Naila baru saja turun dari bus dari luar pulau. Ia nekat meninggalkan keluarga karena demi menggapai cita-cita yang terhalang biaya. Naila lulus jalur undangan di sebuah kampus negeri yang berada di ibu kota. Namun, orang tuanya tidak memiliki biaya hingga melarangnya untuk melanjutkan pendidikannya hingga memaksanya menikah dengan putra dari tuan tanah di kampung tempat ia berasal.
Dengan modal nekat, ia memaksakan diri kabur dari perjodohan yang tak diinginkan demi mengejar mimpi. Namun, akhirnya ia sadar, biaya perguruan tinggi tidak bisa dibayar hanya dengan modal tekad.
Suatu saat Naila mencari pekerjaan, bertemu dengan balita yang keluar dari pekarangan tanpa penjagaan. Kejadian tak terduga membuat ia bekerja sebagai pengasuh bagi dokter tampan yang ditinggal mati oleh istri yang dicintainya.
#cintaromantis #anakrahasia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Berteduh di Bawah Kasih Sayang
Naila terduduk. Ia terkejut saat mendengar suara berat menyapa di antara ambang sadarnya yang hampir tertidur karena tubuh yang kelelahan luar biasa.
Ia buru-buru membungkus tubuh dengan sarung yang sejak tadi menemaninya. Pandangannya tertuju pada seorang pria yang berdiri di ambang pintu masjid, menatapnya dengan kepala sedikit miring.
Pria itu mengenakan pakaian muslim dan kopiah hitam, lalu duduk sekitar dua meter darinya. Dari raut wajah dan caranya berbicara, Naila menebak pria itu mungkin seusia ayahnya di kampung.
"Ma-maaf, Pak. Saya kelelahan dan tidak tahu harus tidur di mana," lirih Naila sembari menunduk.
"Kenapa kamu memilih masjid ini?" tanya pria itu dengan suara tenang namun penuh selidik.
Naila langsung teringat map berkas pendaftaran mahasiswa jalur undangan di kampus barunya. Ia buru-buru mengeluarkan isinya dan menunjukkannya pada pria tersebut.
"Saya baru datang dari kampung, Pak. Saya calon mahasiswa baru di kampus ini." Naila menyerahkan surat keterangan resmi sebagai calon mahasiswa jurusan ilmu hukum.
Pria itu membaca lembaran tersebut, lalu mengangguk. Raut wajahnya yang tadinya datar perlahan mencair, berubah menjadi senyuman hangat.
"Kamu dari Sumatera? Wah, jauh sekali. Tapi, selamat datang ya. Semoga betah dan bisa lulus dengan nilai terbaik," sambut pria paruh baya itu, mengembalikan surat penting tersebut.
"Tapi, kenapa datang secepat ini? Bukan kah ajaran baru belum dimulai?" lanjutnya, heran.
Naila tersenyum kikuk, mengingat perjalanan panjang yang baru saja ia lewati.
"Ceritanya panjang, Pak. Apa Bapak mau mendengarkan saya?"
Ia mulai menceritakan bagaimana kelulusannya sebagai calon mahasiswa undangan jalur prestasi yang tak dihargai, dan bagaimana orang tuanya memaksanya menikah.
"Saya juga heran, Pak. Saat saya bilang ingin kuliah, mereka bilang tak punya uang. Tapi anehnya, mereka bisa mempersiapkan segala kebutuhan pernikahan saya dengan Zidan, pria yang tak saya cintai."
"Mungkin ada hal lain di balik itu semua." Pak Nugraha mengusap dagunya beberapa kali seakan benar-benar masuk ke dalam kisah yang dialami gadis ini.
"Entah, Pak. Ayah dan Ibu tak pernah menceritakan apa-apa padaku sebelumnya."
Naila melanjutkan kisah panjangnya. sampai lah pada kisah tentang bantuan dari seorang guru yang menolong Naila hingga ke ibu kota, tentang kejadian nahas saat semua barangnya raib dicuri, dan tentang seorang ibu warteg yang baik hati.
"Saya bersyukur masih bisa menyisihkan sedikit uang karena berencana membeli sesuatu. Beruntung, bertemu Ibu pemilik warteg yang baik hati, hingga saya bisa sampai di sini. Karena sudah terlalu malam, saya putuskan tidur di sini, Pak. Mohon izinkan saya tinggal di masjid ini malam ini. Saya benar-benar tak tahu harus pergi ke mana," katanya mengakhiri cerita dengan suara lelah.
Pak Nugraha menghela napas panjang. Wajahnya memancarkan keprihatinan yang tulus. "Masya Allah, kamu kuat sekali, Nak. Bapak sampai tak bisa berkata-kata. Tak semua orang sanggup menjalani ujian seperti ini. Tapi, Allah Maha Tahu. Kamu ada di sini pun karena kehendak-Nya."
Ia lalu memberikan wejangan yang menyejukkan hati. Naila tak kuasa menahan air mata atas semua nasihat yang diberikan beliau.
"Apakah saya termasuk anak durhaka, Pak? Karena tak memenuhi harapan orang tua untuk segera menikah dengan orang pilihan mereka?" tanyanya lirih.
Pak Nugraha tersenyum lembut. "Naila, dengarkan baik-baik. Bapak sangat mendukung keputusanmu untuk mengejar impian untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi."
"Apalagi kamu tidak akan membebani mereka secara finansial sama sekali. Kamu sudah diterima sebagai penerima beasiswa penuh. Biaya kuliah ditanggung oleh pemerintah, kamu akan mendapat uang saku tiap triwulan. Kamu bisa hidup mandiri, Nak."
Beliau melanjutkan, "Orang tuamu telah memaksamu pada sesuatu yang tidak patut. Memaksa anak menikah tanpa persetujuan adalah tindakan yang zalim. Namun, sebagai anak, kamu tetap memiliki kewajiban untuk menghormati dan memberi kabar kepada mereka. Surga tetap berada di bawah telapak kaki ibu, dan ridho Allah ada pada ridho orang tua."
Naila mengangguk dengan mata basah. "Saya pasti akan mencari mereka kembali suatu hari nanti, Pak. Tapi bukan sekarang. Saya ingin membuktikan bahwa saya bisa menjadi seorang yang lebih berarti dari pada sekadar istri Zidan, putra tuan tanah itu."
Pak Nugraha tersenyum bangga. "Bapak kagum dengan semangatmu." Ia melirik ke sekeliling masjid, ragu.
"Bukan Bapak tidak mengizinkan kamu tidur di sini. Tapi kamu itu perempuan, dan kamu belum tahu apa-apa tentang lingkungan sekitar sini. Masjid ini terbuka untuk siapa saja. Bisa jadi berbahaya jika Bapak membiarkanmu begitu saja. Mungkin, akan baik jika kamu tinggal di asrama kampus."
"Kalau boleh tahu, berapa sewa asrama kampus per bulan, Pak?" tanya Naila penasaran.
Pak Nugraha tampak mengingat-ingat. "Hmm, setelah saya pikir lagi, ternyata semua kamar asrama sudah penuh. Kalau ada yang keluar, langsung telah penuh. Karena biayanya menyewa asrama memang jauh lebih murah dibanding kos."
"Oh, begitu ya Pak... Baiklah. Kalau begitu, saya harus mencari kos saja. Berapa kisarannya di sekitar sini?"
"Rata-rata satu jutaan per bulan," jawab Pak Nugraha.
Naila terbelalak. Ia buru-buru mengeluarkan semua uang yang tersisa. "Duh, jauh berkali lipat dari dana yang aku punya, Pak."
Ia sempat berpikir harga kos tak akan beda jauh dari harga sewa rumah di kampungnya—sekitar tiga ratus ribu per bulan. Tapi ternyata, harga di kota besar seperti ini sungguh tak masuk akal bagi kantong kampungnya. Naila mengusap pelipis, bingung.
'Beasiswanya cukup gak ya? Tapi, dananya baru cair setelah kuliah aktif. Itu pun masih beberapa bulan lagi.'
---
Keesokan paginya, meski tubuh masih letih, Naila memaksakan diri bangun dari tempat tidur di kamar sebuah rumah besar. Pak Nugraha membawanya ke rumah itu semalam karena tak tega meninggalkannya sendiri di masjid.
Usai salat Subuh, Naila langsung menyapu rumah meskipun belum satu pun penghuni rumah yang terlihat. Setelah menyapu dan mengepel, ia menyusuri bagian belakang rumah, hingga menemukan area laundry.
Di sana ada mesin cuci dengan pintu depan, dan di sampingnya satu lagi mesin cuci yang terhubung ke tabung gas. Naila menggaruk kepala di balik kerudung lusuhnya—kerudung yang sama sejak dari kampung karena ia memang tidak membawa pakaian ganti.
"Ini gimana cara pakainya, ya? Di kampung memang ada yang punya mesin cuci, tapi biasanya yang dua tabung. Duh, takut rusak kalau salah. Mending cuci pakai tangan aja deh," bisiknya pelan.
Tanpa sadar, ia mulai mencuci baju-baju kotor dengan tangannya. Ia belum tahu bahwa seluruh penghuni rumah mulai menggeliat bangun, termasuk seorang asisten rumah tangga yang terkejut melihat pemandangan itu.
Ia menatap tajam ke arah Naila yang tengah sibuk bekerja.
"Ini gak bisa dibiarkan! Gadis kampung itu bisa-bisa ngerebut kerjaan gue," desisnya kesal.