Cerita ini season dua dari Istri Kesayangan Bule Sultan. Bercerita tentang perseteruan antar ayah dan anak yang berlomba-lomba merebut perhatian Mommy nya.
"Hari ini Mommy akan tidak bersama ku."
"Tidak! Mommy milik adek!"
"Kalian berdua jangan bertengkar karena karena Mommy akan tidur dengan Daddy, bukan dengan kalian berdua."
"Daddy!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mawar Jk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 4
Maizah mendorong pelan pintu kamar dan melangkah masuk, bertepatan dengan keluarnya Arvid dari walk-in closet. Pria itu tampak santai dan tampan dengan kaos abu-abu dan celana pendek selutut yang sebelumnya sudah disiapkan oleh Maizah. Rambutnya sedikit basah, hasil mandi cepat barusan.
Melihat istrinya, Arvid tersenyum. Ia segera menghampiri dan tanpa berkata apa-apa, langsung meraih pinggang Maizah, menarik tubuh mungil itu mendekat hingga benar-benar menempel di dadanya.
“Anak-anak sudah siap?” tanyanya, suaranya rendah dan lembut.
Maizah meletakkan tangannya di dada Arvid, namun tidak berusaha menjauh. “Mereka sudah mandi. Aidan bahkan mandi sendiri dan menyanyi sambil sabunan.”
Arvid tertawa pelan. “Pasti dia nyanyiin lagu-lagu aneh buatan dia sendiri ya?”
Maizah mengangguk sambil ikut terkekeh. “Betul. Kali ini lagu tentang sabun yang jangan sampai kena mata.”
Pria itu mengangguk mengerti, lalu dengan lembut mencium wajah Maizah—dahi, kedua pelipis, pipi kanan dan kiri, lalu terakhir mendarat di bibir istrinya. Ciuman yang awalnya hanya sentuhan lembut itu, berubah menjadi lumatan hangat yang dalam. Bibir mereka saling menempel lebih lama dari biasanya, seolah melepas rindu yang tertahan meski hanya berpisah sejak pagi.
Cinta yang tumbuh di antara mereka tidak pernah terasa basi. Justru semakin hari, semakin penuh makna, terutama setelah melewati tahun-tahun penuh ujian dan kehilangan.
Namun kebersamaan itu tak berlangsung lama.
Tok tok tok.
Suara ketukan diikuti panggilan lembut dari balik pintu.
“Mommy…”
Maizah menarik bibirnya dengan pelan dari Arvid, lalu terkekeh kecil. Arvid menghela napas, lagi-lagi di di ganggu oleh bocah itu di saat hangat-hangatnya.
Maizah menepuk dada suaminya dan menggenggam tangannya. “Ayo keluar. Mereka pasti lapar.”
Mereka pun membuka pintu dan keluar dari kamar. Di depan pintu, Aidan berdiri sambil memeluk boneka Choco, menatap ke arah mereka dengan wajah polos.
Maizah membungkuk sedikit, mengelus kepala Aidan dengan lembut. “Maaf sayang, Mommy tidak bermaksud lama. Ayo kita turun ke bawah, ya?”
Tapi si kecil justru menggeleng pelan dan menunjuk ke arah Arvid sambil berkata, “No, Mommy. Mommy tidak salah. Yang salah pasti Daddy yang nahan Mommy di dalam.”
"No, Mommy. Mommy tidak salah, yang salahpasti Daddy yang menahan Mommy."
Arvid mengangkat sebelah alisnya saat di salahkan oleh putranya. Lihatlah itu. "Loh kok jadi salah Daddy sih. Kamu aja yang buru-buru. Katanya sudah besar, kok apa-apa panggil Mommy sih."
"Daddy!"
"Aidan..."
Mendengar nada suara Maizah yang sudah berubah menjadi ‘peringatan lembut’, Aidan langsung mengubah sikap. Ia melipat tangan di depan dada dan memalingkan wajah, bersikap sok cuek tapi jelas-jelas sedang merajuk. Tapi seperti biasa, jika Mommy sudah bicara, tidak ada ruang untuk membantah.
Tepat saat suasana menjadi sedikit lucu dan canggung, pintu kamar sebelah terbuka. Matthew melangkah keluar dengan rambut rapi dan wajah santai seperti biasa. Ia memandang mereka dengan alis terangkat.
"What's going on?" Tanyanya.
“It’s okay,” sahut Maizah cepat sambil mengelus punggung Aidan. “Katanya tadi kalian mau tunjukin sesuatu ke Mommy dan Daddy?”
“Oh iya! Aidan lupa!” seru Aidan tiba-tiba. Wajahnya langsung berubah ceria. Ia pun berbalik dan melesat menuju kamarnya, lari kecil sambil menyeret boneka Choco.
Beberapa detik kemudian, Aidan kembali dengan lembaran kertas di tangannya. Ia menggenggamnya erat-erat seolah membawa harta karun. Wajahnya bersinar penuh semangat.
Mereka pun mulai menuruni tangga. Maizah menggandeng Aidan yang melompat-lompat riang dengan gambar di tangannya, sementara Matthew dan Arvid berjalan di belakang, dengan tangan di dalam saku dan ekspresi tenang.
Like father, like son. Bahkan langkah mereka pun tampak serupa.
Setibanya di ruang keluarga, Maizah pamit ingin mengambil buah-buahan untuk cemilan sore. Dan seperti biasa, anak dan suaminya mengekori.
"Daddy ikut," sahur Arvid.
"Matthew juga," sahut Matthew.
"Aidan, Aidan juga!" seru Aidan yang tidak mau kalah. Ia langsung melompat dari karpet sambil memeluk boneka Choco.
Di dapur, Maizah membuka kulkas dan mengeluarkan buah-buahan yang sudah ia potong sebelumnya, puding buah yang ia sudah buat, dan jus sebagai minumannya.
Arvid membawa nampan besar, Matthew menenteng gelas dan botol minuman, sementara Maizah membawa piring buah. Aidan? Ia membawa satu sendok kecil khusus untuk Choco, dan dengan bangga berjalan paling depan seolah menjadi pemimpin rombongan.
Setibanya di ruang keluarga, mereka menata semua di atas meja rendah di tengah. Maizah mengambil tisu dan menyusun dengan rapi. Arvid menyalakan TV, memilih saluran film keluarga yang lucu. Tak lama, suara musik ceria memenuhi ruangan.
Semuanya duduk di atas karpet bulu, menghadap ke meja.
“Ini, Mommy! Daddy! Lihat ini gambar Aidan buat di sekolah tadi!” anak kecil itu menunjukkan gambarnya pada anggota keluarganya.
“Ini Mommy, Daddy, Kakak Matthew, dan Aidan,” jelas Aidan dengan bangga. “Terus itu yang di atas... itu bintang kecil kita. Dia jaga kita dari langit.”
Mendengar itu, Maizah tertegun sejenak. Matanya langsung berkaca-kaca. Ia mengangguk dan memeluk Aidan erat. Arvid memalingkan wajah sesaat, menahan gejolak di dadanya. Matthew ikut terdiam, menunduk sedikit.
"Hebat, Aidan pandai sekali menggambar." Puji Maizah setelah pelukannya terlepas.
"Anak Daddy, hebat!" Arvid mengelus kepala putra bungsunya.
"Kalau Kak Matthew bagaimana?" Tanya Maizah pada putra sulungnya. Sore-sore begini memang waktunya mereka deep talk
"Tidak ada yang spesial mom, tapi nanti di semester depan aku mau masuk club coding." Ujar Matthew mengungkapkan keinginan.
Arvid langsung menyahut, “Bagus itu, Kak. Daddy dukung! Nanti Daddy bantu bikin ruang komputer buat kamu di rumah, biar kamu bisa belajar dan eksplor lebih banyak.”
Matthew mengangkat wajahnya dengan tatapan terkejut sekaligus bahagia. Sebenarnya, ia sudah memiliki komputer di kamarnya—komputer yang digunakan untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah atau sesekali menonton video edukatif. Namun, komputer itu dibatasi penggunaannya oleh Arvid, yang memang sengaja memasang kontrol pengawasan ketat. Bukan karena tidak percaya, melainkan karena Arvid ingin membimbing Matthew belajar dengan aman dan bertanggung jawab.
Tapi kali ini, yang dimaksud Arvid adalah sesuatu yang berbeda. Sebuah ruang komputer khusus. Sebuah tempat yang tidak hanya berisi komputer dengan spesifikasi tinggi, tetapi juga menjadi ruang eksplorasi—dengan berbagai perangkat tambahan seperti printer 3D, mikrokontroler, tablet gambar digital, dan bahkan perangkat simulasi sederhana. Sebuah surga bagi seorang anak yang mulai menyukai dunia teknologi.
Senyum lebar muncul di wajahnya. Tanpa ragu, Matthew bangkit sedikit dari duduknya dan memeluk Arvid. “Thank you, Dad,” ucapnya tulus.
Arvid membalas pelukan itu dengan hangat, mengusap punggung putranya yang semakin hari makin tinggi. Ia menepuk pelan punggung Matthew dan berkata dengan nada rendah namun bermakna, “Kamu anak hebat, Kak. Daddy percaya kamu bisa berkembang lebih jauh kalau punya tempat dan alat yang tepat.”
“Kami akan selalu dukung apa pun yang kalian minati,” kata Maizah, suaranya penuh ketulusan. Ia menyentuh pipi Matthew lembut. “Selama itu positif dan membuat kalian bahagia, Mommy dan Daddy akan lakukan yang terbaik semampu kami. Jangan takut mencoba, ya, sayang.”
Matthew mengangguk. “Thank you, Mom,” ujarnya pelan lalu merengkuh ibunya dalam pelukan.
“Aidan juga mau peluk!” seru Aidan dari samping.
Tanpa perlu diminta dua kali, Arvid tertawa kecil lalu menarik Aidan ke dalam pelukan bersama. Kini, mereka semua—Maizah, Arvid, Matthew, dan Aidan—berada dalam satu pelukan keluarga yang hangat dan penuh cinta.
Tawa mereka pun pecah bersamaan, menular, membasahi ruang keluarga dengan kebahagiaan sederhana yang begitu berarti.
Tbc.
...Jangan lupa like dan komen yaa... see u next part...
semangatttt