Series #1
•••Lanjutan dari novel TAWANAN PRIA PSIKOPAT (Season 1 & 2)•••
Universidad Autonoma de Madrid (UAM) menjadi tempat di mana kehidupan Maula seketika berubah drastis. Ia datang ke Spanyol untuk pendidikan namun takdir justru membawa dirinya pada hubungan rumit yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Rayden Salvatore, terus berjuang untuk menjaga gadis kecilnya itu dari semua yang membahayakan. Sayangnya dia selalu kecolongan sehingga Rayden tidak diizinkan oleh ayah Maula untuk mendekati anaknya lagi.
Maula bertahan dengan dirinya, sedangkan Rayden berjuang demi cintanya. Apa keduanya mampu untuk bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 : Madrid di antara Sela Jemari
...•••Selamat Membaca•••...
Matahari musim semi di Madrid menyinari kota dengan hangat dan lembut, memantulkan kilau keemasan di trotoar Gran Via dan menari-nari di kaca jendela toko-toko tua. Maula Maximillian menuruni anak tangga dari pintu depan Facultad de Medicina de la Universidad Autónoma de Madrid, mengenakan blus putih dan celana krem panjang. Rambutnya digulung seadanya. Di tangan kirinya, tas kulit yang elegan.
Dari penampilan Maula yang cukup sederhana, sangat terlihat kalau dia bukan sesederhana itu.
Rayden menunggu di dekat pagar besi, menyender santai sambil memandangi taman kecil di seberangnya. Jaket kulit hitam menggantung di lengannya, dan senyumnya muncul seketika saat melihat Maula.
“Aku pikir kamu tidak akan ikut hari ini, mengingat kamu memiliki janji dengan dokter kenalan ayahmu itu,” ucapnya pelan saat mereka mulai berjalan berdampingan.
“Aku sempat berpikir begitu juga. Tapi... hari ini terlalu cantik untuk dihabiskan berdua di perpustakaan.” Maula membalas dengan nada meledek pada Rayden yang dia yakini kalau saat ini sedang cemburu.
Rayden menyeringai kecil. “Aku punya rencana. Dan kamu tidak boleh protes.”
“Asal jangan rencana untuk melumpuhkan Lucan saja.” Rayden tertawa kecil lalu memegang tangan Maula dengan erat dan mesra.
Mereka menyusuri taman El Retiro, menyewa perahu kecil di Estanque Grande, dan dayung demi dayung, mereka menembus danau tenang dengan langit biru merekam bayangan mereka. Di antara tawa kecil dan sesekali cipratan air, Maula merasa segalanya melambat.
“Kenapa kau selalu tahu tempat yang tepat?” tanya Maula.
“Aku pernah tersesat di sini waktu berjuang keluar dari lingkaran mafia” jawab Rayden. “Dan sejak itu, aku anggap taman ini sebagai titik orientasi dalam hidup. Kalau semuanya berantakan, aku datang ke sini. Sambil mengingat dirimu.” Rayden menyentuh kecil ujung hidung kekasihnya itu.
Maula menyentuh air dengan ujung jemarinya. “Lalu sekarang kamu ajak aku ke tempat yang kamu anggap titik orientasi?”
Rayden menatapnya diam. “Mungkin kita berdua perlu hal itu.”
“Apa kau ada main wanita selama di New York?” Rayden sedikit tersedak lalu menjitak kecil kening Maula.
“Jangankan untuk main wanita, tidur saja selalu tidak nyenyak. Aku harus tidur dengan pikiran berkecamuk setiap hari, antara memikirkan kamu dan juga misi.” Maula mengusap pelan pipi Rayden dan mengecupnya singkat.
“Sweet. Aku pikir kau bisa dinobatkan sebagai pria terbaik.” Rayden menaikkan sebelah alisnya.
“Lalu kamu?”
“Aku?”
“Yaa. Kau menghabiskan waktu dengan dokter itu.”
“Hanya sebatas teman, tak lebih.
“Aku percaya, empat bulan lagi papamu datang ke sini bukan?” Maula mengangguk.
“Aku akan meminta izin padanya, tepat dihari ulang tahunmu yang ke-21.” Maula tersenyum senang.
“Kau ingat?”
“Jelas aku ingat, aku melewatkan satu tahun dan pastinya aku tidak akan melewatkannya lagi.”
“Aku sangat berharap kalau papa merestui semua ini.”
“Kalau tidak?”
“Aku paksa untuk iya.” Rayden hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar perkataan Maula.
...***...
Langkah membawa mereka ke keramaian pasar San Miguel, dengan aroma jamon iberico, tapas, dan churros panas melayang di udara. Mereka mencicipi satu persatu seperti bocadillo de calamares, segelas sangria tanpa alkohol untuk Maula, dan tawa yang meledak saat Rayden memaksa Maula mencoba Ostra (tiram) untuk pertama kalinya.
“Rasanya seperti mencium laut,” komentar Maula, setengah jijik, setengah geli.
“Berarti ciuman pertamamu dengan laut sudah sah.”
“Dan menyedihkan.” Maula menampakkan ekspresi jijik karena memang setidak enak itu baginya.
“Aku bisa bantu memperbaikinya nanti,” ujar Rayden lirih.
Wajah Maula merona, dan dia pura-pura memalingkan wajah ke deretan kue pastel de nata.
Menjelang senja, mereka naik ke rooftop Circulo de Bellas Artes, memesan cafe con leche dan duduk menghadap panorama kota. Kubah Gran Via, Menara Telefonica, dan siluet Katedral Almudena berdiri di kejauhan seperti lukisan.
Pelayan membawa sepiring kecil tapas manis dan gurih: croquetas de jamon yang masih hangat, beberapa potong kecil keju Manchego, dan mangkuk kecil berisi almendra tostada (kacang almond panggang). Sebagai penutup, ada dua potong tarta de Santiago—kue almond khas Galicia yang harum dan lembut, dengan salib Saint James tercetak di atasnya menggunakan taburan gula halus.
Rayden mengambil sepotong kecil keju dan menawarkannya pada Maula dengan garpu kayu. “Kamu harus coba ini. Rasanya seperti... Spanyol dalam satu gigitan.”
Maula tertawa kecil. “Kamu ini berlebihan.”
“Bukan. Kalau kamu suka, berarti kamu ditakdirkan jatuh cinta pada negara ini. Dan kalau kamu jatuh cinta pada negara ini… ada kemungkinan kamu juga jatuh cinta pada seseorang di dalamnya.”
Maula mencubit kecil lengan Rayden, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan.
“Kamu dong?”
“Pastinya dan bukan Lucan.” Maula merungut yang membuat Rayden tersenyum gemas.
“Mulaiii.”
“Sorry.”
Angin senja mengibaskan rambutnya, dan di antara aroma kopi, kacang panggang, dan langit merah jambu yang menurunkan malam perlahan, mereka menikmati keheningan yang tak butuh banyak kata. Rayden dengan mesra menyampirkan rambut Maula yang mulai menghalangi wajah cantik itu.
Madrid menyajikan malamnya dengan hangat dan mereka menyambutnya sambil menggenggam rasa yang pelan-pelan tumbuh di antara tawa dan camilan sederhana.
Perjalanan mereka hari ini berlanjut ke pemberhentian ketiga, yaitu Libreria Desnivel, toko buku tua di Calle de la Ribera de Curtidores, menjadi surga sunyi berikutnya. Di antara rak-rak buku pendakian, literatur klasik Spanyol, dan peta-peta tua yang tergantung di dinding, mereka saling diam namun terhubung.
Maula menarik sebuah buku tentang Andes. Rayden menatapnya singkat.
“Kita harus ke sana suatu hari nanti.”
“Kamu suka gunung?” tanya Maula.
“Aku suka hal-hal yang membuat kita sadar betapa kecilnya kita. Dan aku ingin menjalani semua itu denganmu.”
“Oke. Mungkin karena kamu terbiasa merasa besar ya sekarang.”
Rayden tersenyum. “Kamu tidak tahu seberapa kecil aku kalau berdiri di dekatmu. Apalagi di mata dunia sebelumnya.”
Maula menggenggam tangan Rayden dan membawa ke bibir ranumnya untuk dicium, tangan yang begitu kasar dan terdapat beberapa memar. Menunjukkan bahwa Rayden baru saja melakukan kegiatan fisik yang tidak terbilang ringan atau kecil.
“Kau selalu indah dan besar di mataku, kau calon pemimpinku, Ray.” Rayden tak bisa menjawab, dia hanya memberikan kecupan kecil di kening Maula.
...***...
Malam menjatuhkan dirinya perlahan saat mereka kembali ke jalanan Madrid. Rayden menawarkan lengan dan Maula menyelipkan tangannya tanpa berpikir dua kali.
“Aku tidak ingin ini berakhir,” bisik Maula.
“Kalau begitu,” jawab Rayden, “jangan kita akhiri. Mari kita ulangi. Berkali-kali.”
“Aku harap memang begitu, bisa mengulangi kebersamaan denganmu berkali-kali.”
“Jangan tinggalkan aku, Piccola.” Maula hanya menggeleng dan tersenyum.
Dan di tengah lampu jalan yang kuning, suara musik dari gitaris jalanan dan langkah kaki yang lambat, Maula tahu hari ini bukan sekadar hari yang romantis. Hari ini adalah awal dari sesuatu yang lebih baik lagi.
“Aku akan meluluhkan hati Tuan Leo agar mau memberikan putri kecilnya ini padaku,” ujar Rayden sambil berjalan.
“Aku sudah besar.”
“Bagiku kau masih gadis kecil yang lucu dengan sedikit bumbu mengerikan.” Maula tertawa lepas, tawa yang selama satu setengah tahun ini telah terlupakan.
“Aku mencintaimu Rayden.” Dengan ciuman di bibir yang singkat, malam itu ditutup penuh kenangan oleh mereka berdua.
...•••Bersambung•••...
...----------------...
...----------------...
...
...
...----------------...