Kala gemerlut hati semakin menumpuk dan melarikan diri bukan pilihan yang tepat.
Itulah yang tengah Gia Answara hadapi. Berpikir melarikan diri adalah solusi, namun nyatanya tak akan pernah menjadi solusi terbaik untuknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _NM_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
XXX
Kata orang, kalau capek itu istirahat. Lalu dimana tempat istirahat itu?
Ingat, buah dari kesabaran adalah hal yang mengagungkan dan menggetarkan jiwa. Namun mengapa seberat itu kata 'sabar'?
Hidup bukan hanya tentang kata ikhlas, sabar, bersyukur. Hidup juga tentang mencari arti dari kehidupan. Kehidupan yang tak abadi. Begitu pula tangisan yang tak abadi.
Kalimat itu seakan indah sebagai pegangan. Namun bagi beberapa orang akan dapat membantah. Memang benar tangisan tak akan abadi, tapi bukankah itu juga berarti kebahagiaan juga tak akan pernah abadi?
Masa telah berlalu sangat cepat bagaikan bulu burung merak yang akan seketika terlupa keberadaannya oleh sang pemilik bulu.
Kata orang, kemarin adalah masa lalu dan hari ini adalah masa lalu untuk hari esok. Lalu mengapa sangat cepat sekali kata masa lalu itu, seakan tak dapat dinikmati oleh seorang insan.
Burung-burung yang bersiul pun tampak tak bermakna lagi untuk keesokan harinya. Hari yang dinanti tak akan menjadi hari yang ditunggu-tunggu saat harinya telah tiba. Harapan dan angan akan terbuang sia-sia apabila tak tergapai dan seketika tergantikan oleh kata ikhlas dan syukur.
Memang terlalu memuakan jika dibayangkan oleh mata telanjang. Namun, nyatanya tak semudah itu masa lalu menjadi masa lalu. Ada banyak cacian makian yang harus ditelan mentah-mentah.
Semua penjuru bumi juga tahu bahwa kehidupan sangat amat berat untuk dijalani. Meski ujiannya berbeda tapi tetap terasa berat hanya untuk sekedar menarik napas.
Ingat, individu yang tampak baik-baik saja kini adalah mereka yang telah melewati berbagai kisah pahit hidupnya dunia.
Begitu pula dengan Gia masa kini.
Hidupnya tak akan pernah dan akan sangat jauh dari kata baik-baik saja. Namun apakah dia seawut-awutan dulu? Tentu tidak. Wanita itu kini masih bisa menghela napas untuk mengontrol deru napasnya, kala sesak melanda.
Lalu, apakah ada jaminan jika ketenangan yang Gia miliki akan bertahan? Tentu tidak. Iya, memang benar dia telah melewati masa-masa suramnya dan menjadi lebih tangguh dari sebelumnya. Tetapi sayangnya, ombak yang menerjang akan tetap menjatuhkan diri jika terlalu tegak bukan?
Tak ada jaminan, sikap tenang akan abadi. Tak ada..
Nyatanya saat ini. Saat Gia baru saja mengantarkan Shila dan Bara kerumah sakit menemui Tante cantik mereka. Belum saja Gia menghela napas suara sentakan menghentikan langkahnya ditengah jalan, kala hendak menghampiri kedua anaknya yang lain dan mantan suaminya berada di depan ruangan Keysha.
" Anda!! "
Suara itu nyaring, hingga bukan hanya menggores gendang telinga tetapi juga hati Gia. Suara nyaring itu berasal dari putri bungsunya. Tentu hari ibu mana yang tak sakit mendengarkan kalimat tidak mengenakan seperti itu.
Ara berjalan mendekat sembari mengacungkan tangannya pada sang ibu. Tak lupa tatapan tajamnya mengusik keterdiaman Gia.
" Mengapa anda kemari!? Tak cukup anda membuat kondisi mama saya ngedrop seperti saat ini!? " Tuduh Ara dengan mata berkilat merah menahan air mata.
Gia bingung.
Tak paham dengan maksud yang putri bungsunya katakan.
Tangan Gia terangkat, hendak mengusap kepala putrinya penuh sayang.
" Ada apa sayang, bun- "
Belum juga Gia dapat menggapai sang anak, tangan Gia sudah ditepis oleh Ara.
" Mengapa saya bisa dilahirkan oleh wanita picik seperti anda!? " Ucap Ara penuh kecewa.
Shila yang mendengar itu seketika maju, tak terima mendengar perkataan yang diucapkan oleh sang saudari.
" Kamu gak pernah diajarin sopan santun yah? Sama orang tua kok bilang gitu. " Ucap Shila tak terima.
Ara yang mendengar itu beralih menatap Shila. " Iya, ibunya saja kayak dia yang ninggalin anaknya dari kecil dan balik balik malah bilang yang enggak enggak sama mama aku. Sampai-sampai mama.. " belum selesai Ara berucap anak itu sudah berjalan mundur, tak mampu melanjutkan kalimatnya.
Ara menatap sang ibu dan saudara kembarnya yang selama ini bersama ibunya itu dengan tatapan berlinangan air mata. Bagaimana bisa sosok yang amat dirindu ternyata amat menyakiti hatinya?
" Ara.. " Meski tak paham, hati Gia ikut merasakan sakit yang tengah dirasakan Ara.
Apa yang telah Gia lakukan? Gia tak paham.
Gia melangkah maju, hendak meraih Ara kembali. Sakit rasanya melihat putrinya tampak sehancur ini. Menguatkan diri untuk mendapatkan penolakan, Gia mencoba merengkuh sang anak.
" Arghhhh.. jangan pegang aku! Jangan pegang aku! " Terimakasih Ara histeris, berusaha menghindar dari rengkuhan sang bunda.
" Sayang, tenangin diri dulu. Dengerin bunda. "
Kara yang melihat itu berusaha mendorong sang ibu menjauh, agar tak semakin membuat sang adik berteriak histeris. " Jangan pegang Ara!!! " Teriak Kara sembari mendorong sang ibu mundur.
Dorongan itu tak cukup kuat hingga membuat Gia jatuh. Namun sayangnya cukup kuat untuk membuat sebulir air mata menetes dari pelupuk matanya.
Ternyata sesakit ini yah menjadi seorang ibu.
Gia termenung sesaat di tempatnya, tak mampu lagi untuk bergerak. Hal itu membuat Bara dan Shila berjalan mendekat, berdiri disamping kanan dan kiri sang bunda, sembari menatap tajam ke arah Ara dan Kara.
" Bunda.. " ucap Shila sesaat melihat sang bunda diam dengan air mata yang sedikit demi sedikit berlinang.
Shila dan Bara menggenggam tangan sang bunda berusaha menguatkan.
" Kenapa kalian bisa sejahat ini sama bunda? " Suara Bara keluar setelah beberapa saat mencoba untuk tetap diam, tapi kini Bara tak tahan lagi.
Kara menatap sang kembaran dengan pandangan mata menghunus tajam. " Nyatanya kalau seandainya wanita itu tidak berbicara dengan mama, mama tak akan seperti saat ini. Entah apa yang wanita itu katakan hingga sesaat setelah wanita itu pulang mama mengalami kritis. " Ucap Kara sembari merengkuh Ara, mencoba menenangkan sang adik.
Mendengar itu Gia merasa terjadi kesalahpahaman disini. Rasanya beribu kalimat penjelas tercekat di tenggorokannya.
" Kalian tak akan pernah tahu rasanya melihat mama yang kalian sayangi, yang selama ini menjaga kalian terbaring lemah diruangannya dengan berbagai macam alat yang menancap. Kalian gak pernah ngerti.. " Ucap Ara dengan sesekali sesenggukan karena tangisnya.
" Bunda tidak pernah mengatakan hal buruk apapun. " Ucap Gia berusaha menjelaskan.
" Bohong!! " Sentak Ara.
Gia yang mendengar itu hendak menyaut, namun kalimatnya terhenti kala melihat keberadaan sang mantan suami yang baru saja keluar dari ruangan Keysha.
" Gia.. " Ucap Jordan dengan pandangan yang sudah segelap lautan.
Gia menunggu beberapa saat untuk mendengar kalimat yang hendak Jordan katakan.
" Keysha ingin bertemu dengan kamu, ada yang ingin Keysha katakan. " Jordan menarik napas berat.
Sembari menunduk Jordan berucap, " Aku mohon tolong jangan katakan hal yang semakin membuat keadaan Keysha memburuk. Aku mohon.. "
Gia terdiam ditempatnya menimang untuk sesaat. Terdapat perasaan takut untuk mengiyakan. Takut semakin memperkeruh keadaan. Apalagi mendengar tuduhan-tuduhan yang tak berdasar dari sang anak.
Namun, setelah merenung beberapa saat Gia memberanikan diri masuk kedalam ruangan Keysha seorang diri tanpa siapapun yang menemani.