Amara Olivia Santoso, seorang mahasiswa Teknik Industri yang sedang berusaha mencari pijakan di tengah tekanan keluarga dan standar hidup di masyarakat. Kehidupannya yang stabil mulai bergejolak ketika ia terjebak dalam permainan seniornya Baskara Octoga.
Situasi semakin rumit ketika berbagai konflik terjadi disekitar mereka. Novel ini menceritakan tentang kisah cinta remaja, persahabatan dan kehidupan kampus.
Dejavu
Baskara merebahkan dirinya di sofa ruang tamu rumahnya malam itu. Badan yang letih setelah kerja seharian serta perut keroncongan membuatnya enggan berpindah ke kamar dan setia menunggu Bundanya memasak makan malam di dapur.
Sudah sekitar sepuluh hari lalu ia pulang ke rumah, sejak itu pula ia terpaksa menjalani kehidupan LDR dengan Amara. Pesan yang jarang terbalas, sering terlambat dan butuh waktu lama jika itu di jam kerja. Janji untuk telfon dan video call sebelum tidur yang justru di dominasi Amara menonton Baskara yang tertidur.
Meskipun Amara tidak pernah protes, nyatanya percakapan yang berulang-ulang hingga topik yang monoton justru membuat Baskara menjadi sedikit bosan dan gampang emosian. Terlebih karena masalah tekanan pekerjaan. Baskara menyerah, ia terlalu kelelahan dan masih belum bisa mengikuti ritme dunia kerja di minggu kedua ini.
Tiba-tiba ponsel Baskara bergetar pelan, dengan enggan ia meraih ponsel yang berada di kantong celananya.
“Paling Amara ngambek lagi” pikirnya.
Namun, ia salah. Kali ini matanya membelalak panas. Cukup lama ia menatap layar ponselnya sebelum menghembuskan nafas kasar. Benar saja, tiga pesan dari Alysa langsung membuatnya terasa melek.
Hai Bas, aku nggak tahu masih pantas ganggu kamu atau nggak, tapi ada satu hal yang aku simpan lama, aku sadar banget dulu aku salah dan bikin kamu terluka. (19.45)
Aku nggak minta kamu percaya sekarang, tapi aku cuma pengen kamu tahu aku udah berusaha berubah. (19.46)
Kalau ada 15 menit waktu buat ngobrol, aku bakal sangat menghargainya (19.46)
Jari-jari Baskara mengetik cepat, mungkin berisikan kata-kata penuh amarah atau justru sebuah nasehat untuk Alysa. Namun seketika Baskara mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih untuk menghapus dan dengan cepat menutup layar ponselnya.
Setelah sepuluh menit berlalu, kini Baskara tengah duduk di meja makan bersama kedua orangtuanya. Menikmati makan malam yang tidak begitu nikmat karena hatinya terasa gundah. Entah karena pertengkarannya dengan Amara, atau pesan dari Alysa yang sengaja ia abaikan. Yang jelas ruang makan terasa menjadi lebih pengap dan sesak. Seperti penuh dengan amarah yang tidak bisa tersampaikan dengan tuntas.
“Kamu kenapa sih Bas, dari tadi murung wajahnya?” Tanya Riana.
Baskara menelan makanan yang ada di mulutnya pelan, “Ngga ada Bun, kecapekan aja” Jawabnya.
“Paling lagi berantem sama pacar barunya ha ha ha” Sahut Haris, Ayah Baskara.
Baskara berdecak sebal sembari melirik tajam ke arah Ayahnya, di kunyahnya kasar makanan yang ada di mulutnya.
“Jangan galau-galau lah Bas, di tempatmu magang bukannya ada juga cewe dari universitas lain yang barengan?” Tanya Haris.
“Apaa sih Ayah ini, ngajarin yang ngga ngga sama anaknya. Kalo udah komitmen itu, harus setia. Jangan suka mainin perasaan orang lain. Inget dulu kamu pernah disakiti ngga enak kan rasanya?” Sahut Riana penuh penekanan.
“Baskara mah orangnya setia Bun, huhh Ayang emang” Protes Baskara kesal.
“Ting tong” Suara bel rumah berbunyi nyaring memecah perdebatan di antara mereka.
“Siapa sih malem-malem bertamu” Gerutu Baskara.
Riana menggeser kursinya untuk bangkit, “Bunda aja yang bukain” Ucapnya sembari berjalan ke depan menginggalkan Baskara dan Suaminya yang masih lahap mengunyah masakannya.
Riana berjalan lebih cepat ke arah pintu, saat bel rumahnya berbunyi sekali lagi.
“Iyaa sebentar” Teriaknya lembut.
Dengan ragu, ia memutar kenop. Kemudian membuka pintu dengan perlahan. Di hadapannya kini berdiri Alysa yang tersenyum dengan paper bag berisi kue di tangannya.
“Malem Bunda, maaf yaa Sasa ganggu kesini malem-malem” Ucapnya sembari mencium tangan Riana sebagai tanda sopan santun.
Setengah kaget, Riana kini membuka pintunya lebih lebar, “Udah sembuh Sa? Kapan pulang dari rumah sakit?” Tanya Riana.
“Siapa Bun?” Tanya Baskara dari dalam.
“Iniii, ada Alysa Bas” Jawabnya, “Ehh masuk dulu Sa. Duduk dulu yaa? Kamu mau minum apa?” Tanya Riana.
“Ngga usah Bun, Alysa cuma bentar. Tadi di suruh Papa buat bagiin kue ke tetangga perumahan sekalian syukuran dan ucapan rasa terimakasih karena kemaren udah pada nengokin Alysa” Suara Alysa terdengar tenang, hampir terlalu tenang. Membuat hati Riana seolah tak tenang.
“Wahh makasih loh yaa” Ucap Riana menerima paper bag dari Alysa.
“Ngapain Sa malem-malem banget” Ucap Baskara yang tiba-tiba muncul dari belakang.
Alysa tersenyum tipis, “Ngga ada kok Bas”.
“Kok gitu, sama temennya” Riana menyikut perut Baskara pelan, “Duduk dulu Sa, tante buatin minum” Ucapnya sembari berjalan ke arah dapur.
Alysa berjalan ke arah Soffa, sementara Baskara mengekor di belakang Riana.
“Temenin dulu gih sanaaa” Ucap Riana penuh penekanan.
“Ngga ah Bun, males aku sama dia” Protes Baskara.
“Siapa sih tamunya?” Tanya Haris mencoba menengahi.
“Itu lohh Yah, Alysa” Ucap Riana Sembari mengaduk teh yang baru saja dia buat.
“Ohh mantan calon mantuu, udah biar Baskara aja yang nemani. Buktiin kalo kamu udah move on. Belajar jadi pria sejati, jangan sembunyi di balik ketiak Bunda” Ucap Haris datar.
Riana memberikan secangkir teh hangat kepada Baskara dengan smirk aneh di wajahnya, “Hati-hati jangan bikin dia nekat bunuh diri disini Bas, dan jangan jatuh cinta sama dia lagi”.
“Ngga akan” Ucap Baskara sebal sembari bejalan meninggalkan kedua orangtuanya.
Dengan langkah perlahan, ia menuju ke ruang tamu. Tempat dimana Alysa menunggu.
“Nih di minum” Kata Baskara setelah meletakkan cangkir di depan Alysa.
“Rumahmu ngga banyak berubah yaa, masih adem dan nyaman” Ucap Alysa basa-basi.
“Kamu nyuruh kami sekeluarga pindah?” Sarkas Baskara.
Alysa terkekeh pelan, “Ngga gitu juga kali Bas”.
“Kamu ngapain sih repot-repot kesini? Karena chatmu ngga tak bales?” Tanya Baskara to the point.
Alysa mengetuk meja dengan jari-jarinya pelan, senyumannya penuh dengan tanda tanya.
“Anggep aja Inii salah satu effort dariku buat minta maaf Bas” Kata Alysa.
Baskara menghembuskan nafasnya kasar, ada rasa muak yang menyeruak dari wajahnya.
“Ngga perlu, udah aku ikhlasin” Jawab Baskara.
“Seriusan? Baguslah” Ucap Alysa antusias.
“Apaan sih ngga jelas” Jawab Baskara yang sekilas terlihat tersenyum tipis.
Alysa meraih cangkir di hadapanya dan meminumnya dengan perlahan.
“Kayaknya aku pulang dulu deh, besok kamu kerjakan?” Tanya Alysa.
Baskara mengernyitkan dahinya bingung, “Tau dari mana?” Tanya Baskara.
Alysa melirik lanyard dan ransel Baskara yang masih tergeletak di ujung sofa, “Itu belum kamu beresin. Kebiasaan deh kalo kecapekan ngga langsung beres-beres dulu” Ucap Alysa.
Baskara menggaruk rambutnya yang tidak gatal, ada rasa kikuk, dejavu dan perasaan aneh yang tiba-tiba hadir diantaranya.
“Baskaraaa heyyy” Alysa melambaikan tangannya, mencoba menyadarkan Baskara yang kini tengah tenggelam dalam pikirannya.
“Ehh gimana Sa?” Tanya Baskara gelagapan.
“Gapapa, Bas. Aku pulang dulu yaaa, sampaiin salam ke Ayah Bunda” Ucap Alysa yang kini berjalan ke arah pintu keluar.
“Iyaa hati-hati yaaa, makasih” Jawab Baskara sembari berdiri di ambang pintu.
“Semangat kerja praktek Baskaraa, Oppa choegoya…. himnae!” Ucap Alysa sembari melakukan aegyo kemudian berlari tanpa menutup pintu gerbang rumah Baskara.
Baskara reflek terdiam sebentar, matanya membesar dengan bibir yang menahan senyum.
“Apaa apaan sih, kok jadi sok imut gitu” Desisnya pelan sembari menutup pagar rumahnya.
Tapi detik berikutnya senyumnya memudar, kesadarannya muncul perlahan, “Sial sial”.