Aruna terjebak ONS dengan seorang CEO bernama Julian. mereka tidak saling mengenal, tapi memiliki rasa nyaman yang tidak bisa di jelaskan. setelah lima tahun mereka secara tidak sengaja dipertemukan kembali oleh takdir. ternyata wanita itu sudah memiliki anak. Namun pria itu justru penasaran dan mengira anak tersebut adalah anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fatzra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Julian menatap Aruna heran kenapa wanita itu tidak mau menerimanya. Apakah selama ini ada pria yang dekat dengan dia? "Kenapa kau tidak mau, aku akan bertanggung jawab dengan apa yang telah aku lakukan kepadamu 5 tahun yang lalu,"
Aruna menunduk. "Aku hanya belum siap, kau bisa memberikan aku waktu untuk bisa menerimamu? jujur saja aku masih sakit hati dengan perlakuan orang tuamu 5 tahun yang lalu."
Julian menganggukan kepalanya. Ia tidak keberatan jika Aruna meminta waktu kepadanya. Ia tidak bisa memaksakan kehendak wanita itu karena menyadari semua kesalahannya. "Baik, aku menghargai keputusanmu, anggap saja itu sebagai hukuman untukku atas apa yang terjadi kepada kalian selama ini."
Sekali lagi air mata Aruna meluncur begitu saja. Entah kenapa hatinya merasa sakit saat Julian mengucapkan kalimat itu. Kali ini ia dapat melihat ketulusan di mata pria itu.
"Ayah, "
Aruna dan Julian menoleh cepat ke arah ranjang Raven, lalu berlari mendekatinya. "Raven, sayang, kau sudah bangun," ucap Aruna mengusap lembut pipi putranya itu.
Dengan mata berkaca-kaca, Julian menatap anak itu. "Coba panggil aku ayah sekali lagi," ucap Julian dengan nada bergetar, air matanya hampir jatuh.
"Ayah kenapa wajahmu sangat sedih?" tanya Raven dengan nada yang masih lemah.
Perlahan Julian mengusap pipi Raven memandangnya dari atas sampai bawah. "Ayah tidak sedih, hanya bahagia," ucapnya, lalu menghapus air matanya dan tersenyum ke arah anak itu.
Dengan lemah anak itu tersenyum. Julian dan Aruna saling melempar tatapan yang tidak dapat diartikan entahlah mereka harus bahagia atau bersedih dengan keadaan yang sekarang dialaminya.
Dokter masuk ke dalam ruangan itu, untuk memeriksa keadaan Raven. "Tuan dan Nyonya, silakan menunggu dulu di luar, saya akan memeriksa pasien," ucapnya ramah.
Aruna dan Julian meninggalkan ruangan itu mereka duduk di bangku ruang tunggu. Suasana hening menyelimuti kecanggungan di antara mereka.
Julian masih memikirkan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Mungkin setelah Raven membaik, ia akan membawa mereka tinggal di tempat yang lebih nyaman, kalau perlu ia akan memindahkan mereka ke kota. Tapi semua itu tergantung Aruna apakah wanita itu akan setuju atau tidak.
Akhirnya dokter yang memeriksa Raven keluar, "Kondisi pasien sudah cukup baik tapi sebaiknya kita pantau 2 sampai 3 hari ke depan, jika pasien mengalami keluhan jangan sungkan panggil kami. "
"Terima kasih dok," ucap Julian dan Aruna yang nyaris bersamaan mereka saling menatap sejenak, lalu masuk ke ruang pesawat Raven.
Aruna duduk di sebelah ranjang, lalu tangannya terulur menggenggam erat tangan Raven. Ia menatap putranya itu seraya tersenyum. "Raven bagaimana rasanya sekarang, apakah kamu masih kesakitan? "
Raven tersenyum, "Aku baik-baik saja, Mama. Mama tidak perlu khawatir," ucapnya, lalu melebarkan senyumannya.
Aruna senang mendengarnya, lalu membelai lembut pipi putranya itu, ia memandangnya begitu lama dengan tatapan lembut. Raven terus tersenyum, lalu menoleh ke arah Julian.
"Ayah Aku sangat merindukan ayah, rasanya sudah kita lama tidak bertemu, ya?" tanyanya, lalu tersenyum.
Julian mendongakkan kepalanya menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia sangat sedih mendengar Raven mengatakan itu. Tatapannya kembali ke anak itu. "Maafkan ayah, karena belakangan ini sibuk. Besok kalau Raven sudah sembuh, ayah janji akan mengajakmu ke mana saja yang kau inginkan. Aku akan sering bermain denganmu, janji," ucapnya, lalu mengulurkan jari kelingking ke arah Raven.
Raven tersenyum lebar, "Benarkah ayah akan mengajakku ke mana saja?" tanya anak itu, menatapnya penuh harap.
Julian mengagukan kepalanya seraya tersenyum. Namun, dengan terpaksa ia harus meninggalkan Raven karena suatu pekerjaan hari ini. "Maafkan ayah, ya. Hari ini ayah harus berangkat kerja, supaya mama tidak perlu bekerja lagi kalau ayah punya uang banyak," ucapnya, lalu mencubit pelang hidung anak itu.
Aruna menoleh cepat ke arah Julian, lalu menatapnya heran. Ternyata pria itu tulus kepadanya dan juga Raven. Namun, ia belum bisa menerima pria itu dengan banyak pertimbangan di hatinya.
Julian melambaikan tangan ke arah Raven, dan dibalas oleh anak itu. Ia keluar menuju ke parkiran. rupanya Vincent sudah ada di sana. "Ayo ke kantor," ucap Julian.
Vincent menoleh, "Tuan, apakah kau sudah tidak apa-apa? "
Julian menepuk pundak anak buahnya itu "Tidak apa-apa, aku harus mengumpulkan uang yang banyak agar bisa membahagiakan anakku," ucapnya tanpa sadar.
Vincent terkejut dengan membelalakkan matanya, "Anak? "
Julian menganggukkan kepalanya. "Maksudku Raven." Ia segera masuk ke dalam mobil. "Ayo jalan apa yang kau pikirkan,"
"Jadi lima tahun yang lalu, Tuan dan Non Aruna, kalian memiliki anak?" tanyanya Vincent seraya menyetir mobilnya.
"Iya, Aruna takut aku merebutnya, jadi selama ini dia membohongiku," jawab Julian. Tangannya sibuk menggulir layar ponsel, dan sesekali mengetikkan sesuatu. "sudahlah jangan banyak bicara menyetir saja."
Vincent menganggukan kepalanya, lalu menyetir. Hari ini ia mengantar Julian ke kantor Robert, karena harus mengurus proyek yang akan diselenggarakan.
Sesampainya di kantor Julian langsung masuk ke dalam ruang rapat, Robert susah menunggu di sana dan beberapa kolega yang lain. Hari ini mereka membahas rencana pengadaan event pekan Raya yang akan diselenggarakan di kota itu. untuk memperkenalkan bisnis mereka kepada orang-orang serta mengundang wisatawan untuk datang ke kotanya.
Setelah meeting selesai, Julian langsung bertolak ke mall untuk membeli hadiah yang akan diberikannya kepada Raven. Awalnya ia bingung ingin belanja apa, tapi setelah melihat baju, mainan, dan sepatu entah kenapa Ia jadi kalap belanja itu semua. Ia sangat bahagia bisa membelikan barang-barang untuk anaknya. Semuanya wajar saja, karena mereka telah terpisah begitu lama.
Usai belanja Ia ke rumah sakit, dengan perasaan bahagia. Selama di perjalanan ia memandangi foto Raven di ponselnya yang di jadikan foto wallpaper. Setelah sampai di rumah sakit, ternyata anak itu sedang tidur.
Aruna, pun, tertidur di bangku. Badannya setengah memeluk Raven. Pasti posisi tidurnya tidak nyaman. Julian berinisiatif memindahkan wanita itu ke sofa, lalu menutupi tubuhnya dengan jas miliknya.
Julian mengirim pesan, agar Vincent membelikan makanan untuk Aruna. Wanita itu terlihat sangat lelah, ia tidak tega melihatnya, membiarkannya tidur pulas. Sementara ia menggantikannya menjaga Raven.
Julian memandangi Raven lebih dalam. Ia tidak menyangka, dan masih berasa mimpi kalau yang di hadapannya saat ini adalah darah dagingnya. Firasatnya memang tidak pernah salah, yang jadi beban pikirannya saat ini adalah keluarganya. Kenapa lima tahun lalu mereka tega mengusir Aruna. Padahal wanita itu hanya ingin meminta pertanggung jawaban darinya.
"Setelah ini aku tidak membiarkan siapa, pun, mengusir kalian lagi. Tidak ada yang bisa menentang perintahku di rumah itu. Termasuk orang tuaku sendiri!" desisnya dengan tatapan sinis.
Hatinya terlalu sakit, kenapa selama ini orang tuanya tidak pernah memberi tahunya, kalau Aruna pernah mencarinya, kenapa mereka berbohong, malah kekeh menjodohkannya dengan Celine. Kalau ia tahu sejak awal wanita itu mengandung anaknya, ia tidak akan pergi ke luar negri dan hari ini mereka pasti sudah bahagia.
"Ayah, aku kecewa, kenapa kau tega menelantarkan cucu ayah sendiri," ucap Julian dengan nada bergetar, menahan amarah.
Julian mengusap punggung tangan Raven, lalu menciumnya. "Maafkan, ayah," ucapnya. Air matanya tak terbendung lagi. Yang ada hanya menyesal, terlambat menemukan anaknya.
"Ayah, kenapa menangis?" tanya Raven tiba-tiba terbangun.
Dengan cepat ia menghapus air matanya. "Tidak, mata ayah hanya perih, tadi di jalan banyak debu," jawab Julian terpaksa berbohong.
"Ayah menunduk biar aku tiup," perintah Raven yang langsung di turuti oleh pria itu.
"Wah, ayah punya mata yang indah," ucapnya terkesima, melihat bola mata Julian yang berwarna coklat, sangat jernih dan memiliki bulu mata yang agak panjang.
"Sama sepertimu, karena kau adalah anak ayah," ucap Julian, lalu tersenyum.
"Ya, ayah. Kau juga mewariskan wajah tampan itu kepadaku," ucapnya, lalu terkekeh.
Julian ikut terkekeh, tidak bisa di pungkiri mereka memang sangat mirip. kondisi Raven semakin membaik, dan hari ini sangat ceria. Pria itu sangat bahagia.
"Kenapa, kau ada di sini?"
Terima kasih.