cibiran dan tatapan sinis tak pernah menyentuhnya sedikit pun.

“Kudengar kamu membatalkan pernikahanmu dengannya,” ucap Arum tiba-tiba di tengah jam kerja, nada suaranya terdengar ringan.

Jovita yang tengah menyusun ulang prototipe di mejanya menatapnya datar, matanya penuh kejengkelan. “Karenamu,” balasnya dingin tanpa ekspresi.

Arum terkekeh pelan, senyumnya tipis namun menyebalkan. “Kenapa cuma aku yang disalahkan? Salahkan juga calon suamimu, kalau dia gampang tergoda,” katanya, dengan nada seolah bangga pada dosa yang ia buat.

Jovita membanting mousenya ke meja, cukup keras hingga suaranya memecah keheningan ruangan. Beberapa rekan kerja menoleh, menatap mereka dengan tatapan penasaran sebelum pura-pura kembali bekerja.

“Diam, dasar jalang. Sungguh gak tau malunya kamu ngomong kayak gitu,” ucap Jovita pelan tapi tajam, suaranya menahan emosi.

Arum membeku, wajahnya menegang. Kata jalang itu menusuk harga dirinya. “Apa?” tanyanya tak percaya, suaranya meninggi sedikit.

“Perlu aku ulangi?” Jovita mendongak menatapnya tajam. “Jalang gak tau malu.”

Arum meremas proposal di tangannya hingga kertas itu berkerut. Tatapannya menusuk tajam ke arah Jovita.

Sementara itu, Jovita bersandar santai di kursinya, menatap Arum dengan senyum tipis penuh ejekan. “Kenapa? Kamu udah berusaha menjatuhkanku, tapi lihat… aku masih baik-baik aja,” ujarnya tenang, tapi tajam. “Kamu pasti kesal, kan?”

Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, suaranya merendah tapi penuh tekanan. “Silakan coba lagi kalau berani. Tapi aku nggak akan pernah biarin orang sehina kamu menjatuhkanku.”

Arum masih menatap tajam, matanya memerah menahan emosi. Cengkeraman di tangannya makin kuat hingga kertas itu hampir robek. Namun detik berikutnya ekspresinya berubah tenang, dan penuh tantangan. Ia tersenyum tipis. “Kamu pikir aku gak mampu?”

Senyum Jovita perlahan menghilang, keningnya berkerut. Ada sesuatu di nada suara Arum yang membuat dadanya terasa tidak nyaman. Apa maksudnya? Dia beneran mau menjatuhkanku? pikirnya, hati-hati tapi juga waspada.

Belum sempat Jovita membuka mulut, pintu ruang manajer tiba-tiba terbuka. Tatapan tajam sang manajer langsung tertuju pada mereka berdua. Ruangan yang tadinya dipenuhi suara keyboard mendadak senyap. Semua orang menahan napas, termasuk Sena.

Dan di antara keheningan itu, Arum tersenyum lagi. Senyum yang membuat bulu kuduk Jovita berdiri.

To be continued

1
Nindi
Hmm jadi penasaran, itu foto siapa Devan
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Blueberry Solenne
🔥🔥🔥
Blueberry Solenne
next Thor!
Blueberry Solenne
Tulisannya rapi Thor, lanjut Thor! o iya aku juga baru join di NT udah up sampe 15 Bab mampir yuk kak, aku juga udah follow kamu ya😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!