Anjani, gadis manis dari kampung, menikah dengan Adrian karena cinta. Mereka tampak serasi, tetapi setelah menikah, Anjani sadar bahwa cinta saja tidak cukup. Adrian terlalu penurut pada ibunya, Bu Rina, dan adiknya, Dita. Anjani diperlakukan seperti pembantu di rumah sendiri. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan, tanpa bantuan, tanpa penghargaan.
Hari-harinya penuh tekanan. Namun Anjani bertahan karena cintanya pada Adrian—sampai sebuah kecelakaan merenggut janin yang dikandungnya. Dalam keadaan hancur, Anjani memilih pergi. Ia kabur, meninggalkan rumah yang tak lagi bisa disebut "rumah".
Di sinilah cerita sesungguhnya dimulai. Identitas asli Anjani mulai terungkap. Ternyata, ia bukan gadis kampung biasa. Ada darah bangsawan dan warisan besar yang tersembunyi di balik kesederhanaannya. Kini, Anjani kembali—bukan sebagai istri yang tertindas, tapi sebagai wanita kuat yang akan menampar balik mertua dan iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 4
Sirine ambulans meraung, membelah jalan yang mulai lengang. Anjani terbaring lemah di dalamnya, wajahnya pucat dengan bercak darah di bajunya. Napasnya tersengal, dan kesadarannya perlahan memudar.
Di rumah sakit terdekat, tim medis segera bergerak cepat. Anjani mengalami pendarahan serius, dan dokter tak membuang waktu untuk membawanya ke ruang gawat darurat.
Sementara itu, pengendara mobil—seorang pria paruh baya berkewarganegaraan asing—juga mengalami luka berat. Tulang kaki dan tangannya patah, membuatnya tak bisa bergerak saat ditandu masuk ke dalam rumah sakit.
Di tengah situasi darurat ini, Adrian bergegas tiba setelah mendapat kabar. Wajahnya tegang, matanya penuh kecemasan saat melihat tubuh istrinya yang tak sadarkan diri.
"Dokter, bagaimana keadaan istri saya?" tanyanya, suaranya gemetar.
Dokter menatapnya serius. "Kami akan melakukan yang terbaik. Saat ini, dia mengalami pendarahan cukup parah. Kami butuh waktu."
Adrian mengangguk lemah, kedua tangannya mengepal. Namun, sebelum bisa menenangkan pikirannya, suara nyaring dan tajam terdengar di belakangnya.
"Adrian! Apa yang terjadi pada Anjani?"
Bu Rina datang dengan ekspresi panik, tapi matanya masih dipenuhi tatapan menyelidik. Dita berdiri di sampingnya, menutup mulutnya seolah terkejut, tapi ada kilatan aneh di matanya.
"Astaga, jangan-jangan ini gara-gara dia sendiri?!" Dita tiba-tiba bersuara, sengaja menambahkan drama. "Bukankah dia memang selalu ceroboh?"
Adrian menoleh tajam. "Dita, jaga bicaramu!"
Namun, Bu Rina justru menambahkan minyak ke dalam api. "Sudah kubilang dari awal, perempuan itu hanya membawa sial! Baru juga menikah, sekarang malah bikin masalah!"
Adrian memijit pelipisnya, berusaha menahan emosi. Tapi di dalam ruang gawat darurat, Anjani masih berjuang antara hidup dan mati, tanpa mengetahui bahwa keluarganya sendiri malah memperburuk keadaan.
Waktu terasa berjalan begitu lambat. Adrian mondar-mandir di depan ruang gawat darurat, wajahnya penuh kegelisahan. Bu Rina dan Dita duduk di bangku tunggu, tapi bukan dengan ekspresi khawatir, melainkan penuh ketidaksabaran.
Setelah sekian lama, pintu ruang gawat darurat akhirnya terbuka. Seorang dokter keluar dengan wajah serius. Adrian langsung menghampiri.
"Dok, bagaimana keadaan istri saya?"
Dokter menghela napas. "Kami berhasil menghentikan pendarahannya, tapi…" Dokter ragu sejenak sebelum melanjutkan, "Kami tidak bisa menyelamatkan kandungannya. Istri Anda mengalami keguguran."
Seolah dunia runtuh di depan matanya, Adrian terdiam. "A-apa?" suaranya bergetar.
"Saya turut berduka, Pak Adrian. Saat ini, kondisi istri Anda masih lemah, dia butuh banyak istirahat."
Adrian mengepalkan tangan, mencoba menahan emosinya. Namun sebelum bisa berkata apapun, suara ketus Bu Rina langsung memotong.
"Berapa biaya rumah sakitnya, Dok?"
Dokter sedikit mengernyit, tak menyangka pertanyaan pertama yang keluar bukan soal kesehatan pasien, melainkan uang. "Biaya bisa dibicarakan nanti, yang terpenting sekarang adalah pemulihan pasien."
Bu Rina mendengus. "Huh! Jadi bukan hanya menyusahkan, tapi juga kehilangan bayi? Sudah kubilang dari awal perempuan itu hanya membawa sial!"
Adrian menoleh tajam ke arah ibunya. "Ma! Anjani baru saja kehilangan anak kami, dan itu yang mama pikirkan?!"
Dita justru menimpali dengan nada menyebalkan. "Tapi Mama ada benarnya juga, Mas. Uang yang seharusnya bisa kita gunakan untuk hal lain, malah terbuang sia-sia untuk Anjani. Lagipula, kalau dia lebih berhati-hati, ini semua nggak akan terjadi."
Adrian mengepalkan tinjunya, matanya merah menahan marah. "Cukup! Kalau kalian hanya mau menyalahkan Anjani dan membicarakan uang, lebih baik kalian pulang saja!"
Bu Rina menyipitkan matanya, tak terima dengan ucapan anaknya. "Adrian! Kau membentak mama mu demi perempuan itu?!"
Adrian menatap ibunya penuh ketegasan. "Aku membela istriku karena dia tidak bersalah! Kalau kalian tidak bisa menunjukkan sedikit kepedulian, lebih baik jangan ada di sini!"
Bu Rina mendesis marah, sementara Dita hanya bisa memelototi Adrian. Namun sebelum mereka sempat membalas, seorang perawat keluar dari ruang perawatan.
"Suami pasien Anjani, silakan masuk. Istri Anda sudah sadar."
Mendengar itu, Adrian segera bergegas masuk. Namun, di mata Bu Rina, ada kilatan penuh rencana licik.
"Kita lihat saja, Anjani. Kau mungkin bisa bertahan hari ini, tapi kau tidak akan menang selamanya."
Adrian segera masuk ke kamar rawat Anjani. Hatinya mencelos saat melihat istrinya terbujur lemah di atas ranjang pasien. Wajahnya pucat, tubuhnya penuh luka lebam, selang infus tertancap di lengannya.
Ia duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Anjani yang terasa dingin. Matanya memerah menahan emosi—antara rasa bersalah, sedih, dan marah. "Maaf, Sayang… Aku nggak ada disampingmu saat kau butuh aku."
Di belakangnya, Bu Rina hanya berdiri dengan wajah datar. Alih-alih menunjukkan simpati, wanita itu malah mendecakkan lidah.
"Coba kalau dia nggak kabur dari rumah, semua ini nggak akan terjadi. Dasar pembawa sial."
Adrian menoleh tajam. "Ma! Bisa nggak berhenti menyalahkan Anjani?! Dia baru saja kehilangan anak kami!"
Bu Rina melipat tangan di dada, ekspresinya sinis. "Anakmu? Yang bahkan belum lahir? Jangan sok dramatis, Adrian. Justru ini lebih baik. Kau bisa mencari istri baru yang lebih pantas."
Jantung Adrian seperti dihantam keras. Rahangnya mengeras, menahan amarah yang nyaris meledak. "Keluar, ma."
Bu Rina mengerutkan kening. "Apa?"
"Keluar dari sini! Kalau mama tidak bisa menunjukkan sedikit rasa iba, aku tidak butuh mama disini!" suara Adrian bergetar, matanya berkilat marah.
Dita yang sejak tadi diam, akhirnya ikut bicara. "Mas, Mama cuma bilang yang sebenarnya. Anjani itu cuma beban buatmu!"
Adrian berdiri, nafasnya berat. "Aku nggak peduli apa yang kalian pikirkan! Aku hanya ingin kalian keluar sekarang!"
Bu Rina mendengus, tetapi akhirnya berbalik dengan langkah kasar. Dita mengikuti di belakangnya dengan mendengus kesal.
Adrian menghela napas panjang, lalu kembali duduk di samping Anjani. Ia menggenggam tangan istrinya lebih erat.
"Kumohon, Anjani… Bangunlah."
Bu Rina melangkah pergi dengan wajah merah padam, menahan amarah karena Adrian berani membentaknya. Dita mengekor di belakang, tapi sebelum keluar dari rumah sakit, Bu Rina berhenti dan menghela napas panjang, berusaha meredam emosinya.
"Kurang ajar! Berani sekali anak itu membela perempuan miskin itu di depanku!" geramnya, mengepalkan tangan.
Dita mendesah, lalu menyahut dengan nada menyindir. "Bang Adrian sudah berubah, Ma. Sejak menikah dengan Anjani, dia jadi berani melawan Mama terus. Coba kalau dia menikah dengan Anggun, pasti semua lebih mudah."
Bu Rina mengangguk setuju. Sejak awal, ia tidak pernah merestui pernikahan Adrian dan Anjani.
Baginya, Anjani hanya gadis miskin yang tidak pantas bersanding dengan anaknya. Ia jauh lebih ingin Adrian menikah dengan Anggun, putri seorang pejabat kaya yang selama ini selalu mengejar-ngejar Adrian.
"Aku tidak akan membiarkan Anjani menang. Dia harus menyerah dan pergi dari kehidupan Adrian." Bu Rina berkata penuh tekad.
Dita tersenyum licik. "Kalau begitu, kita harus bikin rencana baru, Ma. Biar Bang Adrian sadar kalau Anjani cuma beban!"
Bu Rina menatap Dita dengan mata penuh rencana. "Kali ini, kita pastikan dia tidak punya pilihan selain menyerah."
Di lain kamar, Pak Robert terbangun dari pengaruh obat tidur yang diberikan dokter. Kepalanya masih terasa berat, tetapi kesadarannya mulai pulih sepenuhnya. Dengan sedikit usaha, ia mengangkat tangannya dan menekan tombol pemanggil perawat.
Tak lama, seorang perawat masuk ke kamar rawatnya. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanyanya sopan.
"Saya ingin menghubungi keluarga saya segera," suara Pak Robert terdengar lemah tetapi penuh urgensi.
Perawat itu segera memberikan ponselnya. Dengan tangan gemetar, Pak Robert mengetik nomor yang sudah dihafalnya di luar kepala. Setelah beberapa kali nada sambung, panggilannya akhirnya dijawab.
Tak butuh waktu lama, seorang wanita asing berambut pirang berlari panik memasuki kamar. Nafasnya memburu saat melihat keadaan suaminya. "Oh my God, Robet! Apa yang terjadi padamu?"
Matanya membesar saat melihat kaki dan tangan Pak Robert penuh dengan gips. Ia buru-buru mendekat, menggenggam tangan suaminya dengan mata berkaca-kaca. "Siapa yang melakukan ini padamu? Apa ini kecelakaan?!"
Pak Robert menghela nafas panjang, menatap istrinya dengan mata lelah. "Aku tidak tahu pasti… Tapi aku akan mencari tahu siapa yang bertanggung jawab atas semua ini."
Tak berselang lama, seorang pria tampan dan gagah datang dengan langkah tergesa. Wajahnya penuh kekhawatiran, dan tanpa ragu, ia membuka pintu kamar dengan cepat.
"Papi! Mami!" suaranya tegas saat melihat kedua orang tuanya di sana. Matanya langsung tertuju pada tubuh Pak Robert yang terbaring dengan gips di kaki dan tangannya.
Ia segera mendekat, menatap wajah lelah sang ayah. "Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana kecelakaan ini bisa terjadi?"
Wanita asing yang sejak tadi menemani Pak Robert menghela nafas panjang, masih terlihat panik. "Kami juga belum tahu detailnya, sayang. Papi-mu baru saja sadar."
Pria itu mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. "Siapa pun yang menyebabkan ini, aku tidak akan tinggal diam."
"Tenang, William. Kita harus cari tahu dulu semuanya," ujar Pak Robert dengan suara lemah namun tegas.
William berusaha menahan emosinya, lalu duduk di samping ranjang ayahnya. "Papi, apa yang sebenarnya terjadi?"
Pak Robert menghela nafas berat. "Papi menabrak seorang perempuan muda. Sampai sekarang, papi belum tahu bagaimana keadaannya. Papi ingin kalian mencari tahu dan meminta maaf padanya."
Mami William langsung menatap suaminya dengan khawatir. "Ya Tuhan… Bagaimana kalau dia terluka parah?"
William mengepalkan tangan, berusaha tetap tenang. "Jangan khawatir, Papi. Aku akan mencari tahu keadaannya. Aku janji akan menyelesaikan ini."
Rose, mami William, segera mencari tahu tentang korban kecelakaan yang dibawa bersamaan dengan suaminya. Begitu mendapat informasi, ia langsung menuju ruang rawat korban.
Setibanya disana, betapa terkejutnya ia saat melihat kondisi perempuan muda itu begitu lemah dengan perban di beberapa bagian tubuhnya. Lebih dari itu, ia juga mendapat kabar bahwa perempuan itu mengalami keguguran akibat kecelakaan tersebut.
Dengan hati penuh rasa bersalah, Rose melangkah mendekati seorang pria yang berdiri di samping ranjang pasien dengan ekspresi dingin dan penuh kemarahan—Adrian.
"Tuan, saya benar-benar minta maaf atas kejadian ini," ujar Rose dengan nada tulus. "Saya tidak tahu harus berkata apa… tapi saya berjanji akan bertanggung jawab atas semua biaya perawatan istri Anda."
Adrian menatap Rose tajam, matanya penuh emosi yang sulit dibaca. "Apapun yang Anda lakukan tidak akan mengembalikan anak kami," ucapnya dingin.
Rose terdiam, merasa semakin bersalah. "Saya mengerti… Tapi tolong, izinkan kami membantu sebisa mungkin. Saya benar-benar menyesal."
Adrian menghela napas panjang, menoleh ke arah Anjani yang masih terbaring lemah. Luka di tubuh istrinya mungkin akan sembuh, tetapi luka di hatinya tidak semudah itu.
Dengan hati terpaksa, Adrian menerima tawaran Rose. Ia tak punya pilihan lain dan memilih untuk tidak memperpanjang masalah. Bagaimanapun juga, tak ada yang bisa mengembalikan keadaan seperti semula.
Ia menatap wajah pucat Anjani yang masih terbaring lemah. Ada sesak di dadanya, perasaan bersalah yang tak bisa ia abaikan. Ini bukan hanya kesalahan orang lain—ia sadar bahwa dirinya juga ikut bertanggung jawab. Jika saja ia tidak membiarkan Anjani keluar dari rumah dalam keadaan emosi, mungkin semua ini tak akan terjadi.
Menghela napas panjang, Adrian akhirnya berkata dengan suara dingin, "Baiklah, saya terima bantuan Anda. Tapi jangan berpikir ini bisa mengganti apapun yang telah terjadi."
Rose mengangguk dengan wajah penuh penyesalan. "Saya mengerti… Saya benar-benar minta maaf."
Adrian tidak menjawab. Matanya kembali tertuju pada Anjani, berharap istrinya segera sadar dan kuat menghadapi kenyataan pahit ini.
hrs berani lawan lahhh