Pertemuan antara Yohanes dan Silla, seorang gadis muslimah yang taat membawa keduanya pada pertemanan berbeda keyakinan.
Namun, dibalik pertemanan itu, Yohanes yakin Tuhan telah membuat satu tujuan indah. Perkenalannya dengan Sila, membawa sebuah pandangan baru terhadap hidupnya.
Bisakah pertemanan itu bertahan tanpa ada perasaan lain yang mengikuti? Akankah perbedaan keyakinan itu membuat mereka terpesona dengan keindahan perbedaan yang ada?
Tulisan bersifat hiburan universal ya, MOHON BIJAK saat membacanya✌️. Jika ada kesamaan nama tokoh, peristiwa, dan beberapa annu merupakan ketidaksengajaan yang dianggap sengaja🥴✌️.
Semoga Semua Berbahagia.
---YoshuaSatio---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sepertinya biasa sih
Yohan yang tak begitu nyaman dengan bunyi notif ponsel yang terlalu sering, segera menonaktifkan beberapa pengaturan ponselnya. Lalu menenggelamkan diri dengan kesibukan pekerjaannya seharian ini.
Hingga akhirnya hari menuju petang, saatnya Yohan mengakhiri jam kerjanya dan pulang ke tempat tinggalnya.
Sesampai di rumah, keluarganya telah menunggu kepulangannya dengan cemas.
“Baru aku mau nyusul ke tempat kerjamu Yoh!” sapa sang kakak ipar sesaat setelah Yohanes turun dari mobilnya.
Dengan ekspresi terkejut Yohan mengedarkan pandang pada keluarganya yang berdiri menyambutnya di halaman depan, “Hm? Ada apa?”
“Mamah yang harusnya tanya begitu! Ponselmu nggak bisa dihubungi, kenapa?!”
Yohan berpikir sejenak, “Ah!” Yohanes baru tersadar jika ponselnya seharian ini begitu tenang dan membuatnya nyaman, hingga lupa tak melihatnya seharian penuh. “Aku sengaja mematikan semua notifikasi, karena terlalu sibuk jadi lupa lihat ponsel, maaf.”
Bu Maria pun menumpahkan kekhawatirannya, dengan derai air mata, ia menghambur memeluk sang putra, “Dasar sialan! Kenapa juga harus dimatikan? Kena teror lagi kah?”
“Enggak, cuma ada grup obrolan satu yang terlalu berisik tadi.”
“Kalau gitu ya cukup satu grup aja yg dimatikan, jangan kebablasan semua-mua dimatikan. Nggak usah punya ponsel aja sekalian!” ujar kesal Marlina, kakak perempuan Yohan.
Seperti itulah keluarga Yohan, mereka begitu saling mengkhawatirkan satu dengan yang lain. Di saat kelegaan itu datang, semua menghambur saling berpelukan, semua rasa khawatir telah terhapus dengan kepulangan Yohan. Air mata haru menghiasai senyum-senyum kecil yang kemudian berganti menjadi tawa dan canda seperti layaknya keluarga lain.
Sore pun berganti malam, Yohan merebahkan tubuhnya diatas ranjang di dalam kamarnya. Dalam lamunannya, ia teringat akan grub yang ia anggap bising sebelumnya. Yohan kembali bangun, menempatkan punggungnya pada sandaran bed, dan mulai kembali menggulir tombol-tombol di ponselnya.
Saat melihat jumlah chat yang tertera di dalam grub, seketika ia kembali tercengang, dengan mata melotot seakan tak percaya dengan penglihatannya.
“Apa saja yang mereka lakukan, chat bisa tiba-tiba ribuan!” gumamnya seraya menggosok matanya yang sebenarnya tak gatal.
Entah darimana datangnya, Yohanes yang biasanya tak peduli dengan obrolan kawan-kawannya dalam grub chat itu, kali ini ia merasa penasaran. Perlahan digulirnya layar ponsel dengan sangat hati-hati dan membaca satu per satu obrolan kawan-kawannya itu. Bahkan tanpa sadar beberapa kali ia tampak tersenyum-senyum sendiri.
Terkadang satu tangannya menutup mulut, lalu berpindah menggosok dagu dengan jempolnya, tanpa sadar Yohan begitu menikmatinya hingga percakapan terakhir.
Merasa cukup dengan rasa penasarannya, Yohanes meletakkan ponselnya di atas meja tak jauh dari ranjangnya, berniat ingin segera beristirahat karena lelah dan kantuk tak lagi mampu ditahan. Namun, ia kembali teringat dengan kebisingan grub chat, yang membuatnya menonaktifkan semua notif ponsel, hingga menyebabkan sang ibu merasa khawatir.
Yohan berpikir sejenak dan menimbang, “Ini terlalu berisik, tapi grub mempermudah obrolan rencana penting, tapi … ah, biarlah, daripada bikin pening,” monolognya masih sambil berbaring mencari posisi yang benar untuk beristirahat.
Namun, sekeras apapun ia berusaha untuk memejamkan mata, yang muncul di kepalanya hanya kebisingan dan rentetan chat teman-temannya. Entah kenapa hal itu justru membuatnya merasa kesal. Yohan kembali bangun dan meraih ponselnya.
Yohan membuka kembali wall grub chat itu, memandangi sesaat hal baru yang membuatnya merasa terganggu. Namun disisi lain, ia sadar ia tak boleh semena-mena dan meminta kawan mereka harus meminta ijin padanya jika ingin memasukkan anggota baru dalam obrolan chat itu.
Masih dengan ponsel di tangan kanannya, Yohanes menenggelamkan kepalanya diantara bantal, kembali menimbang, ‘Tepatkah keputusannya?’
“Ah! Tapi ini demi kewarasan gue, bodo amat sama pikiran mereka!” serunya sebagai keputusan final, lalu memutuskan mengirimkan sebuah pesan singkat pada Pitra.
‘Grub jadi bising, gue left ya. Kalau ada perlu, chat pribadi aja, sampaikan sama yang lainnya.’
Rasa mengganjal dan tak nyaman yang dirasakan sebelumnya, telah ia hempaskan, hal yang tak disukainya telah ia tinggalkan. Hal itulah yang membuat malam ini begitu tenang, membuat istirahatnya pun terasa sangat nyaman.
.
.
.
.
Namun keesokan harinya, kebisingan kembali terjadi, semakin membuatnya kesal. Dering ponsel panggilan memaksanya bangun sebelum alarm yang sesungguhnya.
Dengan mata terpejam dan kantuk yang masih mendera, Yohanes menggulir sembarangan dan menerima panggilan itu.
“Apa Mah? Jam berapa ini?” sapanya tanpa melihat nama kontak yang tertera.
Sudah menjadi sebuah kebiasaan, jika setiap hari, Ibu dari Yohan akan menelepon untuk membangunkannya dan memastikan sang putra tidak kesiangan dengan aktivitas rutin paginya. Itulah sebabnya Yohan yang masih bergelut dengan rasa kantuknya, mengira bahwa si penelepon adalah sang ibu.
“Maaf ya, apa gara-gara aku ya, kamu merasa nggak nyaman? Kalau begitu aku saja yang left grub, maaf ya … gara-gara aku gabung di grub chat wa, kamu jadi merasa nggak nyaman, aku juga cuma diundang sama Mas Niko sebenarnya, jadi nggak enak kalau menolak.”
Yohanes masih setengah sadar mendengarkan ucapan seseorang dari seberang itu. Entah kenapa rasa kantuk benar-benar menghipnotisnya, membuatnya tak segera menjawab hingga si penelepon harus mengulang pertanyaannya.
"Kok diem aja?! Kamu beneran marah?! Aku minta maaf ini!"
Hanya ucapan terakhir yang benar-benar tertangkap oleh pendengaran alam sadar Yohan, membuatnya merasa linglung beberapa detik, lalu bangkit terduduk dan tersadar, lalu melihat kontak si penelepon, ‘nomor asing?’ batinnya.
“Eh? Kamu siapa?”
...****************...
Bersambung