Sagala terkejut bukan main saat tetangga depan rumah datang menemuinya dan memintanya untuk menikah dengan putri mereka secepatnya. Permintaan itu bukan tanpa alasan.
Sagala mendadak pusing. Pasalnya, putri tetangga depan rumah adalah bocil manja yang baru lulus SMA. Gadis cerewet yang sering mengganggunya.
Ikuti kisah mereka ya. Ketika abang adek jadi suami istri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F.A queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bunga Desa
Saat Sagala pergi, Annisa buru-buru turun dari ranjang. Bergegas membersihkan diri lalu dandan tipis-tipis.
Tepat ketika ia membuka pintu kamar, Sagala ada di depan kamarnya. Mereka sama-sama terkejut, saling menatap beberapa detik sebelum akhirnya sama-sama tertawa kecil.
"Abang mau nganterin sarapan," ucap Sagala seraya memperlihatkan bubur ayam yang ia bawa.
Annisa menerimanya. "Aku mau makan bareng abang di meja makan," ucapnya.
"Perutmu beneran udah enakan?" Tanya Sagala memastikan. Semalaman dia cemas melihat Annisa kesakitan.
"Udah, Bang. Sakit menstruasi emang gitu, sakiiiitt banget tapi nggak lama-lama," jawab Annisa menjelaskan.
Sagala mengangguk. Mereka melangkah ke ruang makan dan duduk berhadapan di sana.
"Abang ada kupat sayur. Kamu mau?" Tanya Sagala menawari sebelum memakan makanannya.
Annisa menatap kupat sayur itu lalu mengangguk. "Mau," jawabnya. "Tapi suapin."
Sagala menatapnya, lalu tertawa. Jika ditanya, apakah ada gadis lain selain Annisa yang manja begini padanya? Jawabannya jelas tidak. Tidak ada.
"Dasar, bocah," ucap Sagala sambil menggeleng disertai senyum. "Buka mulutmu."
Mata Annisa terbelalak, berbinar-binar. Oh, abang sungguh mau menyuapinya. Dia segera mencondongkan tubuhnya kedepan lalu membuka mulut dan Sagala sungguh menyuapinya.
"Hmmm." Annisa mengunyah dengan lembut dan teratur. Penuh kehati-hatian. Rasanya meledak kayak kembang api, di hatinya. Annisa menatap Sagala yang kini mulai menyuap untuk dirinya sendiri.
Eh bentar. Sendok itu, sendok bekas bibir Nisa tadi kan? Ya kan? Abang nggak menggantinya? Sumpah demi apa?
"Uhukk." Keterkejutan itu membuat Annisa tersedak. Dia terbatuk-batuk.
Sagala segera mengangkat wajah dan memberinya minum. "Kebiasaan," kata Sagala. "Pelan-pelan kalau makan, adek," katanya perhatian.
Annisa menyesap minumannya perlahan. Menepuk dadanya agar meredakan batuknya. Perlahan ia mengatur nafas. Dulu, ia sering memikirkan abang, sering merindukannya, sering memimpikannya.
Sekarang, tinggal satu rumah malah membuatmu gila. Makan saja nggak bisa tenang.
Annisa menyesap minumannya sekali lagi.
Sagala berkata lagi dengan suara yang lembut, "Makannya pelan-pelan, jangan buru-buru."
Annisa mengangguk. Ia menyendok bubur ayam, lalu mendongak menatap Sagala.
"Abang mau nggak?" Tanyanya.
Sagala mengangkat wajah menatapnya. "Apa, bubur ayam?"
"Hatiku."
Jiaahhh, mulai lagi nih bocah. Sagala menggeleng-geleng pelan.
"Kamu ini ...." Katanya, lalu menunduk menyuap makanannya dengan tenang.
Sementara Annisa tersenyum tipis seolah ditolak mentah-mentah. Patah hati adek, Bang.
Di sisi lain, Sagala berpikir apakah candaan remaja jaman sekarang memang seperti itu.
🌱
Pukul setengah delapan pagi. Annisa menghampiri Sagala yang merapikan tanaman di halaman belakang.
"Abang nggak kerja?" Tanyanya. Dia duduk di bangku sambil memperhatikan kesibukan Sagala.
Sagala menoleh menatapnya. "Hari sabtu dan minggu, abang libur kerja," jawab Sagala menjelaskan. "Setelah ini, kita jalan-jalan."
"Yeyyy." Annisa berseru senang.
Kemudian hening. Sagala kembali merapikan tanaman. Memindahkan bunga ke dalam pot yang baru.
Annisa diam memperhatikan Sagala. 'Abang tuh rajin banget ya. Kayaknya lebih rajin dari aku.'
"Abang." Panggil Nisa agar mereka tidak diam terlalu lama.
"Ya?" Sagala menoleh.
"Itu bunga apa?" Tanya Annisa, ia menunjuk bunga yang tengah Sagala ganti potnya.
Sagala ikut menatap bunga di depannya. "Bunga lavender tropis," jawabnya sembari meletakkan bunga itu.
"Kalau ini?" Annisa menunjuk dirinya sendiri.
Sagala menoleh, dan menggeleng pelan saat tau jika ternyata Annisa menunjuk dirinya sendiri. Pria itu berpaling lagi.
"Bunga desa," jawabnya.
Eaaa, Annisa tersenyum lebar, nyengir sambil nepuk-nepuk pahanya sendiri.
"Banyak yang suka sama kamu di desa 'kan?" Sagala berkata tanpa menghentikan aktivitasnya.
"Iya," jawab Annisa dengan bangga. Bermaksud agar Sagala sedikit saja meliriknya sebagai seorang perempuan, bukan bocah ingusan. "Abang tau anak keduanya kepala desa? Yang baru jadi polisi, dia suka sama aku."
Sagala mengangguk. "Kenapa kamu nggak sama dia aja malah sama abang? Abang kan udah tua."
"Ih aku nggak mau sama 'hallo dek." Sahut Annisa cepat.
Sagala menoleh menatapnya. "Apaan hallo dek?"
"Sebutan buat oknum polisi itu, Bang," jelasnya. "Polisi yang suka tebar pesona nyari mangsa 'hallo dek'. Mengsad aku lah kalau sama dia."
"Apa lagi itu. 'Mengsad'."
"Mengsedih Abang, sedihhh."
Sagala mengangguk lalu terkekeh kecil. "Abang nggak tau istilah-istilah begituan," katanya.
"Abang nggak gaul."
Ponsel Sagala berdering saat itu juga. Ponsel yang ada di meja depan Annisa.
Annisa segera membawa pandangan pada ponsel itu. Sementara Sagala melangkah ke arah samping, melepas sarung tangan lalu mencuci tangan.
"Abang dari Pak RT," seru Annisa setelah mengetahui siapa nama yang tertera di layar ponsel.
Sagala mengeringkan tangannya dengan handuk lalu menerima telpon.
"Assamu'alaikum, Gal, ini Bu RT, nanti sore kamu ada di rumah enggak? Ini kita sebagai RT mau silaturahmi ke rumahmu."
Sagala mengerutkan keningnya tak paham. Ini belum lebaran, puasa aja belum. "Wa'alaikumussalam Bu RT. Maaf dalam rangka apa ya, Bu. Maaf."
"Kan kamu habis nikah, Gal. Jadi sebagai rukun tetangga, kami ingin silaturahmi ke rumahmu."
"Terima kasih atas niat baiknya, Bu Rt tapi maaf tidak usah. Tidak perlu repot-repot."
"Ah enggak repot, Gal. Sama tetangga harus saling silaturahmi."
Sagala tidak enak hati kalau menolak. "Baik, Bu. Nanti sore kita ada di rumah. Terima kasih sebelumnya."
Panggilan berakhir. Sagala meletakkan ponselnya di atas meja, lalu duduk di bangku samping Annisa.
"Jalan-jalannya nanti malem aja ya," ucapnya. "Nanti sore ada tetangga berkunjung."
Mata Annisa melebar, "Apa?!" Ia gugup dan gerogi tiba-tiba, "abang aku takut."
Sagala tertawa kecil. "Sama ibu-ibu pun takut?"
"Malu aku, Bang. Maluu."
🌱 🌱 🌱
Sore hari. Suguhan sudah lengkap di ruang tamu.
"Selamat datang, ibu-ibu. Maaf merepotkan," ucap Sagala ramah menerima kunjungan tetangganya. Annisa turut menyalami ibu-ibu yang baru saja datang. Dia tersenyum kikuk.
"Wah ini ya istri Abang Gala. Cantik ya, Wak." Salah satu ibu mengomentari.
Annisa segera menunduk, bukan senang tapi dia malu mendengar pujian itu.
"Pantes nggak nikah-nikah, Bang. Jadi nungguin ini to." Sahut ibu lainnya.
"Siapa nama istrinya, Bang?"
Sagala mendekat ke arah Annisa.
"Kenalan gih." Sagala berbisik pada Annisa.
"Ish, Abang kan aku malu." Balas Nisa berbisik juga. Itu membuat ibu-ibu gemas. Mereka terkikik lucu.
"Yaelah pake malu-malu segala pengantin baru."
"Jadi inget aku dulu juga gitu."
Sagala segera berkata, memperkenalkan Annisa pada semuanya dengan sopan. "Namanya Annisa. Nisa.
"Oalah Mbak Nisa." Hampir serempak ibu-ibu menyebut nama Nisa.
"Salam kenal Mbak Nisa."
"Keluar-keluar lho Mbak, kumpul-kumpul, jangan di rumah terus. Mateng ntar."
"Mateng apa meteng Bu?"
"Huss."
Dan kini riuh dengan gelak tawa ibu-ibu komplek.
"Kalau pengantin baru mah maklum atuh kalau di dalem rumah terus mah. Kan ngadon dulu biar cepet jadi."
Sagala mendadak pusing dengan obrolan ibu-ibu ini. Sementara Nisa diam dan terkadang nyengir kikuk.
🌱🌱🌱