Lahir dari pasangan milyuner Amerika-Perancis, Jeane Isabelle Richmond memiliki semua yang didambakan wanita di seluruh dunia. Dikaruniai wajah cantik, tubuh yang sempurna serta kekayaan orang tuanya membuat Jeane selalu memperoleh apa yang diinginkannya dalam hidup. Tapi dia justru mendambakan cinta seorang pria yang diluar jangkauannya. Dan diluar nalarnya.
Nun jauh di sana adalah Baltasar, seorang lelaki yang kenyang dengan pergulatan hidup, pelanggar hukum, pemimpin para gangster dan penuh kekerasan namun penuh karisma. Lelaki yang bagaikan seekor singa muda yang perkasa dan menguasai belantara, telah menyandera Jeane demi memperoleh uang tebusan. Lelaki yang mau menukarkan Jeane untuk memperoleh harta.
Catatan. Cerita ini berlatar belakang tahun 1900-an dan hanya fiktif belaka. Kesamaan nama dan tempat hanya merupakan sebuah kebetulan. Demikian juga mohon dimaklumi bila ada kesalahan atau ketidaksesuaian tempat dengan keadaan yang sebenarnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon julius caezar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 4
Jeane memasuki rumah besar bergaya istana itu dan menyerahkan tas kulit mahal tempat buku buku sekolah tinggi kepada pelayan. "Tolong letakkan ini di kamarku, Emma," kata Jeane. "Apakah ibuku ada di rumah?"
"Nyonya Richmond sedang berada di ruang tengah."
"Terima kasih."
Langkah langkah kaki Jeane teredam oleh tebalnya karpet ketika ia menyeberangi ruangan depan menuju ruang tengah. Setelah mengetuk pintu, ia melangkah masuk.
"Kau kah itu sayang?" terdengar suara ibunya dari kamar tidur yang ada di ruang tengah.
"Bergantung kepada siapa yang ibu maksudkan dengan 'sayang' itu...... ayah atau aku," jawab Jeane sambil tertawa.
Nina Richmond muncul dari pintu kamar, sambil mengikatkan tali jubah mandinya. "Tentu ayahmu. Malam ini akan ada perjamuan politik dan pengusaha. Aku telah meminta agar ayahmu datang lebih awal. Tetapi aku juga senang menyambut kedatanganmu, Jeane."
Nina Richmond memiliki banyak kemiripan dengan anak perempuannya, hanya saja merupakan versi yang lebih lama. Rambut pirangnya ditata pendek dan modern. Tubuhnya juga masih ramping dan padat, namun tidak lagi memiliki keranuman lengkung tubuh seperti yang dimilki Jeane.
"Tadi aku tidak langsung pulang setelah selesai kuliah terakhir," anak perempuannya menjelaskan.
Sepasang mata coklat dan tajam wanita paruh baya yang masih tampak cantik itu menyapu penampilan Jeane, tidak ada yang terlewat. "Kau pasti menemui Edgar sebelum pulang. Lipstikmu berantakan," Nina Ricmond menyimpulkan dengan nada tidak senang.
Jeane menghindari tatapan mata ibunya. Ia tidak pernah meremehkan ibunya. Walaupun kelihatan berada di bawah bayang bayang suaminya, Nina Richmond menjadi seorang yang memilki pribadi sendiri. Karena kecerdasan otak dan kelincahan sosialnya serta ketrampilannya dalam hubungan masyarakat, yang telah menjadikan suaminya demikian berhasil dan berkuasa.
"Benar, aku telah menemui Edgar," Jeane mengaku, duduk di sofa berlapis beledu. "Aku mau meminta tolong ibu agar berbicara dengan ayah mengenai Edgar."
"Mengapa?" tanya ibunya dengan tersenyum. Tapi senyum itu tetap tidak dapat mengelabui mata Jeane.
"Supaya ibu meyakinkan ayah dan melepaskan gagasan bahwa aku dan Edgar harus menunggu setahun untuk menikah," jawab Jeane.
"Tetapi ibu tidak melihat ada salahnya dengan gagasan itu," Nina Richmond berjalan ke sebuah kursi di dekat sofa yang diduduki anaknya.
Sambil menyilangkan ke dua kakinya, Jeane menantang, "Apakah ibu juga menentang aku menikah dengan Edgar?"
"Sayangku, aku tidak berniat melemparmu ke dalam pelukan pria itu dengan melarangmu menikah dengannya," Nina berkata dengan suara serak. "Tetapi aku sungguh tidak mengerti, apa yang kau lihat pada pria itu. Di Paris ini banyak pria yang dapat memberikan lebih banyak kepadamu dan yang lebih sesuai denganmu."
"Tidak! Aku tidak menginginkan mereka. Aku cuma menghendaki Edgar," Jeane berkeras.
"Tapi mengapa? Kalau ada demikian banyak pria lain, kau cuma mau Edgarmu itu?" Nina Richmond menghela napas dan tersenyum sedih.
"Karena itu suatu tantangan bagiku," jawab Jeane tanpa berpikir panjang. Mungkin karena sudah ditahan berhari hari, akhirnya keluar juga uneg uneg yang mengganjal di hatinya selama ini,
Sebenarnya Jeane juga tidak pasti benar mengenai Edgar. Edgar tidak menuruti semua keinginannya, juga tidak memujanya sebagaimana yang biasa dilakuan oleh pria pria lain. Sejak semula hubungan mereka merupakan pertarungan antara dua pribadi yang sama sama kuat, tanpa ada pemenangnya. Hal itu menjadi semacam bumbu, sekalipun sebenarnya bukan itu alasan Jeane mau menikah dengan Edgar.
"Aku tidak mengerti, sebenarnya apa yang menjadi keberatan ayah dan ibu terhadap Edgae?" Jeane berkata melanjutkan.
Ibunya tampak ragu, tapi akhirnya berkata terus terang, "Ia itu sok mau berkuasa."
Jeane menyandarkan punggungnya pada bantal sofa, mata kucingnya tampak berkilat kilat memandang ibunya. "Bukankah seperti itu pula yang dikatakan kakek dan nenek tentang ayah, sebelum ibu minggat bersama ayah? Kurang pendidikan, tidak memiliki kehalusan sosial serta wawasan politik, tetapi lihatlah pengaruh ibu terhadap ayah sekarang. Ibu telah membuat ayah sebagaimana adanya ia sekarang."
"Edgarmu itu tidak dapat disamakan dengan ayahmu," kata ibunya.
"Mengapa tidak?" Jeane membantah. "Edgar adalah orang yang ambisius."
"Aku pikir kata yang lebih tepat adalah 'haus uang'," sahut ibunya.
Tepat pada saat itu, masuklah ayah Jeane, berdiri di samping Nina Richmond dan mencium pipi yang disorongkan kepadanya.
Setelah mengatasi kekagetannya dengan kemunculan ayahnya yang mendadak, Jeane menjawab, "Kurasa itu tidaklah salah. Bukankah ayah juga selalu mencari cara untuk mendapat keuntungan?"
"Yang membuat perbedaan diantara kami adalah aku bersedia bekerja keras untuk memperolehnya. Sedangkan pacarmu itu lebih suka memperolehnya dengan cara yang mudah," Ernest Corneli Richmond menjawab puterinya dengan tenang.
"Bagaimana mungkin ayah bisa berpendapat demikian?" Jeane berkata dengan kesal. "Apakah ayah tidak melihat bagaimana Edgar harus bekerja dan berjibaku untuk bisa sekolah dan memperoleh gelarnya?"
Ernest tersenyum. "Ya, aku sering bertanya pada diri sendiri, mengapa seorang mahasiswa ilmu sosial dan politik justru bekerja di hotel? Karena ia tinggal di ibu-kota, bila ia benar benar berminat pada jurusan studinya, mestinya ia bekerja di sebuah kantor pemerintahan."
"Tepat sekali kata katamu, Ernest." Nina Richmond menepuk nepuk tangan suaminya yang berada di atas bahunya.
"Edgar sudah pernah bekerja di kantor pemerintah, tetapi jam jam studinya selalu bertabrakan dengan jam kerjanya," bela Jeane.
"Oh ya? Benarkah itu?" tanya ayahnya penuh nada menyangsikan akan kebenaran ucapan Jeane. "Aku bangga akan kemampuanku dalam menilai seseorang. Tapi kau melihat kualitas kualitas pada diri pria itu yang sebenarnya tidak ada. Tentu aku tidak ingin anakku disakiti."
Ernest Cornell Richmond memang seorang yang memiliki kemauan keras, dan dalam segala hal Jeane memang anaknya yang mewarisi sikap keras ayahnya. Dengan berdiri, Jeane menghadap ke dua orang tuanya tanpa gentar.
"Ibu dan ayah tidak memahami Edgar," Jeane mendakwa. "Kalian berdua tidak mengenalnya sebagaimana aku mengenalnya. Lagipula kalian tidak mau mengenalnya karena kuatir bahwa kalian berdua sudah keliru dalam menilai Edgar."
"Jeane, kau tahu bahwa itu tidak benar," protes ibunya. tetapi Jeane sudah melangkahkan kaki meninggalkan ruangan.
Bagi Jeane, tidak ada gunanya meneruskan pembicaraan itu, apalagi dengan kehadiran ayahnya. Jeane merasa dapat berbicara dengan ibunya, tetapi ayahnya sangat kaku dalam pendirian, tidak mau mendengarkan pendapat orang lain, kecuali kalau pendapat itu datang dari isterinya. Jeane mengundurkan diri ke kamarnya untuk berpikir. Tidak mudah mendapatkan persetujuan orang tuanya untuk menikah dengan Edgar.
Masalah itu memenuhi pikirannya sepanjang malam. Ia menantikan telepon dari Edgar karena sepertinya ia memelukan hiburan mendengar suara pria itu. Tapi sampai hampir tengah malam, ketika ia berbaring di bawah selimut di atas tempat tidurnya, Edgar belum juga menelepon. Jeane memejamkan mata, berharap tidur akan memberikan jalan keluar baginya.