Naila baru saja turun dari bus dari luar pulau. Ia nekat meninggalkan keluarga karena demi menggapai cita-cita yang terhalang biaya. Naila lulus jalur undangan di sebuah kampus negeri yang berada di ibu kota. Namun, orang tuanya tidak memiliki biaya hingga melarangnya untuk melanjutkan pendidikannya hingga memaksanya menikah dengan putra dari tuan tanah di kampung tempat ia berasal.
Dengan modal nekat, ia memaksakan diri kabur dari perjodohan yang tak diinginkan demi mengejar mimpi. Namun, akhirnya ia sadar, biaya perguruan tinggi tidak bisa dibayar hanya dengan modal tekad.
Suatu saat Naila mencari pekerjaan, bertemu dengan balita yang keluar dari pekarangan tanpa penjagaan. Kejadian tak terduga membuat ia bekerja sebagai pengasuh bagi dokter tampan yang ditinggal mati oleh istri yang dicintainya.
#cintaromantis #anakrahasia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Gadis Kampung itu Lagi
“Selamat siang,” ujar salah satu dari mereka, seorang wanita paruh baya berpenampilan sopan. “Kami diminta datang oleh Tuan Martin. Katanya, mulai hari ini kami akan tinggal dan bekerja di rumah ini.”
Naila sedikit merenung, tetapi beralih mengangguk pelan. “Silakan masuk. Saya Naila, pengasuh putra putri Pak Martin.” Setelah itu, ia menyilakan kelima orang asing tersebut untuk masuk. Ketika hendak mengambil minum, salah satu dari tiga wanita paruh baya, bangkit.
"Neng, tidak perlu repot menyiapkan apa pun untuk kami. Kami bekerja untuk membersihkan rumah, menyiapkan makanan, dan kebutuhan semua orang yang tinggal di sini. Perkenalkan, Neng cukup panggil saya dengan Bi Rum, dia Mbok Tum, dan dia Mbak Mel. Kalau itu Pak Ruli sebagai supir dan Mang Kardi sebagai tukang kebun di halaman depan. Jadi, Neng Naila tak perlu khawatir, begitu pesan Tuan Martin," terang Bi Rum.
Naila tak bisa menutupi rasa kebingungannya, tetapi ada sebuah rasa lega karena ia tak lagi sendirian sebagai orang asing di rumah ini. Setelah itu, ia membantu kelima orang tersebut menuju kamar kosong yang cukup banyak di rumah layaknya istana ini. Tak perlu berlama-lama, mereka telah asik bekerja sesuai dengan tugas masing-masing.
Beberapa saat kemudian, Naila melihat pintu gerbang terbuka. Kali ini ia langsung menyimpulkan bahwa gerbang telah diambil kendali oleh Mang Kardi. Beberapa detik kemudian sebuah mobil SUV elegan meluncur masuk. Naila langsung mengenali sosok yang turun dari mobil tersebut—Bu Juwita, nenek Rindu dan Reivan.
“Cucu-cucuku manaaa? Beberapa jam tidak hadir di rumah saja telah membuat nenek rindu,” serunya ceria. Rindu yang mendengar suara yang begitu dihapalnya, langsung melonjak berdiri dari karpet dan berlari ke arah sang nenek.
“Nenek!” seru Rindu dan Reivan pun merangkak cepat ingin mengejar wanita yang selalu menemani mereka.
“Duh, makin lucu aja! Udah pintar belum nih?” Bu Juwita memeluk keduanya erat. “Naila, bagaimana anak-anak? Rewel nggak?”
“Alhamdulillah, sehat dan ceria, Bu. Sekarang, mereka lebih anteng dibanding kemarin,” jawab Naila sopan.
"Syukur lah ..." Lalu tatapannya beralih pada beberapa orang asing yang lalu lalang tampak sibuk bekerja.
"Loh? Memangnya sejak kapan rumah ini memiliki ART?" ungkapnya dengan rasa terkejutnya.
"Ya, baru beberapa menit yang lalu, Bu. Kata mereka, Pak Martin yang merekrut."
"Oh ya lah, kalau memang keputusannya seperti ini. Dulu saya juga ditawari, tapi saya tak ingin benda-benda kesayangan keluarga kami diurus orang lain. Lagian, mungkin dia takut membuatmu terlalu lelah karena pekerjaan rumah dan mengasuh."
Tak lama bercengkrama, Bu Juwita mengajak kedua cucunya bermain di halaman depan rumah yang sangat luas. Naila tentu saja ikut menemani, membawa bola kecil dan mainan kesayangan Reivan. Suasana terasa hangat dan menyenangkan.
Tanpa mereka sadari, sebuah mobil hitam berhenti di luar pagar. Tak masuk ke halaman, namun cukup jelas untuk memperhatikan apa yang terjadi di dalamnya.
Dari dalam mobil, terlihat dua wanita keluar dan tengah mengamati situasi di sana. Tak biasanya, rumah itu kali ini terlihat cukup ramai, padahal biasanya sepi dan tak pernah kelihatan penghuninya.
Bu Inge, istri Pak Nugraha, dan Vini, putrinya seolah tak percaya mendapati apa yang mereka temui saat ini. Sorot mata Vini menyipit saat melihat Naila, gadis kampung yang baru saja mereka usir secara tak manusiawi, kini tertawa bersama Rindu dan Reivan, anak dari duda, yang sedang didekati oleh Vini.
“Ma, lihat itu,” desis Vini dengan nada sinis.
Bu Inge menyipitkan mata. “Itu gadis yang ditolong papamu kemarin, bukan?”
“Iya,” jawab Vini tajam. “Yang katanya hanya singgah sementara. Tapi lihat, sekarang dia malah berada di rumah Mas Martin, sial!" rutuknya geram.
“Apalagi, dia sudah benar-benar masuk ke dalam rumah ini. Kenapa dia bisa sedekat itu dengan kedua anaknya?"
“Kita tidak bisa membiarkan ini,” gumam Inge pelan. “Kita harus tahu apa sebenarnya niat terselubung gadis kampung itu.”
Di halaman, Naila tak menyadari keberadaan mereka. Ia masih bermain bersama Rindu dan Reivan, tertawa saat Reivan jatuh ke dalam pelukan neneknya. Tapi Bu Juwita sempat melirik ke pagar dan mendapati mobil itu berhenti terlalu lama.
Wajahnya berubah sejenak. Ia tahu siapa pemilik mobil itu.
“Naila,” katanya pelan sambil tetap tersenyum pada cucunya, “Sebentar lagi mungkin kita akan kedatangan tamu yang tak diundang.”
Naila mengerutkan dahi, bingung.
Namun sebelum ia sempat bertanya, mobil itu perlahan menjauh dari pagar.
Meninggalkan debu tipis yang tertiup angin… dan firasat tak nyaman yang mulai tumbuh di dada Naila.
...
Sore pun menjelang, usai waktu Ashar, Bu Juwita pun pamit kembali ke kediamannya. Dan, tak lama dari itu pula, sebuah kendaraan pun kembali ke singgasana mulanya.
"Papaaaaa ...." Rindu berlari kecil menyambut kedatangan sang ayah.
"Wah, udah cantik nih, gadis papa." Membalas pelukan putrinya meski tangannya menggenggam sesuatu.
"Iya ... Hari ini Lindu ceneng cekali, Pa. Nenek tadi ke cini, Pa. Kami main di luar," terangnya dengan ceria.
"Syukur lah, kalau kamu senang. Papa turut merasa tenang." Kepala Martin mulai liar mencari sosok yang belum terlihat.
"Kak Naila mana?"
"Mama, Pa ... Mamaaa!" Rindu mengoreksi ucapan sang ayah.
"Ya, terserah. Dimana dia? Adikmu juga?" Ia merasa tak sabar untuk segera memberikan benda penting tersebut kepada sang pengasuh.
"Mama lagi mandiin adek. Cetelah Lindu beyes, giliran adek mandinya. Kata mama, gak bole mandi cama-cama."
“Wah wah, kenapa gak boleh mandi sama-sama?" Obrolan ayah dan anak itu, disela oleh seseorang yang baru juga sampai. Dengan percaya diri, ia berjalan membawa paperbag berwarna hitam pekat.
"Naila ... Nai ..." Tanpa beban, Marvel memanggil nama seseorang yang turut dicari kakaknya.
"Kenapa masih ke sini? Sudah kukatakan, jangan ke sini lagi!" Martin mengeluarkan ancaman khas yang ia miliki.
"Oh, no ... no ... Kali ini tak akan kubiarkan lagi!" Marvel bergerak tanpa memikirkan saudaranya menuju kamar mandi dalam kamar sang kakak.
Dari dalam, terdengar kicauan Reivan yang terdengar menikmati mandi bersama Naila.
"Waaah, beruntung kali kau, Cah. Kalau Om jadi kamu, pasti akan Om tarik dia ikut mandi dalam bath up ini," ucapnya sembari menggoda gadis yang menunggu Reivan di luar bak mandi mewah itu.
"Jangan gitu Om—"
"Eit, jangan panggil 'om' lagi! Panggil aku 'mas' dong. Aku pengen denger lidah Sumatra manggil 'mas'!" godanya sembari menaruh bawaannya tadi ke atas pangkuan Naila.
Mata Naila terbelalak mendapat sesuatu dari Marvel. "Apa ini O—mas?"
"Buka lah!"
Tanpa mereka sadari, seseorang tengah memperhatikan keakraban mereka, menatap benda yang ada dalam genggamannya.
****************
Jangan lupa sawerannya ya kak, vote, dan iklan 😁