“Gajimu bulan ini mana, Ran? Orang tua butuh uang.”
“Adik butuh biaya kuliah.”
“Ponakan ulang tahun, jangan lupa kasih hadiah.”
Rani muak.
Suami yang harusnya jadi pelindung, malah menjadikannya mesin ATM keluarga.
Dari pagi hingga malam, ia bekerja keras hanya untuk membiayai hidup orang-orang yang bahkan tidak menghargainya.
Awalnya, Rani bertahan demi cinta. Ia menutup mata, menutup telinga, dan berusaha menjadi istri sempurna.
Namun semua runtuh ketika ia mengetahui satu hal yang paling menyakitkan: suaminya berselingkuh di belakangnya.
Kini, Rani harus memilih.
Tetap terjebak dalam pernikahan tanpa harga diri, atau berdiri melawan demi kebahagiaannya sendiri.
Karena cinta tanpa kesetiaan… hanya akan menjadi penjara yang membunuh perlahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shaa_27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
penghianatan
Sore itu, setelah selesai bekerja, Nadia memutuskan untuk mampir sebentar membeli kopi sebelum pulang. Café itu cukup ramai, aroma kopi dan kue panggang menyelimuti ruangan, tapi Nadia sama sekali tak peduli pada suasana.
Saat menunggu antrean, matanya menangkap sosok yang tak asing dari kejauhan—Andi. Ia duduk di sudut café dengan seorang wanita muda berpakaian modis, rambutnya panjang tergerai rapi. Mereka duduk begitu dekat, Andi tampak menunduk dan tersenyum sambil menatap wajah wanita itu, sedangkan wanita itu menepuk tangan Andi dengan mesra sambil tertawa kecil.
Nadia seketika membeku. Jantungnya berdebar kencang, matanya membelalak.
“Ini… Andi?” bisiknya pelan, tak percaya dengan yang dilihatnya.
Andi merangkul wanita itu sebentar, terlihat sangat nyaman dan akrab. Setiap gerakannya begitu santai, berbeda jauh dengan Andi yang Nadia kenal di rumah Rani—yang selalu keras, menuntut, dan penuh amarah.
Nadia menunduk di balik meja, mencoba tetap diam. Namun hatinya panas, perasaan marah dan prihatin bercampur menjadi satu. Ia tahu, Rani—sahabatnya—tidak tahu sedikit pun tentang ini.
“Aku nggak bisa diam… Ran harus tahu.” gumam Nadia dalam hati.
Ia menatap Andi dan wanita itu lagi, mencatat setiap gerak-gerik mereka. Di mata Nadia, pemandangan itu begitu menyakitkan.
Setelah beberapa menit, Nadia menarik napas panjang, menenangkan diri, dan meninggalkan café dengan langkah cepat. Ia tahu, persahabatan mereka akan segera menghadapi kenyataan pahit, dan ia harus menyiapkan Rani untuk hal itu.
★★★★★
Andi duduk di sofa café, menyeruput kopi panas yang mulai mendingin. Di sampingnya, wanita itu tertawa kecil, menatapnya dengan mata berbinar. Andi merasakan sesuatu yang berbeda—ringan, nyaman, jauh dari tekanan rumah dan ibunya yang selalu mengomel.
Ia mencondongkan tubuh, meletakkan tangannya di bahu wanita itu, lalu tersenyum.
“Kamu lucu banget tadi,” katanya sambil menatap wajahnya, seolah dunia di sekeliling mereka tidak ada.
Wanita itu tertawa lagi, menempel lebih dekat. Andi menutup mata sebentar, membiarkan perasaan hangat itu mengalir di dadanya. Ia merasa bebas—bebas dari Rani yang selalu menangis, dari tuntutan ibunya, dari rasa bersalah yang menumpuk setiap kali pulang.
“Rani? Ah… masa lalu itu cuma bikin aku capek. Sekarang aku bisa santai, nggak ada yang nyusahin, nggak ada yang minta-minta…” pikir Andi dalam hati.
Setiap senyum wanita itu membuat Andi merasa dimanjakan, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan di rumah. Ia memegang tangannya, merasakan kehangatan yang menenangkan.
“Aku nggak mau mikirin rumah dulu… nggak mau mikirin istri yang selalu bikin repot. Ini baru hidup yang nyata,” gumamnya di balik senyum tipis.
Namun, di sudut pikirannya yang paling kecil, ada bisikan samar: rasa bersalah. Ia menepisnya cepat.
“Ah, itu cuma perasaan bodoh. Yang penting sekarang aku bahagia, dan dia… dia juga senang. Kenapa harus repot mikirin yang lain?”
Andi menunduk, tersenyum lagi, lalu menatap wanita itu dengan penuh mesra. Café itu terasa seperti dunia kecil mereka sendiri—tanpa tangisan, tanpa amarah, tanpa beban. Sesaat, Andi merasa semuanya sempurna.
Tetapi, di balik kesenangan itu, tak ada yang tahu bahwa di rumah, Rani masih menahan sakit, lapar, dan luka yang kian menumpuk. Dan Andi… hanya larut dalam dunia kecilnya sendiri, tanpa menyadari bayangan kehancuran yang perlahan mendekat.
★★★★★
Keesokan paginya, Rani duduk di sebuah café sederhana bersama Nadia. Tangannya menggenggam cangkir kopi panas, tapi matanya kosong, pikirannya penuh dengan kegelisahan. Nadia menatap sahabatnya dengan raut serius.
“Ran… aku nggak tega lagi lihat kamu menderita sendirian. Kemarin, aku nggak sengaja lihat Andi di café… dengan wanita lain. Mereka begitu mesra, Ran. Aku yakin ini lebih dari sekadar teman,” kata Nadia pelan tapi tegas.
Rani menelan ludah, dadanya bergetar. Ia merasakan dingin menyebar ke seluruh tubuhnya.
“Apa… apa kamu yakin, Nad?” suaranya lirih, hampir tak terdengar.
Nadia mengangguk.
“Aku nggak bohong. Aku lihat sendiri. Dan aku nggak mau kamu pergi kerja hari ini. Pulang saja, Ran. Kita urus ini pelan-pelan. Jangan paksain diri kalau kamu nggak kuat.”
Rani menunduk, menatap cangkir kopi yang sudah mulai dingin. Setelah beberapa detik hening, ia mengangguk pelan.
“Baik… kita pulang.”
Mereka berdua berjalan pulang, langkah Rani berat. Setiap detik terasa panjang, hatinya hancur bahkan sebelum sampai di rumah.
Begitu pintu rumah terbuka, Rani tersentak. Suara samar dari kamar tidur terdengar jelas. Detik demi detik, hatinya seakan teriris—itu suara yang tidak pantas ia dengar, suara mesra dan intim Andi bersama wanita lain.
Rani menunduk, tubuhnya gemetar hebat. Air mata jatuh deras, ia menempel di dinding, berusaha menahan rasa sakit yang begitu menusuk. Hatinya terasa remuk, seolah semua pengorbanannya selama ini—kerja siang malam, menabung diam-diam, menahan lapar—hanya untuk dicampakkan begitu saja.
Nadia memeluknya dari belakang, menenangkan.
“Ran… aku tahu ini sakit. Aku tahu… tapi kamu harus kuat. Kita akan pikirkan langkah selanjutnya. Kamu nggak sendirian.”
Rani menggenggam tangan Nadia, suaranya nyaris patah.
“Aku… aku nggak tahu harus bagaimana, Nad. Hati ini… hancur, Nad…”
Nadia menepuk punggung sahabatnya.
“Kita atur semuanya pelan-pelan. Tapi pertama-tama… kamu harus sadar, Ran. Kamu nggak boleh terus-terusan disakiti. Mulai sekarang, kita harus mikirin dirimu dulu.”
Rani menutup mata, menarik napas dalam. Di balik tangisnya yang lebat, ada percikan kecil tekad yang mulai muncul. Tekad untuk tidak lagi menjadi korban, tekad untuk bertahan bukan demi Andi atau keluarganya, tapi demi dirinya sendiri.
Siang itu, matahari membakar jalanan kota dengan teriknya. Rani duduk di mobil Nadia, wajahnya masih sembab dan basah oleh air mata yang tersisa dari tangisnya pagi tadi. Tubuhnya terasa lelah, hatinya remuk, dan setiap tarikan napasnya berat karena ingatan tentang Andi dan pengkhianatannya.
Nadia menepikan mobil di depan salon miliknya. Lampu-lampu hangat dan aroma parfum familiar langsung terasa menenangkan, tapi Rani tetap menunduk, enggan menatap sekeliling.
“Nah, pertama Tama…” Nadia menatap Rani dengan mata tajam namun penuh kasih. “Kamu harus merubah diri kamu. Semua yang bikin kamu terlihat lelah, pucat, dan murung—kita buang jauh-jauh. Rambut, kulit, sampai gaya berpakaian. Kita bikin orang-orang itu… tak akan mengenalmu lagi.”
Rani menunduk, bibirnya bergetar.
“Aku… aku nggak yakin, Nad. Tangisku pagi tadi… aku takut nggak bisa berubah.”
Nadia menepuk bahunya, menatapnya dengan tegas.
“Bisa, Ran. Tangisanmu itu bukti betapa sakitnya kamu. Tapi itu juga tanda kamu masih hidup, masih punya perasaan. Sekarang kita ubah semua rasa sakit itu jadi kekuatan. Aku nggak akan berhenti sampai kamu siap menghadapi mereka… dan siap balas dendam dengan caramu sendiri.”
Rani menarik napas panjang, membiarkan Nadia memandu. Kursi salon menyesuaikan tubuhnya, cermin di depannya memantulkan sosok Rani yang lelah dan penuh luka. Tapi di balik mata sembabnya, ada percikan kecil tekad mulai muncul.
Nadia mulai menata rambut Rani, mencuci, memotong, dan memberikan sentuhan warna baru. Sementara Rani duduk diam, membiarkan tangan sahabatnya bekerja. Perlahan, rasa sakit dan kekalahan yang tersisa dari tangis pagi tadi berubah menjadi tekad yang membara.
“Mulai sekarang, Ran… kamu bukan lagi Rani yang sama. Kamu akan jadi Rani yang tak bisa dipecundangi,” kata Nadia sambil menata poni Rani dengan hati-hati.
Rani menatap cermin. Refleksi wajahnya mulai berubah—mata sembabnya perlahan digantikan sorot tegas. Siang itu bukan hanya sinar matahari yang hangat, tapi juga awal kebangkitannya. Sebuah tekad baru untuk hidup, untuk dirinya sendiri, dan untuk balas dendam yang akan ia rencanakan.
bukan ada apanya🤲🤲🤲
apa dibilang temanmu n tetanggamu itu betul sekali sayangila dirimu sendiri
kamu itu kerja banting tulang kok gak perna dihargai sih
mendingan pisa ajah toh blm punya anak
Nasibmu bakal tragis marni andi ma melati
di neraka .