Beberapa bulan setelah ditinggalkan kedua orang tuanya, Rama harus menopang hidup di atas gubuk reot warisan, sambil terus dihantui utang yang ditinggalkan. Ia seorang yatim piatu yang bekerja keras, tetapi itu tidak berarti apa-apa bagi dunia yang kejam.
Puncaknya datang saat Kohar, rentenir paling bengis di kampung, menagih utang dengan bunga mencekik. Dalam satu malam yang brutal, Rama kehilangan segalanya: rumahnya dibakar, tanah peninggalan orang tuanya direbut, dan pengkhianatan dingin Pamannya sendiri menjadi pukulan terakhir.
Rama bukan hanya dipukuli hingga berdarah. Ia dihancurkan hingga ke titik terendah. Kehampaan dan dendam membakar jiwanya. Ia memutuskan untuk menyerah pada hidup.
Namun, tepat di ambang keputusasaan, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
[PEMBERITAHUAN BUKAN SISTEM BIASA AKTIF UNTUK MEMBERIKAN BANTUAN KEPADA TUAN YANG SEDANG PUTUS ASA!
APAKAH ANDA INGIN MENERIMANYA? YA, ATAU TIDAK.
Suara mekanis itu menawarkan kesepakatan mutlak: kekuatan, uang,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarif Hidayat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 Di hampiri oleh seorang polisi
Ruangan Kepala Sekolah, atmosfer terasa memanas. Deni, dengan wajah bengkak dan raut kemarahan yang membara, menuntut penjelasan dari ayahnya, Guntur.
"Ayah, kenapa Ayah membiarkan dia pergi begitu saja?" Suara Deni serak menahan amarah. Ia tidak mengharapkan Rama dilepaskan semudah itu, terutama setelah senyum mengejutkan yang dilemparkan pemuda itu—senyum yang membuat Deni merasa direndahkan.
Guntur menatap Deni dengan sorot mata yang penuh kekecewaan, sebuah pemandangan yang jarang terlihat.
"Deni, ke depannya Ayah harap kamu bisa mengubah sikapmu di sekolah ini. Ayah tidak akan bisa terus-terusan menutupi kelakuan burukmu setiap hari."
Deni langsung menatap ayahnya, bingung. "Ayah, apa maksudmu? Jangan bilang Ayah takut dengan bocah itu?"
Bentakan Guntur menghentikan pertanyaan itu. "Dasar bocah tolol! Memangnya apa yang bisa aku lakukan, hah? Menghukum Rama, padahal jelas kamu yang bersalah! Setelah ini wali kelasmu akan menemuiku. Menurutmu, jika selama ini aku tidak bekerja sama dengan wali kelasnya, apakah kamu masih bisa bertahan di sekolah ini?"
"Ayah... tapi..."
"Berulang kali kukatakan, jangan panggil aku Ayah jika masih berada di sekolah ini!" potong Guntur tajam. "Sudahlah. Cepat kembali ke kelas. Masalah Rama, kita bicarakan lagi nanti."
Deni memegangi pipinya. "Aku... aku tidak mungkin mengikuti pelajaran, Pak."
"Salahkan dirimu yang bodoh itu," ujar Guntur dingin. "Sudah cukup kamu mempermalukan aku, Deni. Jika sekali lagi aku mendengar kamu melakukan perundungan, aku akan mencabut kembali gelar beasiswa itu!"
Pak Guntur tahu, kesalahan putranya kali ini fatal. Apalagi disaksikan begitu banyak murid. Ia harus segera meredam masalah ini sebelum meluas ke rapat guru, di mana posisinya sebagai Kepala Sekolah bisa terancam.
Beralih pada Rama yang kini sudah menjauh dari bangunan sekolah. Ia tidak tahu bahwa meski Pak Guntur tidak menahannya pergi, ancaman yang lebih besar sedang menunggunya.
Ia tidak sempat menemui Bela karena jam pelajaran kedua sudah dimulai, dan ia memutuskan untuk langsung pulang saja.
"Desa ini... Entah kenapa aku merasa tidak lagi damai dan sejuk seperti dulu," pikir Rama. Di sekitarnya, jalanan sepi dihiasi pepohonan rimbun, dan di kejauhan tampak petak sawah di bawah lereng gunung.
Fiuuh. Rama menghela napas perlahan, berusaha menghilangkan beban di dalam hatinya. Dua hari lagi, ia akan meninggalkan desa kelahirannya ini.
Tepat saat itu, sebuah mobil Patroli Kepolisian melewati dirinya dan tiba-tiba berhenti.
Rama menghentikan langkahnya, alisnya sedikit terangkat memandangi mobil itu. Tiga orang berjaket hitam keluar, dipimpin oleh seorang wanita muda dengan tatapan tajam dan otoritas yang jelas terpancar di seragamnya—Sherline. memiliki wajah cantik dengan tubuh langsung namun memiliki ukuran buah dada yang cukup membuat pria manapun akan hilang fokus ketika bertemu dengannya.
"Selamat siang," sapa Sherline, nadanya ramah namun tegas. "Apakah benar kamu yang bernama Rama Kaswara?"
Rama mengerutkan kening. dari mana polisi wanita itu tau namanya, dan kenapa mereka berhenti seolah memang sudah berencana mencarinya.
"Ya, saya memang Rama Kaswara. Ada yang bisa saya bantu, Ibu Polisi?" tanya Rama, tetap tenang. namun jelas ada kebingungan di hatinya.
"Sebelumnya perkenalkan, nama saya sherline. dan ini kedua rekan saya,"! ucap polisi wanita itu memperkenalkan dirinya terlebih dahulu lalu melanjutkan,
"Kami dari kepolisian kota yang datang ke desa ini guna menyelidiki sebuah kasus di desa ini, dan Kami mendapat laporan." Sherline melangkah mendekat. "Apa benar kemarin kamu pergi ke pasar dan melumpuhkan hampir lima puluh preman di sana?"
Rama diam sejenak, wajahnya polos campur bingung menyatu dalam ekspresi wajahnya. "Saya hanya melindungi diri, sekaligus membela para pedangan di pasar itu,." jawab Rama jujur,
Sherline tersenyum tipis—senyum yang penuh perhitungan. "Saya tau itu, kami memang datang ke desa ini salah satunya untuk menangkap para preman yang sering membuat resah di desa ini, tetapi ada kasus lain yang sedang kamu selidiki dan dugaan sementara bos dari preman itu terlibat dalam kasus ini."
"Kalo boleh saya tau, memangnya kasus apa yang kakak, eh tidak maksud saya ibu polisi selidiki.. "? Tanya Rama bingun cara memanggil polisi wanita itu, wajahnya masih sangat muda dan cantik, dan ia baru pertama kali melihat polisi wanita semua polisi di depannya ini,
"Kamu bisa memanggilku nama saja, saya masih cukup muda untuk di panggil ibu, dan kebetulan saya juga tidak suka di panggil seperti itu, terkecuali belum mengetahui nama saya." ucap sherline, umumnya ia sering di panggil wakil kepala,
Dan kali ini ia di percaya untuk menjadi seorang kapten lapangan, menangani kasus di desa ini menggantikan kapten asli yang bertugas dalam kasus lain.
"Ah itu, rasanya kurang pantas jika bagi saya memangil anda seperti itu, kita bahkan baru pertama kali bertemu.! begini saja ibu polwan, sebenarnya kasus apa yang anda selidiki, dan jujur saja saya bingun anda dan rekan anda itu tiba-tiba berhenti dan menemui saya."? Ucap Rama lahirnya langsung mengutarakan kebingungannya,
Sherline kembali tersenyum tipis, lalu berkata, "Baiklah.. terserahmu saja,!"
"Mengani kasus yang kami selidiki saat ini, tidak akan saya bicarakan di sini, jadi.. oleh karena itu,. saya ingin mengajakmu ke kantor untuk memberikan keterangan lebih lanjut. Ada beberapa detail yang perlu kami cocokkan dengan laporan saksi mata atas kejadian di pasar itu,"
Rama terdiam beberapa saat sebelum akhirnya ia menggeleng dengan halus. "Mohon maaf, bu polwan, Saya tidak bisa. Saya ada urusan mendesak di rumah. Semua yang perlu dilaporkan sudah jelas, itu adalah pembelaan diri, sekaligus memberi para preman itu pelajaran. dan Saya tidak punya informasi lain."
Meski Rama belum tau kasus apa yang para polisi itu selidiki, tetapi karena polisi ini mendatanginya dan mengungkit tentang peristiwa di pasar itu, dan polisi ini menyebutkan tentang bos para preman itu, Rama pun berkesimpulan.. kasusnya pasti tidak sederhana,
Sherline sedikit terkejut dengan penolakan yang begitu tegas namun sopan. "Ini bukan permintaan, tuan rama. Ini adalah bagian dari penyelidikan. Kami melihat rekamanmu di sebuah video. Kemampuan tempur yang kamu tunjukkan itu langka. Kami hanya ingin mengobrol sebentar mengenai potensi Anda."
Rama mengerutkan kening seketika, ia tidak tau ada yang mengambil vidio saat ia melawan para preman itu, "Saya menghargai ketertarikan Anda, Ibu Polisi," kata Rama, nadanya datar, tidak menunjukkan emosi apa pun. "Tetapi saya tidak memiliki potensi apa pun yang harus dibicarakan. Saya bukan orang yang suka diatur atau terikat pada prosedur. Jika ada pertanyaan, Anda bisa datang ke rumah saya, tetapi saya tidak akan ikut ke kantor polisi."
Sherline, yang terkenal keras kepala, merasa tertantang. Matanya menyipit. "Kamu tahu, menolak undangan dari Kepolisian bisa dianggap menghalangi proses hukum?"
Rama membalas tatapannya. "Dan Anda tahu, memaksakan interogasi tanpa surat panggilan yang sah di jalanan umum, itu juga tidak sesuai prosedur, Ibu Polisi. Saya sudah menjawab pertanyaan Anda. Saya permisi."
Rama berbalik, bersiap melanjutkan langkahnya.
"Tunggu!" Sherline segera memotong jalannya. Wajahnya kini menunjukkan tak senang bercampur frustrasi. Pemuda ini benar-benar tidak terduga. dia bahkan berani menolak ajakannya,
"Baiklah," kata Sherline, menurunkan sedikit nadanya, tetapi otoritasnya tetap terasa. "Saya tidak akan memaksamu. Tapi percayalah, ini bukan akhir. Saya akan datang ke rumahmu. Saya pastikan kita akan bicara lagi—suka atau tidak suka."
Rama hanya menoleh sekilas, senyum tipis terukir di bibirnya, senyum yang tidak memancarkan ketakutan sedikit pun. "Silakan, Ibu Polisi. Saya akan menunggu kedatangan Anda."
lanjut thorrrr💪💪💪