Seorang wanita miskin bernama Kirana secara tidak sengaja mengandung anak dari Tuan Muda Alvaro, pria tampan, dingin, dan pewaris keluarga konglomerat yang kejam dan sudah memiliki tunangan.
Peristiwa itu terjadi saat Kirana dipaksa menggantikan posisi anak majikannya dalam sebuah pesta elite yang berujung tragedi. Kirana pun dibuang, dihina, dan dianggap wanita murahan.
Namun, takdir berkata lain. Saat Alvaro mengetahui Kirana mengandung anaknya. Keduanya pun menikah di atas kertas surat perjanjian.
Apa yang akan terjadi kepada Kirana selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafizqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 – Hasil Tes yang Mengejutkan
Dua bulan kemudian.
“Kirana! Kamu muntah lagi?” suara tajam Nyonya Arita menggema dari balik ruang dapur, terdengar jengkel.
Kirana buru-buru membasuh mulutnya di wastafel. Wajahnya pucat, tubuhnya lemas.
Ia bahkan belum sempat menyentuh sarapan pagi itu. Bau makanan membuat perutnya bergejolak, dan sepertinya sudah hampir seminggu tak bisa menerima apa pun selain air putih.
“Saya… saya cuma masuk angin, Nyony—”
“Masuk angin apa!" Potong Arita.
"Sudah enam hari kamu begitu-begitu saja! Mual, muntah, pusing. Jangan-jangan…” Mata tajam Nyonya Arita menyipit, menatap Kirana dari ujung kepala sampai kaki penuh curiga.
Kirana menunduk, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tidak tahu apa yang sedang Nyonya Arita pikirkan tentangnya. Beberapa hari terakhir, perasaannya memang tidak enak. Semoga bukan sesuatu yang buruk.
“Kita ke dokter sekarang. Ayo!"
Kirana hanya bisa menurut. Ia bersiap-siap, lalu pergi ke Dokter sesuai permintaan Nyonya Arita.
---
Di ruang praktik dokter, suasana terasa dingin. Kirana duduk gelisah, sementara Nyonya Arita berdiri di sampingnya dengan tangan terlipat di dada dan wajah tidak sabar.
“Cepat periksa dia, Dok. Saya nggak mau pembantu saya ini menyembunyikan sesuatu,” katanya tajam. Kirana menoleh, ucapan itu seolah menusuk dadanya.
Dokter wanita itu tetap tenang, mengangguk sopan lalu mulai melakukan serangkaian pertanyaan dan pemeriksaan. Beberapa menit kemudian, ia membaca hasil tes urin yang baru saja keluar dari lab kecil di belakang.
Ia menatap Kirana, lalu menoleh ke arah Nyonya Arita.
“Hasilnya positif,” katanya tenang.
“Positif apa?” tanya Nyonya Arita cepat.
“Kehamilan. Usia kandungan diperkirakan sekitar delapan minggu.”
Nyonya Arita menjatuhkan tas di tangannya setelah mendengar itu, matanya membelalak, wajahnya memerah menahan amarah.
“Apa? HAMIL?!” Ucapnya terkejut.
Kirana terdiam, wajahnya pucat pasi. Matanya menatap kosong ke depan.
"Tidak mungkin. Ini tidak mungkin terjadi. Aku..... Hamil?" Kirana tak bisa menahan air matanya.
“Tidak! Tidak mungkin! Dasar perempuan tak tahu diri!” bentak Nyonya Arita sambil berdiri dari kursi dengan marah.
“Siapa yang menghamili kamu, hah?! Siapa?!”
Kirana menggeleng pelan, bibirnya gemetar.
“Saya… saya tidak tahu…”
PLAK!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Kirana. Ruangan seketika hening. Dokter terkejut namun tak sempat bereaksi.
“Berani-beraninya kamu hamil dan tinggal di rumah saya! Dasar tidak tahu malu! Dasar perempuan jalang!” teriak Nyonya Arita murka.
Kirana menunduk, menahan tangis yang mulai jatuh. Pipinya berdenyut panas, tapi lebih panas lagi adalah luka di hatinya.
"Saya sudah memperlakukan kamu sangat baik, Kirana. Ini balasan kamu ke saya? Hah?"
"Maaf Nyonya..... "
"Saya kecewa Kirana. Saya benar-benar kecewa dengan kamu"
Kirana diam. Ia ingin berbicara, ingin menjelaskan, tapi bahkan dirinya sendiri belum memahami sepenuhnya bagaimana semua ini bisa terjadi.
---
Sesampainya di rumah, amarah Nyonya Arita meledak lebih besar.
“Ambil barangmu! Sekarang juga! Keluar dari rumahku, Kirana! Aku tidak mau rumahku dijadikan sarang pelacur!”
“Nyonya… tolong… saya tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Saya tidak pernah—”
“BOHONG!” bentak wanita paruh baya itu.
“Jangan sok polos di depanku! Kamu pikir aku bodoh? Apa kamu tidur dengan sopir? Dengan tukang kebun? Atau kamu menjajakan diri diam-diam waktu aku pergi?”
Kirana menangis, air matanya tak terbendung. Ia berlutut, memohon, namun tatapan Nyonya Arita hanya penuh jijik.
“Kamu sungguh memalukan! Keluarga saya punya nama baik, Kirana! Dan kamu merusaknya hanya karena nafsu murahanmu itu!”
"Nyonya..... saya benar-benar tidak..... "
"PERGI.....!! Saya tidak mau kamu ada disini lagi"
Kirana mengusap air matanya. Dengan sisa tenaga, Kirana bangkit dan berjalan ke kamarnya. Tangannya gemetar saat mengemasi pakaian dan barang-barangnya ke dalam tas kecil yang sudah sobek di ujungnya.
Hatinya terasa hancur.
Ia tidak tahu harus ke mana. Ia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Tapi satu hal yang pasti—ia telah kehilangan tempat tinggal, kehilangan pekerjaan, dan kini harus menanggung beban kehamilan tanpa tahu siapa ayah dari anaknya.
Wajah itu kembali muncul di pikirannya—wajah pria dingin yang muncul di televisi… Alvaro Wilantara.
Tidak mungkin.
Kirana menepis pikirannya. Tidak mungkin dia. Bahkan wajah pria yang bersamanya malam itu tidak ia ingat. Kirana sendiri merasa ragu. Bagaimana bisa ia datang meminta pertanggung jawaban sedangkan dirinya tidak memiliki bukti.
Usai mengemasi barangnya, Kirana langsung pergi.
Di luar rumah besar itu, langit terlihat mendung dan hujan akan mulai turun. Saat Kirana melangkah keluar sambil menggendong tas kecil dan sehelai jaket tipis, angin malam menyambutnya dengan dingin yang menggigit.
Namun dingin itu tak seberapa dibanding dinginnya kenyataan yang kini ia hadapi.
"Maafkan ibumu yang ceroboh ini ya, Nak" Air matanya menetes penuh penyesalan. Sekarang Dunianya telah berubah. Kini ia harus menghadapi semuanya seorang diri.
.
.
.
Bersambung.