Aruna tahu hidupnya tidak lama lagi. Demi suami dan putri kecil mereka, ia memilih sesuatu yang paling menyakitkan... mencari wanita yang akan menggantikannya.
Alana hadir sebagai babysitter tanpa mengetahui rencana besar itu. Adrian salah paham dan menilai Lana sebagai perusak rumah tangga. Namun, pada akhirnya Aruna memaksa keduanya menikah sebelum ia pergi untuk selamanya.
Setelah Aruna tiada, Adrian larut dalam rasa bersalah dan menjauh dari istri keduanya. Lana tetap bertahan, menjalankan amanah Aruna meski hatinya terus terluka. Situasi semakin rumit saat Karina, adik Aruna berusaha merebut Adrian dan menyingkirkan Lana.
Akankah Adrian berani membuka hati untuk Alana, tanpa mengkhianati kenangan bersama Aruna? Atau justru semuanya berakhir dengan luka yang tak tersembuhkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 19.
Keesokan paginya, Karina duduk di meja kafe bersama seorang wanita berpenampilan rapi dan beraroma parfum mahal. Namanya Livia, salah satu sahabat lamanya di lingkungan sosial elite.
“Jadi kamu mau aku bantu ‘menggali’ masa lalu Alana?” tanya Livia sambil mengaduk kopinya.
Karina menatapnya dengan senyum dingin. “Ya, aku yakin perempuan itu menyimpan sesuatu. Tak mungkin seseorang sepolos itu bisa membuat Mas Adrian berubah dalam waktu sesingkat itu. Aku ingin tahu semua tentangnya. Keluarganya, dari mana asalnya... bahkan hal-hal kecil sekalipun.”
Livia tertawa pelan. “Kau masih belum puas rupanya.”
“Puas?” Karina mengerling ke arah kaca jendela. “Cih! Dia mencuri posisi yang seharusnya bukan untuknya, dan aku hanya akan mengambil kembali apa yang seharusnya milikku.”
Livia mencondongkan tubuh. “Dan kalau dia ternyata benar-benar bersih?”
“Tidak ada orang yang benar-benar bersih, Liv,” jawab Karina dengan suara nyaris berbisik. “Selalu ada noda kecil yang bisa diperbesar.”
Senyum itu muncul lagi di wajahnya, senyum halus yang menandakan bahaya.
Sementara itu di rumah, Alana sedang menyiapkan sarapan ketika ponselnya berdering.
Ia mengangkatnya. “Halo?”
Suara di seberang terdengar ragu. “Ini… Alana ya? Aku Mira, teman lama kamu di kampung. Aku dapat nomer ponsel kamu dari ibumu. Aku baru pindah ke kota... kamu sekarang tinggal dimana? Bisakah kita ketemu?”
“Oh, Mira! Wah, sudah lama banget kita nggak ketemu!”
“Boleh aku main ke tempat kamu tinggal? Aku ingin ngobrol banyak.”
“Tentu saja,” jawab Alana tanpa curiga.
Namun yang tidak ia tahu, percakapan itu tidak murni kebetulan. Livia telah menemukan nomor Mira dari media sosial lama, lalu menghubunginya lebih dulu. Mira memang teman lama Alana, tapi juga seseorang yang mudah dibujuk dengan sedikit imbalan.
Malam itu saat Alana duduk bersama drian di ruang tamu menonton televisi, pikirannya melayang pada rencana pertemuan besok. Ia tidak tahu bahwa langkah kecil itu akan membuka pintu baru bagi Karina untuk menyusup lebih dalam.
Adrian menatap istrinya yang tampak melamun. “Pikiranmu kemana?”
Alana tersenyum. “Cuma senang aja, besok ada teman lama mau datang. Rasanya, seperti akan pulang kampung...”
Adrian menatapnya lembut. “Kamu ingin pulang kampung, menjenguk ibu?"
"Nanti saja, kalau Mas Adrian tidak sibuk. Saya tak ingin merepotkan...“
Adrian tersenyum tipis. “Oke, tunggu waktu yang tepat ya.“
Esoknya...
Hujan baru saja reda sore itu. Udara di rumah terasa segar, bercampur aroma daun basah yang terbawa angin dari taman belakang. Alana sedang di dapur, menyiapkan sup ayam hangat untuk makan malam. Di ruang tengah, Alima sedang menggambar sambil bersenandung kecil. Suasana rumah itu begitu damai dan tenang, seperti pelukan setelah hari panjang yang melelahkan.
Pintu pagar depan berbunyi, diikuti suara lembut seseorang yang memanggil.
“Permisi…”
Alana segera mengeringkan tangannya dan berjalan ke arah pintu. Begitu melihat siapa yang datang, ia tersenyum. “Mira? Ya ampun, sudah lama banget!”
Mira berdiri di depan pintu dengan payung yang masih meneteskan sisa hujan, wajahnya tampak sumringah.
“Alana! Aku nggak nyangka akhirnya kita bisa ketemu! Katanya kamu udah kerja di Jakarta, tapi aku nggak tahu ternyata di rumah sebesar ini,” ujarnya dengan tawa kecil, matanya memindai interior rumah dari balik pintu.
Alana mengangguk, mempersilakannya masuk. “Iya, kebetulan aku kerja di sini… sekarang tinggal di sini juga.”
Mira melirik sekilas cincin di jari Alana. “Kamu udah nikah?”
Alana tersenyum kikuk, lalu mengangguk. “Iya, suamiku yang punya rumah ini.”
“Oh, pantas… dari dulu kamu memang orang baik, Lana. Tuhan pasti kasih balasan yang pantas.”
Nada suaranya terdengar tulus, tapi ada sesuatu di balik sorot matanya yang membuat Alana agak canggung.
Mereka duduk di ruang makan. Alana menyeduh teh, sementara Mira mulai bercerita tentang hidupnya. Tentang pekerjaan baru, suami yang masih di luar kota, dan anak-anaknya. Namun perlahan, percakapan mulai berubah arah.
“Kamu masih inget waktu dulu? Waktu ayah tiri kamu itu—”
Kalimatnya menggantung.
Alana langsung menegang, ia meletakkan cangkir perlahan. “Mira, jangan bahas itu lagi. Aku nggak mau ingat.”
Mira tersenyum canggung. “Maaf, aku cuma... ya, aku waktu itu kan di sana juga. Aku inget banget betapa kamu nangis waktu ayah tiri kamu mau jual kamu ke orang. Aku nggak akan lupa, Lana... aku kasihan banget sama kamu.”
Kata-kata itu menusuk seperti pisau dingin. Alana menunduk, jemarinya saling menggenggam erat di pangkuan.
Ia ingin mengatakan sesuatu, membela dirinya tapi lidahnya kelu. Masa lalu itu adalah luka yang ia simpan rapat-rapat. Luka yang membuatnya selalu takut, selalu merasa kotor, meski sebenarnya bukan salahnya.
Sore itu, Adrian belum pulang. Mira pamit setelah satu jam berbincang. Saat berjalan keluar, ia sempat menoleh sambil tersenyum samar. “Senang banget lihat kamu bahagia, Lana. Semoga nggak ada yang mengusik, ya.”
Mira tidak langsung pulang, mobil hitam yang menunggunya di ujung jalan membuat langkahnya berhenti. Jendela mobil turun, memperlihatkan wajah Karina dengan kacamata hitam dan senyum licik.
“Sudah?” tanya Karina pelan.
Mira menelan ludah. “Iya, saya sudah bicara soal masa lalunya.”
“Bagus.” Karina mengangguk pelan, lalu menyerahkan amplop tipis. “Ini untukmu, terima kasih sudah bantu.”
Mira menerima amplop itu tanpa berani menatap Karina terlalu lama. “Kamu mau ngapain sama Alana? Dia nggak jahat, Nona.”
Karina tersenyum dingin. “Tidak semua yang baik di depan, memang bersih di belakang. Aku cuma akan buka matanya Mas Adrian biar dia tahu siapa sebenarnya perempuan yang dia nikahi itu.”
Keesokan harinya, gosip itu menyebar cepat. Apalagi dalam keluarga Adrian, ada yang mulai berbisik di telinga Ibu Adrian bahwa Alana punya masa lalu kelam. Bahwa dulu dia pernah 'dijual' dan hidupnya penuh noda.