Saat membuka mata, Anala tiba-tiba menjadi seorang ibu dan istri dari Elliot—rivalnya semasa sekolah. Yang lebih mengejutkan, ia dikenal sebagai istri yang bengis, dingin, dan penuh amarah.
"Apa yang terjadi? bukannya aku baru saja lulus sekolah? kenapa tiba-tiba sudah menjadi seorang ibu?"
Ingatannya berhenti disaat ia masih berusia 18 tahun. Namun kenyataannya, saat ini ia sudah berusia 28 tahun. Artinya 10 tahun berlalu tanpa ia ingat satupun momennya.
Haruskah Anala hidup dengan melanjutkan peran lamanya sebagai istri yang dingin dan ibu yang tidak peduli pada anaknya?
atau justru memilih hidup baru dengan menjadi istri yang penyayang dan ibu yang hangat untuk Nathael?
ikuti kisah Anala, Elliot dan anak mereka Nathael dalam kisah selengkapnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zwilight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 30 | Hayolo Panik Istrinya Kabur
Ting...
Sebuah suara berdering dari ponsel yang sudah hampir sebulan tak pernah dipasangi SIM card oleh Anala. Alasannya sederhana karena tidak mau diganggu oleh Yohane untuk kesekian kalinya. Tangannya meraih benda itu, lalu membaca notifikasi yang muncul dari balik jendela desktop.
"Penerbangan?" gumamnya mulai serius. Ia membuka pesan itu dan menemukan sebuah pesan otomatis dari maskapai yang telah ia reservasi tak tau kapan.
|Reminder ✈️ Penerbangan Anda H-5 jam
🛫 Jekerda → Tokyo
🕑 13:20 WIB, 27 November 2025
Siapkan dokumen perjalanan & paspor minimal masa berlaku 6 bulan.|
"Tokyo?" Anala mengerutkan keningnya makin dalam, tidak bisa mengingat apapun tentang penerbangan ini. "Ngapain aku reservasi tiket ke Tokyo sejak enam bulan lalu?" alisnya masih bertautan, sedangkan tangannya sibuk mengulik tentang rencana keberangkatan itu.
"Oh gila!" matanya membulat penuh antusias. senyum merekah otomatis. "Legacy exhibition of Anna Gilbert in Tokyo, tomorrow??" seolah menemukan harta karun, nada suaranya berubah menjadi lebih bersemangat. "Pas banget! i should take this flight."
Dalam hitungan detik tingkahnya langsung berubah menggebu-gebu. Ia mulai mengeluarkan koper dari bawah ranjang dan membukanya seolah itu adalah hal paling bahagia dalam hidupnya.
"Cus waktunya packing." ia terkekeh geli, mulai menarik beberapa baju dari lemari dan melemparkan ke atas kasur. Tangannya sibuk memilih, melempar, menolak, dan memasukkan lagi. "Kayaknya aku cukup tiga hari doang disana, jadi nggak usah bawa banyak baju." pikirannya mulai membayangkan liburannya disana menemui sang maestro idola.
Namun, Anala tak tau bahwa dibalik pintu kamar yang tidak tertutup dengan rapat, ada seseorang yang diam-diam mengamati kegiatan packing nya. Sepasang mata kecil mengamatinya dalam diam.
"Mama mau kemana? kenapa bawa koper?" suaranya terdengar lirih penuh kecemasan. Anala langsung menoleh. "Eh sayang?" suaranya berubah lembut otomatis. "Nael nggak jadi sekolah?"
Si kecil itu menggeleng pelan, namun matanya penuh resah. "Kata Bu guru hari ini sekolah diliburkan." perlahan matanya mulai terangkat, takut menatap mata Mamanya. "Mama mau kemana?"
Anala berjalan mendekat pada Nael, lalu ia menyamakan tingginya. Tangannya membelai puncak kepala sang anak dengan pelan. "Mama mau ke luar negeri sebentar, cuma beberapa hari."
Sontak wajahnya mengeras hingga tubuhnya menegang. Dada kecilnya naik turun tak beraturan. "Mama bohong! Mama mau ninggalin Nael!" matanya langsung berkaca-kaca, ada rasa takut bersama sorotnya.
Anala menggeleng cepat, tangannya memegang bahu Nathael. "Enggak sayang. Nggak begitu," matanya lembut dan tulus pada tatapan Nael yang penuh trauma. "Mama cuma pergi sebentar. Tiga hari, janji!" jarinya terangkat membentuk tanda swear.
Namun apapun yang dikatakan Anala tak bisa meyakinkan anaknya. Mata kecil itu berair dan perlahan menetes di pipi. "Mama nggak boleh pergi." tangan kecil itu terasa kuat memegang lengannya.
Anala menghela napas pelan, bukan karena kesal tapi karena tersentuh. Anak itu terlalu sering ia tinggalkan dimasa lalu hingga kata 'pergi' terdengar seperti ancaman baginya.
Perlahan tangannya terulur meraih Nathael ke dalam pelukannya. "Maaf ya..." katanya tulus merasa bersalah. "...kalau gitu gimana kalau Nael ikut Mama aja?" suaranya pelan, sementara Nathael melepas pelukan dan memandang tegang, merasa tak yakin.
"Boleh, Ma?" tanyanya dengan nada lirih, matanya seolah berubah penuh harapan. "Boleh banget, Sayang." Anala menjawabnya sambil tersenyum dengan hangat.
Nael langsung banjir air mata namun ia menghapusnya cepat-cepat karena malu didepan Mamanya. Meski demikian, nafasnya tetap memburu, sesegukan menelan tangisnya sendiri. Hal itu membuat hati Anala terenyuh, anak sekecil ini berusaha kuat didepannya.
Karena sikap gilaku, Nael tumbuh jadi anak yang penuh trauma.
"Mama kan udah janji nggak akan ninggalin Nael," tangannya makin erat memeluk sang anak, merasakan getaran dari tubuh kecilnya oleh tangisan. "...nggak apa-apa sayang, Mama disini."
Anala bisa merasakan tangisan Nael dalam pelukannya, tangan kecil itu menggenggamnya erat dan kuat. ia membiarkan posisi ini sampai Nathael benar-benar tenang dan melepaskan sendiri pelukannya.
Saat pelukan itu terlepas, Anala tersenyum menatap Nael yang wajahnya memerah. "Sebentar... anak Mama udah pernah ke luar negeri?" sesekali tangannya menyeka jejak air mata yang buru-buru dihapus oleh Nathael.
Bocah kecil itu hanya mengangguk, dadanya masih naik turun mengatur tangisnya. Anala terkekeh pelan, namun disatu sisi juga merasa bersalah. "Oke mantap, ayo sekarang bantu Mama packing."
Sekali lagi Nathael hanya mengangguk, namun matanya tak lagi sendu melainkan berubah jadi berbinar diikuti senyumnya yang lebar. "Makasih, Ma." suara yang lembut itu menghangatkan hati Mamanya, Anala sampai tak kuat untuk tidak mengecup seluruh wajah Nathael.
Tapi sebelum berangkat, mereka meninggalkan secarik kertas yang sengaja diletakkan diatas tempat tidur. Nael sampai menyelipkan foto mereka bertiga disana, foto saat main di theme park beberapa minggu lalu.
|Papa jangan sedih ya, Nael dan Mama pergi liburan sebentar. Nael sayang Papa ❤️|
|Jangan khawatir El, aku akan jaga anak kita dengan baik. We love you!"
***
Di sisi lain Elliot sedang fokus pada pekerjaannya sebelum sebuah telfon dari asisten rumah tangga menghubunginya membawa kabar buruk. "Hallo Tuan... Nyonya membawa Tuan muda pergi sambil membawa koper dan juga paspor"
"Apa?"
Seketika waktu seolah berhenti berputar. Ekspresi kagetnya tergambar jelas dari matanya yang melotot diikuti oleh wajah yang merah padam. Nafasnya memburu lebih cepat, panik bukan main.
Nggak. Kamu nggak boleh pergi Anala. Kamu nggak boleh bawa Nael pergi!
Setelah panggilan itu terputus, Elliot segera menghubungi orang kepercayaannya untuk mencaritahu lebih banyak kemana tujuan sang istri. Dia memang sudah lama menyuruh orang untuk mengawasi pergerakan istrinya.
"Menurut informasi yang saya dapatkan, tujuan mereka adalah Tokyo, Pak." suara itu tegas penuh keyakinan. Elliot tau orang kepercayaannya tak mungkin salah info.
"Tokyo?" Elliot mengerutkan keningnya makin dalam, makin tak mengerti apa tujuan istirnya itu. Rahangnya mengeras, ia memejamkan mata sebelum bicara. "Apa ada hal lain yang kamu tau? beritahu semua, cepat!"
Orang diseberang terdengar menelan ludah dengan kasar. Seperti ragu untuk bicara sejujurnya. "Di waktu yang sama, Pak Yohane juga memiliki penerbangan dan tujuan yang sama."
Elliot tiba-tiba terdiam membisu. Rasanya semakin sesak saat semua penyangkalan yang dia bangun dari hati nuraninya luluh lantak oleh fakta. Tangannya mengepal kuat hingga buku-bukunya memutih. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman mengejek.
Anala... jadi ini alasan perubahan kamu akhir-akhir ini? kamu sudah mempersiapkan rencana sialan ini!
Sial! aku benar-benar naif.
Lama tak terdengar jawaban dari atasan, si penelpon diseberang sana kembali bersuara. "Hallo Pak, apa masih ada yang bisa saya bantu? kalau tidak saya akan tutup telfonnya." ia memastikan tugasnya selesai lebih dulu.
"Tunggu."
Elliot menatap tajam pada pintu yang tertutup rapat. Ingatannya tiba-tiba kembali pada momen saat dia percaya bahwa istrinya sudah berubah. Rahangnya mengeras seketika, diikuti helaan napas yang terdengar kasar. "Siapkan saya tiket menuju Tokyo, segera!" itu perintah, tak bisa diganggu gugat.
Namun si penelpon masih tak yakin, dengan ragu ia kembali bertanya untuk memastikan. "...maaf pak?" Elliot berdecak kesal, dia tak suka mengulang dua kali. Dengan penuh jengkel, suaranya tiba-tiba meninggi. "Saya harus menjemput kembali apa yang sejak awal jadi milik saya." kenaifan yang selama ini ia tunjukkan, dibalas begitu gesit oleh istri tercinta.
Keterlaluan, Anala!
Dalam satu tarikan napas si penelpon langsung menjawab mengerti. Tidak mau ambil resiko membuat Elliot semakin marah. "Baik pak, saya mengerti. Secepatnya akan saya kirim."
Elliot melempar ponselnya dengan kasar diatas tumpukan dokumen di meja. Kepalanya disandarkan ke kursi, matanya menatap langit-langit ruangan yang terlihat membosankan. Ekspresinya sengit, tajam dan bengis. Tangannya tak tahan untuk tidak menonjok sesuatu.
Bugh! meja tak bersalah itu jadi korban pelampiasan emosinya.
Jangan pikir aku menyerah, Anala. Aku akan bawa kamu dan Nael pulang, apapun caranya!
***
Sementara itu, suasana dibandara terlihat ramai dan sesak pengunjung. Beberapa orang menunggu dengan wajah bosan di bangku gate sambil menatap ke arah pesawat yang berada dibalik kaca besar tempat itu. Disana, Anala duduk bersama putranya, menunggu waktu keberangkatan mereka.
"Ma... kita mau kemana?" anak itu menatap polos sambil terus mengunyah croissant yang dibelikan Mama untuknya.
Anala membelai pipinya lembut, sesekali merapikan rambut Nathael yang mulai kusut. "Kita akan berangkat ke Tokyo. Nael senang kan pergi sama Mama?"
Si kecil langsung mengangguk cepat. "Senang Ma. Tapi Papa bagaimana? kenapa kita nggak berangkat bersama?" matanya menyusuri wajah Anala lebih dekat, penasaran kenapa ayahnya tak di ajak pergi.
Namun Anala malah terkekeh, ia senang anaknya tak lupa bahwa Papanya masih tertinggal di rumah. Sambil menangkup kedua pipi Nael yang menggembung karena makanan, ia berkata. "Papa kan kerja, Sayang. Nanti kita pergi lagi kalau Papa senggang ya?"
"Kalau nanti Papa nangis gimana Ma?"
"Hmm" tangannya menoel pipi, bertingkah layaknya orang yang sedang berpikir keras. "Nggak mungkin deh, tadi kita kan udah tinggalin surat buat Papa. Nanti kalau Papa udah pulang ke rumah, pasti langsung baca surat itu."
Ekspresi Nathael berubah senang, matanya sampai berbinar karena Mamanya tidak berniat meninggalkan Papa. "Iya, nanti Papa pasti tau kalau kita lagi liburan sebentar."
Tak berselang lama, pesawat menuju Tokyo akhirnya take off. Nathael duduk didekat jendela, sementara Anala selalu sigap disisinya. "Untunglah bapak itu mau tukeran kursi sama Nael." Anala terkekeh pelan. mengingat bagaimana usahanya dan Nael untuk bisa duduk disebelah.
"Iya kakek itu baik Ma." Nael ikut terkekeh pelan, matanya menoleh pada kakek-kakek yang sebelumnya tukeran kursi dengannya. Gampang, dia hanya pura-pura menangis dan tidak bisa jauh dari sang Mama sampai kakek itu pun merasa kasihan.
Perjalanan menuju Tokyo terasa sebentar, hingga tanpa sadar kini keduanya telah mendarat dengan selamat. Sambil menyeret kopernya, sebelah tangan Anala memegang Nathael dengan erat. Ia tak membiarkan anaknya lepas dari jangkauan.
Anala menunduk bicara pada Nathael, memperingatkan anak itu untuk tidak melepas genggamannya. "Jangan dilepas ya sayang, nanti Mama bisa kehilangan Nael." Nathael mengangguk cepat sambil tersenyum "Iya Ma."
Mereka melangkah keluar ditengah kepadatan pengunjung lain, kiri kanan dipenuhi oleh berbagai manusia dari bermacam ras. Anala merotasi matanya sekeliling, mencari tempat sepi untuk duduk menunggu taksi.
"Nael, kita duduk ke sana yuk?" ia menunjuk sebuah kursi di lorong yang sepi, tak banyak orang. Anak kecil itu langsung mengangguk dan mengikuti Mamanya dengan sesuka hati.
Namun belum sampai disana, sebuah langkah besar menghalangi jalan mereka. Tangannya tak sopan langsung meraih sebelah tangan Anala yang sebelumnya memegang Nathael.
"Anala."
Suara itu membuat jantungnya berdebar cepat. Ia meneguk ludah dengan kasar, dadanya naik turun tak konsisten. Perlahan ia mulai mengangkat pandangan dan terkejut saat yang berdiri didepannya adalah sosok yang tak pernah ia duga.