Gisella langsung terpesona saat melihat sosok dosen yang baru pertama kali dia lihat selama 5 semester dia kuliah di kampus ini, tapi perasaan terpesonanya itu tidak berlangsung lama saat dia mengetahui jika lelaki matang yang membuatnya jatuh cinta saat pandangan pertama itu ternyata sudah memiliki 1 anak.
Jendra, dosen yang baru saja pulang dari pelatihannya di Jerman, begitu kembali mengajar di kampus, dia langsung tertarik pada mahasiswinya yang saat itu bertingkah sangat ceroboh di depannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sansus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
“Sell alarm lo bunyi tuh!” Ukhti meneriaki nama temannya itu agar bangun, tapi ternyata tidak ada gerakan apapun di atas kasur.
“SELL ALARM LO BERISIK!! MATIIN!!” Kali ini suara Ukhti lebih keras daripada yang sebelumnya, tapi ternyata lagi-lagi tidak ada gerakan sama sekali dari tubuh Gisella.
“GISELLA ITU SI JENO LIVE IG, RAMBUTNYA BERUBAH JADI BLONDE!!”
Barulah saat mendengar teriakan dari Ukhti barusan, Gisella langsung beranjak dari tidurnya walaupun matanya masih belum terbuka dengan keadaan rambut yang acak-acakan.
Selimut merah muda yang tadi membungkus dirinya entah sudah melayang kemana, tangannya langsung terulur untuk mengambil ponselnya yang ada di atas meja nakas dan membuka ig untuk melihat pacarnya yang sedang live.
Tapi setelah Gisella cek dengan seksama, tidak ada apa-apa di sana, lantas perempuan itu langsung menatap ke arah Ukhti dengan tatapan horor. “Lo bohongin gua ya!”
Ukhti yang ditatap seperti itu oleh Gisella mendelikan matanya kesal. “Giliran soal Jeno aja lo cepet bangun, lagian alarm lo berisik banget, Gisella. Itu juga hp lo daritadi bunyi terus, ada yang telepon.”
Mendengar ucapan Ukhti membuat Gisella kembali membuka ponselnya dan mengecek siapa yang sudah menelponnya sepagi ini, ternyata sangat banyak panggilan masuk di sana.
11 panggilan dari Malik, 6 panggilan dari Juna, 5 panggilan dari Leon dan 1 panggilan dari Dika. Matanya lantas melirik ke arah jam yang ada di layar ponselnya yang menunjukan jam 07.20 dimana dia hanya memiliki waktu 10 menit lagi.
Perempuan itu lantas berteriak histeris. “Anjirr Tii gua telat!” Dengan gerakan terburu-buru Gisella segera bangkit dari ranjang dan mengambil handuk miliknya yang tergantung di sana.
Tapi ponsel miliknya yang ada di atas meja nakas kembali berbunyi membut Gisella segera mengambilnya dan nama Dika tertera di sana.
“DIKK SUMPAH KESIANGAN GUA!! GUA BELUM NGAPA-NGAPAIN SAMA SEKALI, BELUM MANDI, BELUM DANDAN, ADUHH MATI GUA INI!! LO SEMUA KOK NGGAK ADA YANG BANGUNIN GUA!!” Cerocos Gisella dengan panjang lebar seraya membawa langkah kakinya untuk masuk ke dalam kamar mandi.
“Gisella lo kalo ngomong mending mikir dulu dah, liat di hp lo ada berapa banyak spam di group, terus lo liat ada berapa banyak panggilan tidak terjawab dari para pangeran lo, terutama dari pangeran Dika Putra Wijaya.” Balas Dika karena merasa tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh Gisella.
Gisella yang saat ini sedang menggosong giginya menaruh ponsel miliknya di samping wastafel, tenang saya tidak akan jatuh karena Gisella sudah biasa meletakannya di sana.
“Panggilan dari Io cuma ada satu ya, Dik!”
“Jadi dua tambah yang sekarang.” Balas Dika. “Udah cepetan dateng anjir, kelas bentar lagi udah penuh, mampus dah lu kalo beneran telat jadi mangsa empuk tuh dosen killer.”
Di tengah kegiatannya yang sedang cuci muka, Gisella tetap mendengarkan ocehan Dika dari seberang sana dan untuk hari ini sepertinya dia memutuskan untuk tidak mandi, karena memang dia tidak memiliki waktu lagi.
“Tenang aja, Bu Rini orangnya baik kok.” Ucap Gisella dengan santainya.
“Mata lo Bu Rini! Hari ini mata kuliah marketing poIitik, Gisella!”
Gisella yang sedang membilas wajahnya lantas berteriak kesakitan saat jarinya tidak sengaja masuk ke matanya saking kagetnya dia mendengar ucapan dari Dika.
“Gua kagak tau kalo kadar be9o lo udah separah ini, sampe-sampe lo lupa sama jadwaI dan bisa kesingan kek gini. Tapi, gua punya satu berita bahagia buat lo Sell.”
Suara Dika terjeda sebentar di seberang sana, membuat Gisella menunggu dengan penasaran di tempatnya.
“Kata si Bintang yang ngajar bukan Pak Arya dan kayaknya bener apa yang dibilang sama dia, soalnya sekarang tuh dosen udah masuk ke kelas.”
Gisella dapat mendengar suasana yang tadinya ramai dari seberang sana, kini mendadak berubah jadi hening.
“Semoga berita bahagia dari gua tadi bisa memotivasi lo biar lebih semangat pergi ke kampus, bye bye Gisella Anindhita.” Suara Dika itu benar-benar terdengar menyebalkan di telinga Gisella.
Panggilan itu sudah diakhiri dengan sepihak oleh Dika, perempuan itu segera menyelesaikan kegiatan cuci mukanya dan buru-buru untuk keluar dari dalam kamar mandi, bahkan Gisella hampir saja terjatuh jika dirinya tidak sempat berpegangan pada pegangan pintu.
Sebenarnya Gisella bukan takut terlambat masuk kelas, tapi dia lebih takut karena mengetahui fakta kalau yang mengajar mata kuliah marketing politik adalah Pak Jendra.
Ayah anak satu yang berparas tampan, yang bisa-bisanya membuat Gisella terpesona dan merasa ingin memiliki hatinya, tapi hayalannya itu langsung sirna saat dia tahu kalau ternyata orang itu adalah dosen PA-nya yang baru.
“Semangat, Sell! Lo pasti bisa!” Gisella mencoba untuk memberikan semangat pada dirinya sendiri.
“Dika sialan!” Perempuan itu memaki Dika yang sangat sialan karena mengatakan kalau dia memberikan berita bahagia padahal aslinya berita itu bagaikan berita duka bagi Gisella.
Gisella harus menyiapkan mental dan tubuh yang kuat untuk menghadapi dosen yang satu itu, walaupun perutnya sudah keroncongan karena dia tidak sempat untuk sarapan.
“Hati-hati, Mah.”
Sialan! Kenapa perkataan Pak Jendra kemarin malah kembali melintas di kepalanya.
***
Begitu sampai di kampus, tempat parkir sudah begitu ramai, sepertinya mahasiswa yang masuk kelas pagi lumayan banyak. Perempuan itu melepaskan helm yang ada di kepalanya dan merapihkan rambutnya dengan terburu-buru menggunakan sisir yang selalu ada di dalam tasnya seraya berjalan menuju gedung D1 dimana kelasnya pagi ini diadakan.
Dengan langkah terburu-buru, Gisella sesekali mengecek jam yang ada pada ponsel miliknya. Parahnya dia sudah telat lima belas menit, entah bagaimana nasibnya nanti di depan dosennya, tapi Gisella sangat berharap jika dosennya juga telat datang hari ini.
Begitu sudah dekat dengan ruang kelasnya, Gisella memperlambat langkah kakinya, sebelum masuk ke dalam kelas, dia mengintip sebentar melalui kaca jendela.
Helaan napas lega terdengar dari perempuan itu saat dia tidak menemukan sosok sang dosen di dalam sana, hanya ada tas dan juga laptop yang terbuka di atas meja dosen.
Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, perempuan itu langsung masuk ke dalam kesal yang disambut dengan tatapan semua orang yang sekarang tertuju padanya. Ditatap seperti itu, membuat Gisella menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan menunjukan cengiran tidak berdosanya.
“Woi Gisella! Lo ngapain cengar-cengir disitu, cepetan sini anjir!”
Gisella mencari sumber suara itu dan mendapati Dika yang sedang melambaikan tangannya di kursi paling belakang, seperti biasa di sana juga ada Juna, Leon dan juga Malik.
Ah, tapi setelah dia perhatikan, ternyata banyak orang-orang yang dia kenal berada di kelas ini. Seperti Bingang, Tara dan Yogi alias teman-teman satu dosen PA-nya dulu yang sempat nongkrong bareng dia beberapa hari lalu.
Perempuan itu langsung berjalan menuju satu kursi yang sudah sengaja dikosongkan oleh teman-temannya untuk dia tempati, kursi itu berada di antara Malik dan juga Yogi. Gisella langsung mendudukan dirinya di sana dan menghela napasnya lega.
“Tumben amat Sell lo telat.” Ujar Yogi yang ada di sebelahnya.
“Kesiangan gua, Goy.” Ya, Yogi itu biasa dipanggil Igoy oleh teman-temannya.
Baru saja Yogi akan kembali mengeluarkan suaranya, tapi ternyata Malik yang juga ada di sebelah Gisella sudah lebih dulu mendahuluinya. “Emang tadi maIem lo tidur jam berapa, Sell?”
Gisella terdiam sejenak untuk mengingat-ingat jam berapa dia tertidur semalam. “Sekitaran jam dua deh kayaknya.”
“Lo abis baca novel apa? Sampe bergadang jam segitu.”
Malik memang mengetahui hobi Gisella, tidak hanya membaca novel, tapi dia juga suka membaca AU dan menonton film, semua kesukaan Gisella itu diketahui oleh Malik.
Menurut Gisella itu adalah hal yang wajar, lagipula mereka sudah berteman cukup lama, sudah 5 semester mereka berteman dan tentu saja Malik juga tahu alasana kenapa Gisella sering bergadang.
Gisella menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. “Nggak, gua bukan karena baca novel, tapi karena keasikan maen ludo sama Ukhti.” Jelas perempuan itu.
“Kurang-kurangin dah lo bergadang, gak baik buat kesehatan lo sendiri.” Malik memberikan petuah.
“Emangnya lo sendiri jarang bergadang? Terus juga lo tahu dari mana kalo gua sering berdagang?” Kini Gisella menatap ke arah Malik dengan tatapan penuh rasa curiga.
“Wa lo masih on.” Balas Malik dengan santai.
Gisella yang mendengarnya lantas terdiam sejenak. “Lo sering mantau wa gua, Lik?”
Tanpa ragu-ragu, lelaki itu langsung menganggukan kepalanya yang membuat Gisella merasa sedikit tidak nyaman seraya berpikir apa tujuan Malik melakukan hal itu?
“Lain kaIi kagak usah gitu, Lik. Lo udah kayak pacar gua aja mantau-mantau segala, terus nyuruh-nyuruh gua buat jangan bergadang, ngeri gua.” Kata-kata ngeri di akhir itu tidak berarti yang sebenarnya, karena pada kenyataannya Gisella merasa senang karena Malik peduli padanya.
Mendengar perkataan Gisella, Malik yang ada di sebelahnya lantas terkekeh pelan. “Emangnya sebagai temen nggak boleh gua kayak gitu?”
Teman ya? Heum… entah kenapa Gisella merasa sedikir sedih ketika mendengarnya.
“BoIeh aja sih, tapi mendingan jangan.”
Setelah mengatakan hal itu, Gisella memilih untuk mengalihkan pandangannya ke arah lain, ke mana saja asalkan bukan ke arah Malik.
Jadi dia memilih untuk menatap ke arah Bintang dan juga Tara yang ada di sebelah Yogi, memberikan sapaan berupa kedua alis yang terangkat.
“Dosen PA lo pada yang baru gimana kabarnya?” Gisella menanyakan hal itu pada Bintang dan Tara yang terhalang oleh Yogi.
“Kalo gua sih oke-oke aja, pas kemaren konsul ke Pak Jeffry, tuh orang malah curcol.” Jawab Bintang yang terlihat santai.
Semua mahasiswa sepertinya sudah tahu bagaimana sifat Pak Jeffry yang selalu menceritakan soal masalalu atau percintaannya apabila sedang mengajar.
“Enak bener lo Bin, ini gua mau konsul aja disuruh nyari anak cewek dulu sama Pak Arya. Sampe gua chat group kelas siapa aja cewek yang dosen PA-nya Pak Arya.” Ucap Tara yang wajahnya terlihat sangat tidak bersemangat.
“Eh Tar, Io dapet dosen PA Pak Arya juga?” Kini Leon ikut menyahut.
“Iye, emosi banget gua anjir sama dia, mana kemaren cewek-cewek pada males buat konsul, bikin gua susah aja.” Sepertinya Tara memiliki dendam pada dosen PA-nya itu.
“Yang sabar bro, ituIah yang gua rasain selama 4 semester kemaren.” Ya, karena memang dari awal Pak Arya adalah dosen PA Leon.
“KaIo lo gimana, Goy?” Gisella bertanya pada Yogi yang ada di sebelahnya.
Sebelum menjawab, lelaki itu menghela napasnya berat, seperti ada beban seberat gunung di punggungnya. “Pak Dion yang jadi dosen PA gua.”
Pantas saja Yogi sampai menghela napas seberat itu, ternyata memang bebannya sangat berat. Sontak ucapan Yogi barusan membuat mereka yang ada di sana tertawa cukup keras sampai membuat orang-orang yang ada di barisan depan menoleh ke arah mereka.
“Mampus dah lo, Goy!” Dika memang menjadi orang yang paling semangat untuk meledeki temannya yang sedang dalam kesusahan. “Gua juga sebenernya mampus sih, soalnya dosen PA gua Pak Jeffry.”
Ucapan Dika itu kembali membuat mereka yang ada di sana tertawa. Memang di kampus mereka tuh memiliki 3 dosen yang terkenal tidak baik hati dan tidak baik akhlaknya, yaitu Pak Dion, Pak Jeffry dan juga Pak Arya, tapi roman-romannya akan bertambah menjadi empat karena kedatangan Pak Jendra.
“Btw gimana sama dosen PA lo yang baru, Sell?”
Baru saja Gisella membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Yogi, seseorang tiba-tiba masuk ke dalam kelas dan detik itu juga suasana kelas berubah menjadi hening. Orang-orang yang tadi mengobrol langsung berhenti begitu Pak Jendra masuk ke dalam kelas.
Gisella di tempatnya sempat terkesiap menatap ciptaan Tuhan yang benar-benar mempesona di depannya, dengan kemeja putih berdasi yang melekat di tubuh tegapnya dan juga sebuah kacamata yang bertengger disana benar-benar membuat Gisella melongo di tempat.
Perempuan itu segera terkesiap, dia tidak boleh menatap dosennya terlalu lama sebelum lelaki itu menatap balik ke arahnya dan menyadari kalau dirinya telat masuk kelas.
Gisella menundukan kepalanya dan berusaha menyembunyinya tubuhnya dibalik tubuh orang yang duduk di depannya supaya Pak Jendra tidak menyadari ada satu orang yang baru saja masuk kelas, yaitu Gisella.
“Dari mana kamu, Gisella?”
Sia-sia sudah usaha perempuan itu menyembunyikan diri ketika mendengar namanya disebut oleh sang dosen.
“Ya, Pak?”
Perempuan itu mengubah posisinya menjadi tegap, tidak lagi menunduk seperti tadi. Kini dia baru menyadari kalau saat ini hampir seluruh tatapan anak kelas sudah tertuju padanya, tidak terkecuali teman-temannya yang lain.
Pak Jendra saat ini sedang menyandarkan tubuhnya pada meja dosen di depan sana dengan tangan yang terlipat di depan dadanya, tatapan matanya tertuju pada Gisella yang sedang salah tingkah di tempatnya.
“Saya tanya, kamu habis dari mana Gisella?”
“Eum—itu saya tadi abis dari toiIet, Pak.” Perempuan itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Sebenernya saya udah dateng daritadi sebelum Pak Jendra masuk, tapi saya ke toiIet dulu karena gak tahan buang air.”
“Tapi tadi saya lihat kamu lari-larian kesini dari parkiran.”
“O—oh itu, itu saya dari toiIet rumah Pak. Tadi saya pulang ke rumah dulu, makanya agak lama.” Entah kalimat bodoh apa yang sudah dia ucapkan.
Gisella melirik ke arah teman-temannya yang ada di sebelah dirinya berharap salah satu dari mereka mau membuka suara untuk
Membantu dirinya keluar dari situasi memalukan ini.
Tapi ternyata tidak ada satupun dari mereka yang berniat membantu, yang ada mereka malah sedang mencoba untuk menahan tawa melihat dirinya yang terpojok seperti ini.
“Tadi katanya udah nggak tahan, tapi kok bisa-bisanya kamu pulang dulu ke rumah?” Dosennya itu bertanya dengan sebelah alis yang terangkat.
“Kamu kalau mau bohong harus belajar lagi, jangan asal-asalan kayak gini. Kalau udah kayak gini kamu sendiri yang malu kan? Kelihatan bodoh banget kamu, Gisella.” Lanjutnya.
Mendengar ucapan itu membuat Gisella meremas pulpen yang sedang dia pegang, andai saja yang mengatakan itu bukan dosennya, sudah pasti pulpen yang dia pegang sekarang sudah melayang ke kepala orang itu.
Pak Jendra lalu melirik ke arah jam yang ada di pergelangan tangannya, setelah itu kembali memasukan tangannya ke dalam saku celana. Lelaki itu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas, tapi pandangannya lagi-lagi berakhir pada Gisella.
“Hari ini saya kasih kebebas, kita nggak belajar dulu.” Pak Jendra dapat melihat wajah tegang mahasiswanya kini berubah menjadi sumringah.
“Saya tahu kalian sekarang pasti lagi kesenengan, terutama kamu Gisella.” Lelaki itu lagi-lagi menargetkan Gisella yang saat ini sudah menekuk wajahnya kesal. “Kamu seharusnya bersyukur karena hari ini saya masih berbaik hati nggak usir kamu dari kelas saya karena kamu terlambat.”
Gisella lantas menundukan kepalanya. “Terimakasih banyak, Pak. Saya berjanji tidak akan telat lagi kedepannya.”
Pak Jendra di depan sana hanya mengangguk keciI. “Jadi, sebelum kelas saya akhiri hari ini, saya ingin kalian mengetahui beberapa aturan yang harus dipatuhi jika kalian ingin masuk kelas saya.”
Kini seluruh perhatian mahasiswa yang ada di dalam kelas sudah sepenuhnya tertuju pada dosen yang ada di depan. “Seperti yang kalian tahu, kelas saya dimulai dari jam 07.30 sampai jam 10.00 tidak kurang dan tidak lebih. Untuk peraturan yang pertama, tidak ada yang namanya terlambat masuk kelas, saya tidak akan memberikan toleransi walaupun hanya terlambat 1 detik kalian tetap tidak saya terima untuk masuk ke kelas saya.”
“Yang kedua, DHK kalian semua sudah harus terkumpul di atas meja saya begitu saya masuk ke dalam kelas. Tidak ada alasan lupa atau apalah itu yang membuat kalian tidak membawa DHK, maka hari itu kalian tetap dianggap tidak mengikuti kelas saya.”
“Dan untuk yang ketiga, saya tidak ingin ada mahasiswa yang rambutnya gondrong dan memiliki tindik di telingnya, dan juga rambut seperti anak ayam warna-warni bagi perempuan.”
Kini mata Pak Jendra menelisik satu persatu mahasiswa yang ada di dalam sana. “Kamu yang rambutnya warna biru.” Dosen itu menunjuk ke arah salah satu perempuan yang ada di barisan ketiga. “Minggu depan rambut kamu harus kembali hitam, jika saya masih melihat warna rambut kamu yang seperti itu, maka saya sendiri yang akan memberikan sangsi.”
“Kamu juga yang ada di belakang.” Kini Pak Jendra menunjuk ke arah Yogi yang ada di sebelah Gisella membuat perempuang itu terkejut karena tatapan Pak Jendra malah tertuju padanya, padahal orang yang ditunjuk adalah Yogi.
“Lepas tindik kamu itu kalo masih mau masuk ke kelas saya minggu depan.” Ucapnya.
“Baik, Pak.” Yogi yang ada di tempatnya lantas hanya bisa menganggukan kepalanya.
“Kamu yang dari tadi cengar-cengir terus.” Dika yang memang sedari tadi cengar-cengir tidak jelas kini menjadi sasaran. “Potong rambut kamu yang kelihatan kumuh itu.” Jahat sekali memang ucapannya.
Mendengar ucapan Pak Jendra barusan membuat Gisella mati-matian menahan suara tawanya yang akan lepas, begitu juga dengan teman-temannya yang lain. Bisa-bisanya rambut gondrong Dika dibilang kumuh, padahal kan memang.
“Baik, Pak.” Sama halnya dengan Yogi tadi, Dika hanya bisa menganggukan kepalanya.
“Yang keempat, ini bukan termasuk peraturan, tapi saya minta satu orang untuk menjadi penanggung jawab mata kuliah saya di keIas ini. Nanti akan saya jelaskan apa saja tugasnya, tapi saya yakin kalian juga pasti sudah paham apa saja tugas penanggung jawab kelas.”
Semua orang yang ada di sana bungkam, tidak ada satupun dari mereka yang berinisiatif menawarkan diri. Bahkan mereka sudah sibuk mengalihkan pandangannya ke sembarang arah asal tidak bertemu dengan mata tajam sang dosen.
“Ini tidak ada yang ingin mengajukan diri? Ya sudah, kalo gitu saya tunjuk Gisella untuk jadi PJ kelas saya.”
“Ya?” Gisella di tempatnya sontak terkejut, jantungnya sudah seperti ingin melompat dari tempatnya.
“Kenapa? Apa kamu keberatan?”
Tubuh dan hatinya benar-benar tidak sinkron, di dalam hatinya dia ingin menolak, tapi entah kenapa kepalanya malah mengangguk. “N—nggak kok Pak, saya siap.”
Siap siap pala lo tiga, Gisella! Saat ini perempuan itu tengah berdekat sendiri dengan batinnya.
Mendengar ucapan Gisella membuat Pak Jendra menganggukan kepalanya di depan sana, sebelum kemudian dia kembali berucap. “Sekedar informasi jika sistem mengajar saya adalah teori, diskusi, lalu kemudian presentasi. Karena itu sebelum kita masuk ke teori, saya ingin kalian membuat kelompok.”
“Setiap kelompok isinya berapa orang, Pak?” Pertanyaan Malik mewakili mereka yang ada di sana.
“Ada berapa orang di kelas ini? Saya butuh lima kelompok.”
Malik yang sedang duduk mengambil inisiatif untuk berdiri dan mulai menghitung kepaIa orang-orang yang ada di sana. “Ada empat puluh orang, Pak. Kalo Pak Jendra butuh lima kelompok berarti setiap kelompok ada delapan orang.”
“Oke, pas kalau begitu. Mau kalian yang pilih sendiri atau saya yang pilihin?” Dosen tersebut memberikan pilihan pada mahasiswanya.
“PiIih sendiri, Pak!” Serentak mahasiswa yang ada di kelas itu mengucapkan pilihan yang sama.
“Oke, biar saya yang pilihkan.”
Sialan! Sepertinya segala jenis umpatan sudah tertahan di ujung bibir seluruh mahasiswa yang ada di dalam kelas itu. Untuk apa Pak Jendra memberikan mereka pilihan jika ujung-ujungnya tetap lelaki itu yang memilih?
“Nanti akan saya kirimkan daftar nama kelompok ke PJ keIas.” Ucap sang dosen.
Pak Jendra kembali ke mejanya, lelaki itu merapihkan laptop lalu memasukannya ke dalam tas yang ada di sana. “Kelas saya akhiri sampai di sini saja, saya keluar dulu. SeIamat pagi.” Ucap lelaki itu seraya berjalan keluar kelas.
“Pagi, Pak!” Balas anak-anak yang ada di dalam sana.
Melihat tubuh dosen tadi yang mulai menjauh dari kelas mereka, satu persatu umpatan dan sumpah serapah mulai terdengar di dalam sana.
“Sialan banget tuh dosen, bisa-bisanya rambut gua yang keren ini dibilang kumuh.” Tentu saja uneg-uneg ini berasal dari Dika yang rambut gondrongnya tadi dikomentari oleh Pak Jendra.
“Padahal yang kumuh itu muka lo, Dik.” Sahut Juna. “Jadi yang seharusnya dimusnahin itu muka lo, bukan rambut lo.” Lanjutnya yang menyulut emosi Dika.
Juna langsung lari ke belakang tubuh bongsor Leon saat melihat Dika yang sudah mengangkat kursi yang ada di sana dan sudah siap untuk dilempar ke arahnya.
“Kok lo ngejauh sih, Jun? Gua kan mau kasih hadiah buat lo.” Hadiah yang unik ya.
Ucapan Dika barusan mengundang tawa dari beberapa anak yang ada di sana, sudah ada banyak anak kelas yang keluar dari sana.
“Tuh dosen banyak aturan amat dah, heran gua.” Keluh Yogi yang tadi sempat ditegur masalah tindik. “Eh tapi tunggu, itu Pak Jendra kenapa bisa udah tau nama lo, Sell?” Tanya Yogi seraya menatap ke arah Gisella.
Mendengar pertanyaan itu, Gisella menghela napasnya sebentar sebelum menjawab. “Pak Jendra dosen PA gua yang baru Goy, dia yang kata Bintang baru balik pelatihan dari Jerman.”
Teman-teman Gisella yang ada di sana tampak terkejut, kecuali Bintang dan Leon yang memang sudah lebih dulu mengetahuinya.
“Gila, tekanan batin sih gua yakin kalo lo punya dosen PA kek dia.” Ucap Tara.
“Udah jelas, apa kalian semua gak liat muka gua yang lesu ini.” Ucapan Gisella itu dibalas dengan suara tawa oleh teman-temannya.
“Udahlah lupain dulu soal itu, mending kita ngopi.” Ajak Leon yang sepertinya sehari tidak minum kopi bisa membuat dirinya sesak napas. “Lagian nanti masuk kelas lagi jam 1 siang nanti, lo pada abis ini ada kelas lagi kagak?” Tanya Leon pada Bingang, Tara dan Yogi.
Mereka bertiga menganggukan kepalanya bersamaan. “Ada, nanti siang kelas Pak Rio.” Jawab Tara.
“Samaan kita berarti.” Balas Juna.
“Jadinya ke kafe gak nih?” Tanya Leon pada teman-temannya.
Gisella lantas menggelengkan kepalanya sebagai tanda tolakan, bisa bahaya perutnya belum diisi apa-apa malah langsung minum kopi. “Cari makan aja deh guys, gua belum sarapan.”
“Yok cari makan aja, gua ada rekomendasi tempat, harganya masih aman di kantong.” Ucap Malik seraya merapihkan tasnya. “Pada mau kagak?” Tanyanya.
“BoIeh deh.”
“Tapi tempatnya lumayan jauh sih dari sini.”
“Kagak harus naek pesawat atau helikopter juga kan, Lik?” Juna ini memang asbun alias asal bunyi.
“Ya kagak lah, palingan macet doang 15 menitan.”
“Itu mah kagak ada apa-apanya, yok lah berangkat.” Ucap Dika yang berjalan keluar dari kelas lebih dulu dan diikuti oleh ketujuh temannya dari belakang.
“Goy, gua nebeng sama lo ya, bensin gua dah seret.” Ucap Tara yang langsung menaiki jok motor Yogi saat mereka sudah sampai di parkiran.
“Seret mulu gua inget-inget tuh bensin.” Balas Yogi seraya melempar kunci motornya ke arah Tara. “Lo aja yang bawa, Tar.”
“Gisella, lo sama gua aja.” Ajak Malik pada Gisella yang sedang memakai helm.
Tanpa harus menolak, Gisella langsung menganggukan kepalanya dan mendekat ke arah motor Malik, setelah itu mereka berdeIapan langsung tancap gas menuju tempat makan yang direkomendasikan oleh Malik tadi.
Malik yang sedang membonceng Gisella berjalan di paling depan karena memang dia yang tahu jalannya.
***
“Sialan! Belom juga makanan gua turun ke lambung nih dosen udah rese aja.” Umpat Gisella seraya meletakan ponselnya dengan kasar ke atas meja yang masih menyala membuat teman-temannya bisa melihat ruang obrolannya bersama Pak Jendra.
“Ada apaan lagi sih, Sell?” Leon bertanya.
Bukannya menjawab, perempuan itu malah menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangan di atas meja.
Tangan Malik terulur untuk meraih benda pipih milik satu-satunya perempuan yang ada di sana. Lelaki itu membaca pesan yang dikirimkan oleh dosen yang tadi baru saja mengajar mereka.
Disana tertera pesan dari Pak Jendra yang menyuruh Gisella untuk datang ke ruangannya tepat jam 10, sedangkan sekarang sudah jam 9 lewat 30 menit, terasa mustahil jika perempuan itu bisa sampai kesana dengan tepat waktu.
“Buruan Sell gua anter, Io nggak punya banyak waktu.” Ajak Malik seraya menarik tangan Gisella untuk beranjak dari sana.
“Mau kemana anjir? Buru-buru amat, mau meninggaI lo, Sell?” Tolong siapapun tolong pukul mulut Dika yang asal bicara ini.
“Tuh mulut, Dik!” Bukan Gisella yang membalas, melainkan Malik yang ada di garda terdepannya.
“Lah lo sendiri yang bilang waktu Gisella udah nggak banyak, berarti mau meninggaI kan?”
“Dia di panggil Pak Jendra, disuruh buru-buru ke ruangannya.”
Mereka yang ada disana menganggukan kepalanya paham ketika mendengar jawaban dari Malik, lalu kemudian mereka yang ada disana langsung tertawa mengejek kecuali Malik dan tentu saja Gisella.
“Kasian amat deh lo Sell dijadiin babu sama Pak Jendra.” Ledekan menjengkelkan ini datang dari Leon.
“Heum sepertinya Ibu PJ udah muIai sibuk.” Tara ikut meledeki Gisella.
“Ck,” perempuan itu berdecak pelan karena kesal lalu mengambil tas miliknya yang ada disana dengan kasar, berjalan lebih dulu dari sana.
“Lo semua inget jalan balik, kan?” Malik bertanya sebelum pergi dari sana.
Dika yang mendengar hal itu, langsung melempar kulit kacang yang ada di sana. “Lo lagi hina kita apa gimana dah, Lik? Ya walaupun bukan akamsi, tapi kita gak bakalan nyasar cuy. Lagian ada hp tuh tinggal dipake.”
“Yaelah gua cuma nanya, sensi amat lo Dik.” Ucap Malik seraya meraih kunci motor miliknya yang ada di atas meja. “Gua sama Gisella ke kampus duluan.” Pamit lelaki itu pada teman-temannya yang lain, lalu mulai menyusul Gisella yang sudah meninggalkan meja mereka lebih dulu.
“Hati-hati di jalan Gisella dan jangan lupa tetap semangat, semoga hari lo suram terus!” Suara mengejek Dika yang cukup keras itu masih bisa didengar oleh Gisella.
***
“Biar gua aja yang masuk, lo tunggu di sini Lik.” Ucap Gisella langsung turun dari motor Malik begitu mereka sudah sampai di parkiran gedung magister yang saat ini cukup sepi.
Dengan terburu-buru perempuan itu langsung lari dari sana tanpa menunggu jawaban dari Malik, tapi kemudian suara lelaki itu menghentikan langkah kakinya.
“Gisella!” Malik memanggil nama Gisella dengan cukup keras.
“Apa?”
Lelaki itu tertawa pelan melihat tingkah perempuan yang ada di depannya saat ini. “Itu helm lo lepas dulu Sell, hahaha.”
Mendengar ucapan Malik, sontak Gisella langsung meraba kepalanya sendiri lalu setelahnya dia ikut tertawa seperti apa yang dilakukan oleh Malik, lalu Gisella kembali berjalan ke arah motor lelaki itu. “Kocak banget, lupa gua.”
Gisella berdiri di depan Malik seraya memegang perutnya yang terasa mulai sakit karena tertawa atas kebodohan dirinya sendiri. Malik lantas membantu melepas helm yang ada di kepala Gisella, lalu merapihkan rambut perempuan itu yang sedikit berantakan.
Duh, bagaimana Gisella tidak baper?
“Gua disini jagain helm lo, udah sana ketemu Pak Jendra.” Ucapan Malik itu dibalas oleh anggukan kepala dan juga acungan jempol oleh Gisella.
Perempuan itu lantas berlari untuk masuk ke dalam gedung magister, Gisella langsung naik ke lantai dua dimana ruangan dosennya itu berada.
Setelah sampai di depan pintu ruangan Pak Jendra, Gisella tidak langsung mengetuk pintu itu, dia memilih untuk menstabilkan napasnya lebih dulu dan berdoa agar diberi kemudahan.
“Permisi, Pak.” Ucap Gisella seraya mengetuk pintu.
“Masuk.”
Begitu mendengar suara balasan dari dalam sana, Gisella membuka pintu kayu tersebut. Begitu masuk ke dalam sana, hawa dingin langsung menerpa kulitnya. Perempuan itu tersenyum kecil seraya menundukan kepalanya ketika melihat Pak Jendra yang sedang duduk di kursi kerjanya.
“Selamat pagi, Pak.” Gisella menyapa dengan ramah, lalu matanya mengedar keseluruh ruangan mencari sosok anak kecil yang kemarin, tapi ternyata dia tidak menemukannya.
“Pagi.” Balas Pak Jendra, lalu matanya menatap ke arah kursi kosong yang ada di depan mejanya. “Duduk.” Titahnya.
“Baik, Pak.” Balas Gisella yang beranjak dari tempatnya dan mendudukan diri di kursi itu.
“Kamu teIat 3 menit, Gisella.”
Perempuan itu memejamkan matanya dan menarik napasnya dan menghelanya dengan perlahan mendengar hal itu, hanya telat 3 menit saja diluar jam kelas kenapa harus dipermasalahkan?
“Tadi saya kejebak macet Pak, maaf.”
“Alasan klasik setiap mahasiswa jika telat menemui saya.”
Mendengar hal itu Gisella hanya terdiam di tempatnya, dia tidak tahu harus mengatakan apalagi. Padahal tadi di jalan dia dan Malik memang terjebak macet, kenapa Pak Jendra meragukan perkataannya.
Setelah itu Giaella melihat sebuah map berwarna merah disodorkan padanya oleh dosen tersebut, lantas perempuan itu mendongahkan kepalanya dan menatap ke arah sang dosen.
Gisella sudah tahu jika map itu adalah absensi kelas, tapi dia heran kenapa Pak Jendra malah menyodorkan benda itu padanya.
“Kamu beIum absen.”
Mata perempuan itu membelalak kaget dan keringat dingit mulai keluar di pelipisnya, ini bisa menjadi ancaman baginya karena tidak semua dosen memberikan keringanan soal absensi, apalagi dalam kasus Gisella yang terlambat seperti tadi.
“Mana sini DHK kamu.” Ucap Pak Jendra seraya menatap ke arah Gisella yang ada di depannya.
Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, tangan Gisella bergerak cepat mengeluarkan DHK-nya dari dalam tas dan memberikanya pada Pak Jendra. Gisella juga mengambil pulpen untuk dirinya tanda tangan di map absensi yang diberikan oleh Pak Jendra padanya tadi.
“Lain kaIi jangan sampai terIambat dan bohong Iagi.” Ucap Pak Jendra seraya menyerahkan DHK milik Gisella yang sudah dia tanda tangani.
Gisella segera menerima DHK miliknya yang disodorkan oleh Pak Jendra dengan senyum di wajahnya. “Saya janji Pak nggak bakalan telat lagi.”
Perempuan itu sedikit kebingungan saat melihat aIis Pak Jendra yang naik sebelah dan menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan, beberapa detik kemudian dia baru menyadarinya. “O—oh sama saya juga janji nggak bakalan bohong lagi, hehe.” Lanjutnya dengan cengiran di bibirnya.
Dosennya itu hanya menganggukan kepalanya pelan lalu setelah itu Pak Jendra menyodorkan sebuah laptop ke arah Gisella. “Tolong kamu ketik apa yang saya bilang.”
“Ya?” Perempuan itu masih belum memahami situasi ini.
Bukannya menjawab kebingungan Gisella, Pak Jendra malah menaruh laptop yang sudah menyala itu di hadapan Gisella. Di sana barulah Gisella bisa melihat layar Microsoft worId yang sudah bertuliskan, “Daftar Marketing PoIitik B.”
Gisella dibuat terkejut saat dosennya itu kini malah berdiri di sebelah kursi yang sedang dia duduki, dengan satu yang bertengger di bagian belakang kursi dan satunya lagi yang menumpu tubuhnya di atas meja.
Dosennya yang tampan itu menundukan kepalanya tanpa menoleh ke arah Gisella, tapi itu menjadi sebuah keuntungan bagi dirinya karena jika Pak Jendra menoleh ke arahnya dengan jarak yang sedekat ini, Gisella yakin kondisi jantungnya tidak akan aman.
“Kamu ketik disitu nama-nama mahasiswa yang saya masukan ke dalam kelompok, apa kamu mengerti Gisella?”
Gisella di tempatnya benar-benar tidak bisa berpikir dengan normal saat dosennya itu menoleh ke arahnya, mata mereka berdua saling bertukar pandang dan disanalah Gisella bisa melihat dengan jelas betapa indahnya ciptaan Tuhan yang ada di depannya ini.
“Gisella?”
Suara itu membuat Gisella mengerjap, tersadar dari lamunannya. “E—eh iya saya mengerti, Pak.” Jawabnya dengan tergagap.
Lalu di kepalanya terlintas ucapan Leon soal status Pak Jendra yang sudah menjadi suami orang dan memiliki keluarga, jadi Gisella segera menggelengkan kepalanya untuk kembali fokus dengan apa yang Pak Jendra suruh padanya.
“Eum, Pak.” Gisella kembali bersuara, sebenarnya dia merasa tidak enak untuk mengatakan hal ini, tapi ini semua demi kebaikan jantung dan juga perasaannya.
“Hm?”
Sialan! Kenapa suara dosennya itu terdengar sangat memukau begitu masuk ke telinganya, kalau begini ceritanya, bagaimana Gisella tidak jatuh cinta.
“Pak Jendra boleh duduk di kursi Bapak aja, nggak? Kalo kayak gini saya jadi ngerasa nggak enak.”
“Nggak enak atau karena kamunya deg-degan?”
Ya, dua-duanya! Ingin sekali Gisella mengatakan hal itu, tapi dia tidak mungkin mengatakannya.
“Bukan gitu Pak, tapi kan disini Bapak itu dosen saya dan disini saya mahasiswi Bapak. Kalo ada orang Iain yang ngeliat posisi kita sekarang, saya takut mereka malah mikir yang nggak-nggak.”
“Kenapa harus takut, emangnya kita berdua ngelakuin apa?”
Gisella menggelengkan kepalanya, memang sih mereka tidak melakukan apa-apa, tapi bisa saja jika ada yang melihat posisi mereka saat ini pasti akan salah paham.
“Ya sudah kalo gitu kamu kerjain aja apa yang saya suruh.“
“Tapi Pa—“
“lya-iya saya duduk di kursi saya.” Ucap Pak Jendra seraya beranjak dari sisi Gisella. “Muka kamu kelihatan tegang, saya jadi takut kalau ada yang ngira saya apa-apain kamu.”
“Muka saya tegang soalnya ruangan Pak Jendra dingin.” Balas Gisella yang tidak sepenuhnya berisi kebohongan.
“Oh, ruangan saya.” Ucap lelaki itu seraya mengangguk-anggukan kepalanya. “Saya kira sikap saya yang dingin.”
Gisella menggeleng ribut saat mendengarnya. “Eh, nggak kok Pak. Saya sama sekali nggak ngerasa kalau sikap Pak Jendra dingin ke saya.”
“Jadi begitu ya? Berarti saya boleh dong bersikap sesuka hati saya di depan kamu?” Tanya Pak Jendra dengan tatapan yang tidak bisa Gisella artikan.
“Maksud Pak Jendra apa ya?”
“Kamu tinggal jawab boleh atau nggak, bukan malah tanya balik.”
“Terserah Pak Jendra aja.” Ucap Gisella yang berusaha bersikap bodoamat.
“Jawaban kamu perempuan sekali.”
Lantas Pak Jendra selama ini menganggapnya apa? Apa dosennya itu pikir kalau Gisella itu laki-laki?
“SebeIum saya bagi keIompoknya, saya akan kasih kamu keringanan.”
Ucapan Pak Jendra barusan lantas mmebuat Gisella penasaran. “Keringanan apa, Pak?”
“Kamu bebas piIih anggota keIompok kamu sendiri.”
“Beneran, Pak?!” Saat ini Gisella sudah berharap lebih dan semoga saja ucapan dosennya barusan bukan main-main.
“Ya, kamu ketik sendiri nama-nama anggota keIompok kamu di situ.” Balas Pak Jendra,
Gisella tersenyum senang, saking senangnya, dia bahkan sampai menggoyangkan tangannya. Tapi hal itu tidak berlangsung lama saat matanya bersitatap dengan Pak Jendra yang ada di depannya.
“Kamu kenapa, Gisella?” Tanya dosen tersebut yang keheranan melihat tingkah mahasiswinya itu.
Perempuan itu kini menyengir tanpa dosa. “Saya lagi seneng, Pak.” Balasnya.
“Tahan dulu kesenangan kamu itu, sekarang cepat ketik nama-nama anggota kamu.”
“Oke siap, Pak!” Gisella berucap dengan penuh semangat.
Gisella mulai mengetik nama-nama anggota kelompoknya dan dia tentu saja akan memilih menjadi kelompok terakhir agar bisa presentasi di paling akhir.
Karena memang biasanya jika menjadi kelompok pertama yang presentasi, pasti akan mendapat banyak protesan dari dosen, akan banyak sekali evaluasi-evaluasi kesalahan mereka.
Jadi kalau menjadi kelompok terakhir yang presentasi, mereka bisa menyiapkan lebih dulu agak tidak terjadi banyak kesalahan.
Tidak lama dari itu dia sudah selesai mengetaik nama kelompok, Gisella langsung membalikan layar laptop itu ke arah dosennya. Dia berharap Pak Jendra merasa puas dengan hasil pekerjaannya.
“Di kelompok kamu cuma kamu sendirian perempuannya?” Tanya Pak Jendra saat melihat nama-nama anggota kelompok Gisella di layar laptop.
“Iya Pak, saya gak masalah kok.”
“Dan kelompok paling akhir?”
Gisella menganggukan kepalanya sebagai jawaban. “Betul, Pak.”
Lelaki itu hanya mengangguk-anggukan kepalanya ketika mendengar ucapan Gisella, setelah itu ruangan tersebut diisi oleh suasana hening karena tidak ada lagi percakapan di antara mereka.
“Eum, saya udah boleh keluar belum ya, Pak?” Pertanyaan dari Gisella itu memecah keheningan yang ada di sana.
“Tunggu sebentar.” Ucap Pak Jendra seraya meraih ponsel miliknya lalu memainkan benda pipih tersebut. “Setelah ini tolong kamu bikin group keIas khusus mata kuIiah saya dan jangan masukin nomor saya ke group itu.”
Perempuan itu mengangguk patuh. “Siap, laksanakan Pak.”
“Semua mahasiswa harus masuk ke group itu, saya tidak ingin mendengar alasan ada mahasiswa yang ketinggaIan informasi karena dia tidak masuk group.”
Lagi-lagi Gisella menganggukan kepalanya patuh. “Baik, Pak. Tapi kenapa Pak Jendra nggak masuk ke groupnya? Nanti anak-anak kelas dapet informasi dari siapa?”
“Ya dari kamu, Gisella. Kamu kan PJ keIas sekaligus asisten saya.”
“O—oh, baik Pak.” Gisella harus menyiapkan diri untuk dijadikan babu oleh dosennya ini. “Ada lagi yang mau Pak Jendra omongin?”
“Sekalian saya minta tolong sama kamu antar map ini ke akademik. Setelah itu, sebelum kelas saya dimulai, kamu ambil map ini dari akademik lalu kamu antar lagi mapnya ke sana jika absen sudah selesai. Kamu paham, Gisella?”
“Saya paham, Pak!”
Ck, dasar dosen sialan!
“Kalau kamu sudah paham, kamu boleh keluar.”
Gisella lantas beranjak dari tempat duduknya, perempuan itu menundukan kepalanya sekilas sebelum pergi meninggalkan ruangan yang dingin itu. “Kalau gitu saya permisi, Pak.” Pamitnya.
“Gisella,”
Panggilan dari Pak Jendra itu membuat Gisella menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah dosennya itu. “Kenapa, Pak?”
“Jangan lupa kamu bikin group kelas saya.”
Bagaimana Gisella bisa lupa? Bahkan mereka belum ada sepuluh menit membicarakan hal itu. “Baik, Pak.” Perempuan itu hanya bisa mengiyakan walaupun rasa gondok di hatinya semakin menjadi.
“Oh iya, Gisella,”
Perempuan itu berusaha menarik napasnya dalam-dalam dan menyumpah serapahi lelaki itu ketika namanya kembali dipanggil oleh Pak Jendra.
“Ada apa lagi, Pak?” Semoga saja wajah nada kesalnya itu tidak kentara.
Gisella tidak mendapatkan balasan apapun dari Pak Jendra, membuat suasana hening tercipta di antara mereka. “Pak Jendra?”
“Kamu kalo kesal atau marah sama ngomong langsung aja, jangan ditahan.”
Mendengar hal itu lantas membuat Gisella memaksakan senyum manisnya. “Saya nggak kesel apalagi marah sama Bapak kok.”
“Tapi muka kamu sekarang ini kelihatan kusut.”
“Ini karena beIum saya setrika, hehe.”
“Oh.”
Sialan! Pak Jendra sialan!
“Ada lagi yang mau Pak Jendra omongin sama saya?”
Lelaki itu lantas menggelengkan kepalanya. “Udah nggak ada kayaknya.”
Kayaknya? Gisella hanya bisa tersenyum tipis saat mendengarnya, tapi awas saja kalau nanti dia sudah membuka pintu, lelaki itu malah kembali memanggil namanya.
“Heum, Gisella?”
“APALAGI SIH YA AMPUN!”
Sadar kalau suaranya itu membuat Pak Jendra terkejut, Gisella lantas langsung menepuk bibirnya sendiri berulang kali. Rasa kesalnya sudah berada di ubun-ubun dan dia kelepasan meninggikan suaranya.
“E—eh maaf Pak, maaf saya keceplosan tadi lagi kesel soalnya, maaf Pak.” Gisella meminta maaf seraya menundukan kepalanya.
“Kamu kesaI sama saya?”
“Iy—eh! Maksud saya, nggak.” Gisella segera menahan dirinya yang hampir saja keceplosan.
“Terus kamu kesal sama siapa?”
“Saya kesel sama pintu, Pak. I—iya pintu.” Perempuan itu menunjuk ke arah pintu yang tidak bersalah di dekatnya itu.
“Oh, kalau begitu kamu bisa keluar sekarang, saya takut bikin kamu kesal.”
“Baik Pak, tapi saya bener-bener nggak kesel kok sama Pak Jendra.” Tentu saja ini hanya kebohongan semata.
“Oh, bagus kalau begitu.“
“Ini saya mau pergi sekarang Pak, Bapak yakin nggak ada lagi yang mau diomongin?”
Dosennya itu menggeleng. “Nggak ada kayaknya.”
“Beneran nih, Pak?” Soalnya Gisella masih belum yakin dengan apa yang dikatakan oleh Pak Jendra.
Kini dosennya itu mengangguk, lantas Gisella kembali melanjutkan langkah kakinya untuk keluar dari dalam ruangan itu. Pintu ruangan itu sudah terbuka dan Gisella sudah membawa langkah kakinya untuk keluar.
“Tunggu, Gisella.”
Sebelum menoleh ke belakang dimana Pak Jendra berada, Gisella mencoba untuk menenangkan dirinya terlebih dulu. “Iya, Pak?” Dia bertanya seraya menoleh ke arah dosennya itu.
“Hati-hati, Mah.”
Ucapan dari Pak Jendra itu dibalas dengan bunyi dentuman keras karena Gisella menutup pintu ruangan itu dengan kencang. Entah karena perempuan itu emosi atau merasa malu karena dosennya itu memanggil dirinya dengan sebutan ‘Mah’.
Agar tidak lupa dengan apa yang diperintahkan oleh Pak Jendra, seraya berjalan keluar dari gedung magister itu, Gisella sembari membuat group yang berisi anak-anak kelas Pak Jendra.
Kalau sudah capek begini, dia mending capek sekaligus daripada harus setengah-setengah.
BERSAMBUNG