NovelToon NovelToon
PENGUASA YANG DIHINA, SULTAN YANG DIRAGUKAN

PENGUASA YANG DIHINA, SULTAN YANG DIRAGUKAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Matabatin / Crazy Rich/Konglomerat / Raja Tentara/Dewa Perang
Popularitas:967
Nilai: 5
Nama Author: Andi Setianusa

Ia adalah Sultan sebuah negeri besar bernama NURENDAH, namun lebih suka hidup sederhana di antara rakyat. Pakaian lusuh yang melekat di tubuhnya membuat orang menertawakan, menghina, bahkan merendahkannya. Tidak ada yang tahu, di balik sosok sederhana itu tersembunyi rahasia besar—ia memiliki kekuatan tanpa batas, kekuatan setara dewa langit.

Namun, kekuatan itu terkunci. Bertahun-tahun lalu, ia pernah melanggar sumpah suci kepada leluhur langit, membuat seluruh tenaganya disegel. Satu-satunya cara untuk membukanya adalah dengan menjalani kultivasi bertahap, melewati ujian jiwa, raga, dan iman. Setiap hinaan yang ia terima, setiap luka yang ia tahan, menjadi bagian dari jalan kultivasi yang perlahan membangkitkan kembali kekuatannya.

Rakyatnya menganggap ia bukan Sultan sejati. Para bangsawan meragukan tahtanya. Musuh-musuh menertawakannya. Namun ia tidak marah—ia tahu, saat waktunya tiba, seluruh negeri akan menyaksikan kebangkitan penguasa sejati.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Setianusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pertarungan Rahasia di Malam Gelap

Kabut malam menyelimuti ibu kota Nurendah, tebal dan basah, seolah alam ikut menyembunyikan niat jahat yang merayap di kegelapan. Al Fariz berdiri di atap sebuah bangunan tua, memandang ke bawah ke gang-gang sempit yang seperti urat nadi kota. Jubah gelap yang dikenakannya membuatnya menyatu dengan bayangan, hampir tak terlihat.

Dia baru saja turun gunung, tubuhnya masih ringan penuh energi Inti Roh, tapi pikirannya berat. Pesan dari pengkhianat yang berhasil diselamatkan pengawal setianya singkat: "Malam ini, mereka akan membersihkan sisa-sisa pendukungmu. Hati-hati."

"Membersihkan," desis Al Fariz, matanya menyipit. Kata yang begitu kejam untuk menggambarkan pembunuhan.

Dia melompat turun, mendarat senyap di atas tumpukan karung tepung. Indranya sekarang begitu tajam. Dia bisa mendengar detak jantung tikus di selokan, bisikan dua kekasih di kamar losmen, bahkan gesekan pedang di sarungnya dari seberang pasar.

Lalu dia merasakannya. Sepuluh, mungkin lima belas energi asing. Bergerak cepat, terlatih, mematikan. Mereka menyebar seperti laba-laba di jaringnya.

"Datang untukku?" gumamnya. "Atau untuk mereka yang masih berani menyebut namaku?"

Dia memutuskan untuk tidak menunggu. Jika ini perangkap, biarlah. Jika ini pembersihan, dia akan menjadi penghalang.

Gang pertama yang dimasukinya gelap dan bau. Tapi baginya, segalanya terang benderang. Dua orang pembunuh bersembunyi di atap, nafas mereka tertahan. Amatir. Mereka terlalu tegang.

"Kalian mencari Sultan?" suara Al Fariz tiba-tiba terdengar dari belakang mereka.

Kedua pembunuh itu berbalik kaget, pedang terhunus. Mata mereka melotot melihat sosok yang seharusnya menjadi target mereka kini berdiri begitu dekat, tanpa suara, tanpa jejak.

"Siapa... siapa kau?" salah satu gagap.

Al Fariz tersenyum tipis. "Kalian diutus untuk membunuhku, tapi tidak tahu wajahku? Sungguh menyedihkan."

Tanpa memberi waktu mereka bereaksi, dia sudah bergerak. Bukan dengan kekuatan dahsyat, tapi dengan efisiensi mematikan. Dua tepukan tangan, dua tubuh jatuh. Tidak mati, tapi pingsan. Mereka akan bangun dengan sakit kepala dan pelajaran berharga.

Tapi ini baru permulaan.

Dia merasakan kelompok lain, lebih terlatih, mendekat. Tiga orang, bergerak dalam formasi. Satu di depan, dua di samping. Profesional.

Al Fariz tidak menghindar. Dia berjalan menuju mereka, langkahnya santai seperti sedang berjalan-jalan di taman.

"Serang!" teriak pemimpin kelompok.

Pedang-pedang menghunjam, tapi Al Fariz sudah tidak di situ. Dia muncul di belakang mereka, menyentuh punggung mereka satu per satu dengan ujung jari. Energi Inti Roh mengalir pelan, melumpuhkan sistem saraf mereka.

"Tidurlah," bisiknya. "Kalian hanya alat."

Tiga tubuh jatuh bersamaan. Rapih.

Tapi kemudian sesuatu yang aneh terjadi. Liontin di sakunya kembali berdenyut, kali lebih kuat. Dan dia merasakannya - satu energi yang berbeda. Lebih dingin, lebih tua, tersembunyi di antara para pembunuh.

"Dia yang kurasakan di gunung," gumam Al Fariz. "Dia di sini."

Dia berbalik, menghadap ke ujung gang. Dari bayangan, seorang pria muncul. Berbeda dengan pembunuh lain yang semuanya mengenakan pakaian hitam, pria ini memakai jubah abu-abu sederhana. Wajahnya biasa saja, mudah dilupakan, tapi matanya... matanya seperti es yang tak pernah mencair.

"Kau bukan bagian dari mereka," kata Al Fariz.

Pria itu menggeleng. "Tidak. Aku hanya penonton. Tapi kau menarik perhatian."

Suaranya datar, tanpa emosi. Seperti air mengalir.

"Siapa kau?"

"Pertanyaan yang sulit dijawab," pria itu melangkah mendekat. "Tapi kau bisa panggil aku Pengamat."

Al Fariz merasakan energi aneh dari pria ini. Bukan kekuatan kultivasi biasa. Lebih seperti... kekosongan. Seperti lubang hitam yang menyerap segala sesuatu di sekitarnya.

"Kau bekerja untuk siapa?"

"Untuk diriku sendiri," jawab Pengamat. "Aku mengamati hal-hal menarik. Dan kau... kau sangat menarik."

Dia mengangkat tangan, dan seketika seluruh gang menjadi sunyi. Bahkan suara angin seakan hilang. Dunia seolah berhenti.

"Ini... apa yang kau lakukan?" tanya Al Fariz, merasakan tekanan aneh di sekelilingnya.

"Hanya membuat kita bisa bicara tanpa gangguan," ujar Pengamat. "Kau mencapai Inti Roh lebih cepat dari perkiraan. Dan kutukan itu... kau sudah mulai menyatu dengannya. Menarik."

Al Fariz merinding. Bagaimana dia tahu segalanya?

"Jangan khawatir," Pengamat seperti membaca pikirannya. "Aku bukan musuhmu. Untuk saat ini."

"Lalu apa maumu?"

"Melihat pilihanmu," jawabnya. "Kau akan menghadapi keputusan besar sebentar lagi. Menyelamatkan beberapa, atau menyelamatkan semua. Mengorbankan yang dekat, atau mempertaruhkan yang jauh."

Pria itu mendekat, hingga mereka hanya berjarak sejengkal. Matanya yang dingin memandang dalam ke mata Al Fariz.

"Keputusan itu akan menentukan bukan hanya nasib Nurendah, tapi mungkin dunia."

Lalu, tiba-tiba, tekanan menghilang. Suara dunia kembali. Pengamat itu sudah menghilang, meninggalkan kebingungan yang dalam.

Tapi tidak ada waktu untuk berpikir. Teriakan meminta tolong memecah kesunyian. Dari ujung gang, sekelompok orang berlari ketakutan. Di belakang mereka, para pembunuh dengan pedang berdarah.

"Tolong! Mereka bunuhi siapa saja yang menolak pangeran palsu!" teriak seorang wanita tua.

Al Fariz menggeram. Dia melompat, mendarat di antara para pembunuh dan warga sipil.

"Cukup," katanya, suaranya rendah tapi penuh wibawa.

Para pembunuh terhenti, mengenali wajahnya. Beberapa langsung mundur ketakutan. Tapi yang lain, lebih nekat, menyerang.

Kali ini, Al Fariz tidak bermain-main. Dia tidak melukai, tapi tidak juga memberi ampun. Setiap gerakannya tepat, setiap sentuhan melumpuhkan. Dalam hitungan detik, semua pembunuh terbaring di tanah.

"Dasar... monster," desis salah satu pembunuh sebelum pingsan.

Al Fariz membantu wanita tua itu berdiri. "Pulang. Kunci pintu. Jangan keluar sampai pagi."

Tapi sebelum wanita itu pergi, dia memegang lengan Al Fariz. "Baginda... mereka bilang kau sudah lari. Tapi kami tahu... kami tahu kau akan kembali."

Mata wanita itu penuh air mata, tapi juga harapan.

Al Fariz tersentuh. "Aku tidak akan mengecewakan rakyatku lagi."

Dia melanjutkan perjalanan, sekarang dengan tekad yang membara. Pengamat itu mungkin benar - akan ada pilihan sulit. Tapi untuk sekarang, pilihannya jelas: lindungi setiap nyawa yang bisa dia lindungi.

Sepanjang malam, dia berkeliling kota seperti angin kematian bagi para pembunuh, tapi malaikat penyelamat bagi warga kecil. Setiap pertemuannya singkat, efisien. Tidak ada yang mati di tangannya malam itu, tapi semua pembunuh belajar satu pelajaran: Nurendah masih punya pelindung.

Fajar mulai menyingsing ketika dia sampai di depan istana. Tubuhnya bersih dari darah, tapi jiwanya penuh dengan kenangan malam itu. Teriakan, tangisan, juga ucapan terima kasih.

Dia berdiri di sana, memandang istana yang dulu menjadi rumahnya. Sekarang, di dalamnya, musuh-musuhnya sedang merencanakan kehancurannya.

Tapi yang aneh, yang paling mengganggunya bukan rencana mereka. Tapi kata-kata Pengamat itu.

"Menyelamatkan beberapa, atau menyelamatkan semua."

Apa artinya? Siapa yang harus dikorbankan?

Dia mengeluarkan liontinnya, yang masih berdenyut pelan. Seperti jantung kecil yang mengingatkannya pada sesuatu.

"Guru," bisiknya. "Apa yang kau tidak ceritakan padaku?"

Tidak ada jawaban, seperti biasa. Hanya denyutan konstan yang seakan berkata: "Bersiaplah."

Dia menarik napas dalam, lalu berbalik. Masih ada satu tempat yang harus dikunjungi sebelum kembali ke istana. Satu orang yang mungkin punya jawaban.

Tapi itu untuk besok. Untuk sekarang, dia butuh istirahat. Pertempuran malam ini mungkin sudah selesai, tapi perang sesungguhnya baru akan dimulai.

Dan di menara tertinggi istana, seorang pria dengan jubah menteri berdiri, memandang ke arah Al Fariz yang sedang pergi. Wajahnya dingin.

"Dia kembali," bisik Menteri Rustam. "Tapi tidak lama lagi."

Di tangannya, segel kerajaan berpendar dengan cahaya ungu gelap. Energinya asing, bukan dari Nurendah. Energi yang sama dengan yang dimiliki Pengamat.

Teka-teki mulai berkumpul. Dan Al Fariz, di tengah persiapannya merebut kembali tahta, tidak menyadari bahwa dia hanyalah pion dalam permainan yang jauh lebih besar.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!