Langit di seluruh dunia kini hanyalah kanvas retakan. Malam tanpa bintang. Dua puluh tahun yang lalu, peradaban manusia berubah selamanya. Sebuah lubang dari retakan dimensi yang menganga seperti luka di angkasa, memuntahkan makhluk-makhluk dari mimpi buruk.
Mereka datang dari dunia lain, tanpa nama dan tanpa belas kasihan. Mereka menghancurkan gedung pencakar langit, meratakan jalan, dan menyebarkan kepanikan di mana-mana. Separuh populasi musnah, dan peradaban manusia berada di ambang kehancuran total.
Namun, di tengah-tengah keputusasaan itu, harapan muncul. Beberapa manusia, entah bagaimana, mulai bangkit dengan kekuatan luar biasa.Mereka menjadi Pemburu. Dengan kekuatan yang setara dewa, mereka berjuang, jatuh, dan bangkit kembali.
Namun, di balik layar, rumor mulai beredar. Retakan-retakan kecil yang seharusnya stabil mulai menunjukkan tanda-tanda kegelisahan. Seolah-olah mereka adalah mata-mata dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang sedang menunggu di sisi lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FA Moghago, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Sentuhan Takdir
Setelah melihat Rangga dalam kondisi yang membaik, Arka pulang ke rumah. Perasaannya campur aduk antara lega dan khawatir. Malam itu, tidurnya tidak tenang. Ia mengerang, seolah-olah dihantui oleh mimpi buruk, lalu terbangun dengan napas terengah-engah. Saat Arka melihat jam, waktu menunjukkan pukul 3 pagi. Perutnya bergemuruh kelaparan. Ia bangkit, menyadari persediaan makanan di kulkasnya kosong. Dengan jaket tipis menutupi tubuhnya, Arka keluar rumah menuju minimarket terdekat.
Malam itu, bulan tidak terlihat, tertutup awan hitam yang tebal. Angin dingin berembus kencang, membawa firasat buruk. Setelah membeli beberapa makanan, Arka bergegas kembali ke rumahnya.
Saat ia sampai di persimpangan jalan, sebuah suara aneh menarik perhatiannya. Penasaran, Arka mendekat ke celah sempit di antara dua bangunan. Ia terdiam sejenak, melihat sesosok makhluk kurus dengan satu tanduk panjang yang patah. Makhluk itu terlihat terluka, bersembunyi di balik kegelapan.
Merasakan kehadiran Arka, makhluk itu menoleh. Mata merahnya menyala dalam kegelapan. Itu adalah monster yang lolos dari pertempuran semalam. Arka terkejut, kakinya lemas. Ini adalah pertama kalinya ia melihat monster dari jarak sedekat ini, sendirian. Tanpa ragu, monster itu menerjang. Arka refleks menghindar dan mulai berlari, gumamannya terdengar di tengah kepanikan. "Kenapa... kenapa ada monster di sini?"
Ia berlari sekuat tenaga, mengambil jalan memutar agar bisa sampai ke rumahnya dengan aman. Setelah beberapa saat, ia menoleh ke belakang dan tidak melihat monster itu lagi. Arka merasa sedikit lega, namun tetap waspada. Ia terus berlari, hingga akhirnya kehabisan napas dan berhenti sejenak, membungkuk sambil memegang lututnya.
Pada saat itulah, sebuah serpihan retakan dimensi muncul di hadapannya, mengambang di udara seperti pecahan kaca. Serpihan itu memancarkan cahaya redup, menarik perhatian Arka. Dengan rasa penasaran yang bercampur ketakutan, ia mendekat perlahan dan mencoba menyentuhnya.
Saat tangannya menyentuh serpihan itu, tubuh Arka membeku seketika. Matanya melotot, dan cahaya di dalamnya menghilang. Kesadarannya lenyap, dan ia jatuh tak sadarkan diri. Di atas langit, awan hitam semakin tebal, guntur bergemuruh, dan hujan deras mulai turun, seolah-olah alam semesta menangisi nasib yang baru saja menimpa Arka.
Di bawah rintik hujan yang dingin dan hembusan angin malam, dalam kesadarannya yang terperosok ke dalam kekosongan, Arka jatuh. Ia jatuh ke dalam jurang kegelapan yang tak berujung. Arka mencoba berteriak, namun suaranya tidak keluar. Setelah waktu yang terasa seperti keabadian, ia akhirnya mendarat di dasar jurang. Kepanikan hebat melandanya. Ia mencoba berteriak lagi, tapi sia-sia. Bukan hanya suaranya yang hilang, tapi penglihatannya juga. Semuanya gelap.
Setelah sekian lama berjalan tanpa arah dalam kegelapan, ia melihat sebuah titik cahaya. Arka berlari, sekuat tenaga, berharap bisa mencapai cahaya itu. Tapi seolah-olah cahaya itu adalah fatamorgana, ia terus berlari tanpa pernah mendekat. Arka frustrasi, ia mengutuk semua kejadian yang menimpanya. Ia menyerah, berlutut, dan membiarkan keputusasaan menguasai dirinya.
Pada saat ia merasa benar-benar tak berdaya, titik cahaya itu mulai bergerak. Perlahan, cahaya itu mendekat, membesar, dan terus membesar. Saat cahaya itu tiba di hadapannya, Arka terkejut. Dalam sekejap, ia melihat sebuah makhluk raksasa menggenggam bumi di telapak tangannya. Makhluk itu menoleh, menatap lurus ke arah Arka. Napas Arka tercekat, jantungnya berdetak kencang, seolah nyawanya akan keluar dari tubuh.
Kemudian, semuanya kembali normal. Arka terbangun, kesadarannya kembali ke tubuhnya, di bawah rintikan hujan yang masih turun. Tubuhnya terasa lemas, dan ia mencoba bangkit. Pemandangan di sekitarnya terasa hampa. Hanya ada hujan, genangan air, dan lampu jalan yang menyala redup. Kejadian yang baru saja ia alami terasa begitu nyata, dan entah mengapa, ia merasa ada sesuatu yang telah berubah di dalam dirinya.
Arka melanjutkan langkahnya yang terasa berat, pulang ke rumah dalam keadaan lemas. Di belakangnya, serpihan retakan dimensi yang semakin membesar seolah tak lagi berarti. Setibanya di depan pintu, ia langsung ambruk, terlelap dalam kelelahan yang luar biasa.
Pagi tiba, Arka terbangun dengan tubuh yang penuh keringat dingin dan menggigil. Ia memaksa dirinya berjalan ke kamar dan kembali terbaring di kasur. Ia kembali terlelap, kali ini dalam mimpi buruk yang jauh lebih parah dari sebelumnya. Rintihan kesakitan keluar dari bibirnya, menunjukkan tidak ada ketenangan sedikit pun dalam tidurnya.
Satu hari lagi berlalu. Arka terbangun dari mimpi buruk panjangnya dengan perasaan hampa. Dia beranjak dari tempat tidur, bergegas mandi, dan menyadari jam sudah menunjukkan pukul 10 siang. Seperti biasa, ia sarapan sambil menyalakan televisi, melihat siaran berita tentang kondisi dunia. Namun, kali ini, pikirannya terasa kosong. Emosi yang biasa ia rasakan seakan menghilang, dan tubuhnya terasa seringan kertas.
Tiba-tiba, ia teringat pekerjaannya. Ia mengambil ponselnya dan terkejut melihat sudah satu hari berlalu sejak ia terakhir kali sadar. Panik, Arka segera memakai seragam kerjanya dan bergegas pergi ke kedai kopi, merasa ada sesuatu yang jauh lebih aneh terjadi padanya selain mimpi buruk yang terus-menerus.
Arka berlari sekuat tenaga menuju kedai kopi, seragam kerjanya terasa aneh di badannya yang masih lemas. Dari kejauhan, ia sudah bisa melihat area itu dipenuhi oleh para Pemburu, polisi, dan wartawan. Garis polisi membentang, melarang siapa pun untuk mendekat. Bangunan di sekitar terlihat hancur, menjadi saksi bisu dari kengerian yang baru saja terjadi.
Saat Arka mencoba mendekat, seorang polisi menghentikannya. "Mohon jangan dekati area ini," ucap polisi itu dengan tegas.
"Ada apa sebenarnya?" tanya Arka, bingung. "Kenapa semua kacau?"
Polisi itu menatapnya dengan tatapan iba. "Kemarin malam, ada retakan dimensi di area sini. Banyak korban yang berjatuhan," jelasnya.
Jantung Arka berdegup kencang. "Kedai kopi di sini... bagaimana kondisinya?"
Polisi itu menunjuk ke arah puing-puing yang tersisa. "Kedai itu hancur total. Pemiliknya dan keluarganya... mereka tidak sempat diselamatkan oleh para Pemburu karena terlalu dekat dengan retakan."
Mendengar itu, emosi yang selama ini terasa hampa tiba-tiba kembali. Namun, bukan kemarahan atau kesedihan yang mendominasi. Arka merasakan sebuah amarah yang dingin, tetapi di saat yang sama, pikirannya menerima fakta itu dengan aneh. Seolah-olah, kematian para pemilik kedai kopi itu adalah hukum dari alam yang tak bisa diganggu gugat. Dunia sekarang memang kejam, dan siapa pun yang lemah akan menjadi korban. Itu adalah hukum yang berlaku bagi semua orang.
Arka terdiam, menatap puing-puing kedai kopi. Ia tidak bisa merasakan kesedihan yang mendalam, hanya sebuah kepahitan yang aneh. Sepertinya, pengalaman pahit di alam bawah sadarnya telah mengubah cara ia memandang dunia.
jangan dikasih kendor thor😁🔥