Dara sebagai pelatih Taekwondo yang hidupnya sial karena selalu diteror rentenir ulah Ayahnya yang selalu ngutang. Tiba-tiba Dara Akan berpindah jiwa raga ke Tubuh Gadis Remaja yang menjatuhkan dirinya di Atas Jembatan Jalan Raya dan menimpa Dara yang berusaha menyelamatkan Gadis itu dari bawah.
Bagaimana Kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amanda Ricarlo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lesham Masuk Kedalam Mimpiku
Pemandangan di hadapannya begitu memukau, seakan seluruh dunia berhenti berputar hanya untuk memperlihatkan keindahan yang tidak akan pernah habis dipandang. Hamparan bunga lili yang bermekaran dengan warna putih bersih menghiasi seluruh permukaan tanah, kelopaknya terbuka dengan anggun, memantulkan cahaya lembut matahari yang jatuh dari sela-sela awan. Hembusan angin membawa aroma harum yang menenangkan, seolah-olah setiap hela napas yang ditarik mampu membersihkan segala resah dan luka di dalam hati. Dara berdiri terpaku, matanya nyaris tidak berkedip, bibirnya perlahan mengembang membentuk senyum manis yang tulus. Ia menutup kedua matanya, meresapi udara segar yang menyelinap masuk memenuhi paru-parunya, sementara kedua tangannya terangkat tinggi, merasakan angin sejuk yang berhembus melewati kulitnya, menenangkan, menenteramkan, dan seakan membawanya ke dunia yang berbeda.
Namun, ketenangan itu tiba-tiba saja terguncang. Dari arah belakang terdengar suara yang memanggil namanya, suara lembut namun begitu jelas hingga membuat tubuhnya sontak menegang. Dengan cepat ia menoleh, mencari sumber suara itu.
“Kak Dara…” Suara itu terdengar seperti milik seorang gadis remaja, bening, polos, tetapi sarat dengan perasaan yang sulit dijelaskan.
“Lesham?” Dara terperanjat, melihat sosok gadis muda itu tersenyum ke arahnya. Senyum yang begitu manis hingga membuat bibir Dara secara spontan ikut terangkat, seolah rasa hangat itu menular tanpa bisa ditolak.
“Kenapa kau bisa ada di sini?” tanya Dara dengan nada heran, matanya masih dipenuhi kebingungan.
“Ini adalah tempatku.” Suara Lesham terdengar mantap, meski samar-samar ada sesuatu yang bergetar di dalamnya.
“Tempatmu? Lalu… di mana rumahmu? Bukankah orang tuamu ada di sana, menunggumu pulang?” Pertanyaan Dara membuat senyum Lesham perlahan memudar. Ekspresinya yang semula riang berubah sendu, tatapan matanya merendah, seolah ada luka yang kembali terbuka.
“Ini adalah alam lain, Kak. Seharusnya kau tidak berada di sini. Aku… aku sebenarnya merasa bahagia. Hidupku di dunia yang dulu penuh penderitaan, dan sekarang aku merasakan ketenangan. Aku senang tubuhku ditempati oleh orang sekuat dirimu.” Lesham tersenyum lebar ketika mengucapkan kata-kata itu, tetapi air mata jatuh deras membasahi pipinya, membentuk kontras menyakitkan antara senyum dan tangisan.
“Apa maksudmu? Ini dunia lain? Apakah… ini surga? Lesham, jangan bilang kau menyerah untuk hidup di dunia. Kumohon, bangkitlah. Kau tidak tahu… selama aku hidup di dalam ragamu, aku selalu ketakutan. Aku takut tidak akan bisa kembali ke tubuh asliku. Aku mohon, aku akan membantumu sebisaku. Tapi jangan pernah berkata kau lebih memilih tempat ini, karena kau masih diberi kesempatan untuk hidup,” ucap Dara dengan suara panik. Ia sendiri tidak sadar air matanya sudah mengalir deras, jatuh membasahi wajahnya yang pucat.
“Dunia itu tidak pernah berpihak padaku, Kak Dara. Aku… aku merasa tenang tinggal di sini.”
“Apa yang kau katakan? Kau menyerah begitu saja? Kalau kau putus asa, bagaimana denganku? Apa kau pikir aku tidak takut? Aku juga terjebak dalam ketidakpastian. Aku ingin kembali pada hidupku. Aku ingin kembali pada diriku sendiri,” ucap Dara dengan nada meninggi, suaranya pecah, lalu tangisnya meledak semakin keras, dada terasa sesak menahan semua yang menumpuk di dalam.
Lesham mendekat, wajahnya juga basah oleh air mata, lalu tanpa banyak kata ia memeluk Dara erat-erat, seolah ingin menenangkan gejolak yang bergemuruh di dalam tubuh Dara. Dalam dekapan itu, ia berbisik dengan suara parau, “Jika kau berhasil, aku akan berpihak padamu.”
Kata-kata itu membuat tubuh Dara seketika terhentak, lalu dalam sekejap ia terbangun dari tidurnya. Nafasnya terengah-engah, wajahnya basah oleh keringat, matanya masih digenangi air mata. Semua terasa begitu nyata, seolah mimpi itu baru saja terjadi di dunia nyata. Ingatannya masih segar, suara Lesham masih terngiang jelas di telinganya.
“Lesham… ternyata kau ada di alam yang membuatmu tenang. Tapi aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan membantumu menyelesaikan apa yang belum terselesaikan. Dengan begitu, aku bisa kembali pada ragaku yang sebenarnya.” Suara Dara lirih, penuh tekad yang berusaha ia yakinkan pada dirinya sendiri, meski rasa takut masih menghantui.
>>>
Pagi itu, Dara yang saat ini hidup di tubuh Lesham tengah menuruni anak tangga dengan langkah pelan namun mantap. Seragam sekolahnya sudah melekat rapi di tubuhnya, rambut panjangnya ia ikat sederhana menjadi kuncir kuda, memberi kesan segar dan disiplin. Aroma masakan sudah tercium dari arah ruang makan, dan ketika ia sampai di bawah, tampak kedua orang tuanya sudah duduk di meja, menunggunya.
“Selamat pagi,” ucap Lesham sopan, mencoba menebar senyum kepada ayah dan ibunya.
“Selamat pagi, Sayang,” jawab ibunya lembut, penuh kehangatan.
Namun kemudian suara ibunya terdengar agak ragu, seperti ada sesuatu yang menahan di kerongkongan sebelum diucapkan. “Sayang… Ibu dengar, di sekolah kemarin kau…”
Lesham segera memotong, suaranya tenang tapi tegas. “Sudahlah, Mah. Aku sudah terbiasa dengan hal itu. Jangan terlalu khawatir. Lebih baik Mama fokus menyemangati aku. Mama tahu, aku sekarang anak yang kuat, jadi tidak perlu lagi menghiraukan apa yang terjadi padaku di sekolah.”
Ibunya terdiam sejenak, menatap wajah putrinya, lalu mengangguk perlahan sambil tersenyum kecil. Ada kelegaan, sekaligus kekhawatiran yang tidak pernah benar-benar hilang. Sang ayah yang sejak tadi hanya mendengarkan, mengusap punggung istrinya dengan lembut, memberi isyarat agar tidak terlalu khawatir. Mereka berdua sama-sama tahu, anak mereka sedang berjuang lebih keras daripada yang terlihat di permukaan.
¥¥¥\=\=¥¥¥
Suasana pagi itu cukup cerah, langit biru terbentang luas tanpa banyak awan yang menghalangi, hanya beberapa burung yang sesekali melintas, menambah semarak suasana kota kecil tempat Lesham bersekolah. Setelah sarapan yang penuh dengan kehangatan meski terselip kecemasan, ia berpamitan pada kedua orang tuanya, menyampirkan tas di bahu, lalu melangkah keluar dengan langkah yang terlihat mantap, walaupun dalam hatinya masih tersisa perasaan ganjil akibat mimpi panjang tadi malam.
Jalan menuju sekolah dipenuhi dengan aktivitas anak-anak lain yang berjalan berkelompok, bercanda, dan tertawa lepas. Sesekali Lesham melirik ke arah mereka, tersenyum kecil, meski jauh di dalam dirinya ada rasa asing yang sulit dijelaskan, antara dirinya sendiri dan Dara yang sebenarnya menempati tubuh ini. Angin pagi menyapu lembut rambutnya yang terikat, membuat kuncir kudanya bergoyang pelan seiring langkah yang mantap menapaki trotoar.
Begitu sampai di gerbang sekolah, suasana riuh langsung menyambutnya. Beberapa siswa berlari kecil menuju kelas karena bel hampir berbunyi, sebagian lainnya masih berkumpul di halaman, berbincang tentang hal-hal sepele, mulai dari pekerjaan rumah hingga gosip ringan. Namun, begitu Lesham masuk melewati gerbang besi yang tinggi itu, beberapa pasang mata otomatis menoleh, memperhatikannya dengan cara yang membuat dadanya terasa sesak. Ada tatapan penasaran, ada tatapan sinis, bahkan ada juga yang terlihat berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya, seakan-akan dirinya adalah sosok yang selalu pantas dijadikan bahan pembicaraan.
Ia menarik napas dalam-dalam, menguatkan dirinya, lalu terus berjalan seolah-olah tidak mendengar apapun. Ingatannya kembali pada ucapan ibunya di meja makan tentang apa yang terjadi di sekolah kemarin dan ucapan itu semakin menegaskan bahwa gosip serta perlakuan orang-orang di sekitarnya bukanlah hal baru. Namun ia menolak untuk menunjukkan kelemahan.
Di koridor panjang menuju kelas, langkahnya terdengar bergema, sepatu yang dipoles rapi menapak lantai ubin yang dingin. Sesekali ada beberapa siswa yang tersenyum tipis padanya, entah tulus atau sekadar basa-basi, sulit untuk dibedakan. Namun, ia tetap membalas dengan anggukan sopan, menjaga sikap sebagaimana dirinya sudah berjanji pada diri sendiri untuk tetap kuat menghadapi hari-hari seperti ini.
Ketika sampai di depan pintu kelas, suara riuh murid-murid langsung terdengar lebih jelas. Beberapa tengah bercanda keras, sebagian lainnya sibuk membuka buku. Namun, begitu Lesham melangkah masuk, suasana mendadak agak mereda, seakan kehadirannya membawa perubahan kecil pada atmosfer ruangan. Tidak ada yang terang-terangan mengusir atau mengejek, tetapi tatapan yang dilontarkan seolah sudah cukup untuk membuat siapa pun merasa terasing.
Lesham berdiri sejenak, merasakan perasaan tidak nyaman itu menyusup ke dalam dada, lalu memutuskan untuk tidak memperpanjang pikirannya. Ia berjalan menuju bangku yang biasa ditempati, meletakkan tas dengan hati-hati, dan mulai mengeluarkan buku catatan. Senyum tipis terukir di wajahnya, meski hanya sebagai tameng untuk menutupi kegelisahan yang sebenarnya jauh lebih besar dari apa yang terlihat.
Dalam hatinya ia bergumam, “Lesham… aku berjanji, meski semua mata memandang seperti ini, aku akan tetap menjalani hidupmu dengan tegar. Aku akan melanjutkan perjuanganmu, dan bersama-sama kita akan menemukan jalan untuk keluar dari semua ini.”