Namanya Kevin. Di usianya yang baru menginjak angka 20 tahun, dia harus mendapati kenyataan buruk dari keluarganya sendiri. Kevin dibuang, hanya karena kesalahan yang sebenarnya tidak dia lakukan.
Di tengah kepergiannya, melepas rasa sakit hati dan kecewa, takdir mempertemukan Kevin dengan seorang pria yang merubahnya menjadi lelaki hebat dan berkuasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rcancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sore menjelang Senja
Di sebuah bangunan terbengkalai, bekas pertokoan, nampak tiga pria dewasa sedang berbincang, membahas sesuatu. Salah satu diantara mereka adalah saudara tiri Hernandez yang akrab dipanggil Dorman.
Dorman sedang berbincang dengan dua pria yang dia ajak untuk kerja sama dalam menjalankan rencananya. Kali ini, Dorman mengajak dua orang yang dianggap lihai dalam menyusup bangunan bertingkat seperti gedung pencakar langit milik Hernandez.
Panggil saja mereka rekan satu dan rekan dua. Mereka nampak serius membicarakan rencana penting dengan imbalan yang cukup besar.
Dorman sejatinya bukanlah seorang pengangguran. Pria itu memiliki usaha penyulingan minuman keras yang dia kelola, warisan dari ayahnya. Usahanya cukup berkembang pesat. Meski kualitasnya bukan kualitas unggulan, tapi minuman keras hasil produksi Dorman, menjadi favorit bagi warga kelas menengah ke bawah.
Maka itu, tidak sulit bagi Dorman untuk mengajak kerja sama pada orang lain dalam hal apapun, karena dia memiliki banyak kenalan orang-orang yang sering terlibat tindak pidana ringan maupun berat.
"Jadi target kita kali ini Black Diamond?" tanya rekan satu begitu Dorman mengungkapkan tujuannya mengundang dua pria tersebut. "Bukankah gedung itu milik saudaramu sendiri?"
Dorman tersenyum sinis. "Saudara apaan," bantahnya. "Kalau dia memang menggangap aku saudara, harusnya dia menjadikan aku sebagai salah satu pejabat penting dalam perusahaannya. Tapi dia, ketemu aja nggak mau. Malah menganggapku musuh."
"Hahaha," dua rekan Dorman sontak terbahak. "Sesama saudara saling tidak akur itu banyak banget. Aku aja, dimusuhi oleh saudara-saudaraku. Tapi, giliran butuh, mereka rela ngemis dan cari muka."
Dorman dan rekan satu pun menyeringai bersamaan.
"Apa lagi kalau saudaranya lebih kaya," ucap rekan satu. "Mereka pasti memandang rendah dan meremehkan saudaranya yang miskin."
"Nah itu," ujar Dorman. "Hernandez juga seperti itu. Jangan kan sama aku yang hanya saudara tiri. Sama ibu kandungnya juga, dia nggak peduli. Dia lebih suka menolong orang lain biar kelihatan baik di mata banyak orang."
"Hahaha.." kedua rekan Dorman malah tertawa. Tapi bukan tertawa menghina, melainkan tertawa miris karena mereka mengalami nasib yang hampir sama.
"Ya sudah, kita fokus aja sama rencana kamu," ucp rekan satu. "Sekarang, katakan apa rencana kamu selengkapnya?"
Senyum Dorman kembali terkembang dan dia segera mengatakan rencana yang sudah dia susun dalam pikirannya secara rinci.
#####
Di tempat lain, tepatnya di halaman sebuah rumah mewah super mewah, nampak dua pria berbeda usia juga sedang terlibat perbincangan serius tapi santai.
Berbeda dengan Dorman dan dua rekannya, dua pria tersebut, terlibat perbincangan yang lebih bersifat pribadi. Terutama tentang nasib yang dialami salah satu pria itu, dengan wajah penuh luka lebam.
"Jadi, kamu ikut sama nenek kamu, sampai kamu usia 15 tahun?" tanya pria berwajah bule yang akrab dipanggil Mario. "Apa nenek atau kakek kamu tidak pernah cerita, alasan apa yang menyebabkan kamu dititipkan pada mereka?"
Kevin menggeleng. "Nenek selalu bilang, kalau Papaku tuh orangnya sangat sibuk. Jadi, daripada aku nggak ada yang merawat, akhirnya aku dititipkan sama Nenek."
Mario mengangguk samar. Sedari tadi dada pria itu berdegup sangat kencang. Namun, Mario berusaha sekuat tenaga agar dirinya nampak biasa saja di hadapan anak muda yang ternyata adalah anak kandungnya.
"Apa Papi Hernandez menceritakan banyak hal tentang aku, Om?" Kini, giliran Kevin yang bertanya, sembari menatap pria gagah yang duduk di sebelah kanan dan terhalang meja kecil diantara mereka.
Yah, begitulah," jawab Mario. "Apa kamu tidak suka, aku mengetahui tentang kamu?"
"Bukan begitu, Om," bantah Kevin. "Sedari tadi, Om Mario banyak menanyakan tentang aku. Jadi, aku agak kaget aja," jawabnya. "Terus, apa, Om Mario, mengenal ibuku juga?"
Mario sontak tertegun begitu mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Kevin. Pria yang sudah menginjak usia di atas 40 tahn itu, lantas tersenyum tipis dan melempar pandangan ke arah lain beberapa saat.
"Apa kamu tahu kalau ibu kamu pernah dekat dengan Lavia?" Bukannya menjawab, Mario malah melempar pertanyaan lain.
Kevin mengangguk. "Kata Nadira, ibu dulu pernah dekat dengan Maminya. Katanya hubungan mereka renggang sejak Papi bermusuhan sama Papa Dirgantara."
Mario kembali mengangguk paham. "Dulu, aku juga sering main bareng sama ibu kamu." Mendengar ucapan Mario, Kevin langsung menatap pria itu. Mario tahu, anak muda itu pasti terkejut dan penasaran. "Dulu, waktu masih muda, aku, ibumu, dan Lavia, sering kumpul dan bareng."
"Kok bisa?" dari sikap yang ditunjukan, Kevin terlihat cukup tertarik mendengar cerita tentang Ibunya. Selama ini, Dia memang tidak tahu banyak, tentang masa lalu wanita yang telah melahirkannya.
"Dulu, Lavia pernah tinggal di daerah nenek kamu, sedangkan aku memang sejak kecil ikut keluarga Lavia. Kita dan Ibu kamu sempat sekolah bareng. Cuma diantara kami bertiga, Ibu kamu yang menikah terlebih dahulu. Dirgantara dulu juga pendatang sama seperti Lavia. Setelah ibu kamu menikah, kami jadi jarang main bareng. Apa lagi, Ibu kamu, dulu lebih sering tinggal di kota."
Kevin mengangguk beberapa kali. "Apa ketika menikah, Ibu kelihatan bahagia?"
Mario agak terperanjat mendengar pertanyaan Kevin, sampai pria itu menatap lekat darah dagingnya sendiri. "Maksud kamu? Apa kamu mendengar cerita lain tentang ibumu?"
Kevin mengangguk. "Katanya, dulu, keluarga Papa Dirgantara tidak merestui hubungannya dengan ibu. Apa benar begitu?"
Mario tercenung sejenak, kemudian dia tersenyum canggung. "Mereka memang ditantang keras. Semua itu karena keluarga Dirgantara memandang Paulina itu tak sebanding. Dirgantara berasal dari keluarga kaya raya sedangkan ibu kamu dari keluarga sederhana."
"Tapi kok bisa menikah?" rasa penasaran Kevin semakin menguat.
"Karena Dirgantara yang memaksa," jawab Mario. "Dia melakukan segala cara agar bisa menikah dengan Paulina, hingga akhirnya keluarga dirgantara nyerah dan mengijinkan."
Kevin kembali mengangguk, lalu tatapannya di lempar ke arah lain. "Tapi, setelah pernilkahan itu, katanya ibu tidak bahagia."
Lagi-lagi Mario terkejut sampai keningnya berkerut, menatap Kevin yang menunjukan raut sedih.
"Katanya, ibu tertekan karena sikap keluarga Papa. Ibu sering menangis dan paling benci jika ditinggal Papa sendirian di rumah."
"Kamu dapat informasi itu dari mana?" sekarang giliran Mario yang penasaran.
"Dari para bibi yang bekerja di rumah Papa Dirgantara," jawab Kevin. "Katanya, mereka seriing menyaksikan ibu diperlakukan tidak baik oleh keluarga Papa. Tapi Ibu nggak berani cerita karena nggak mau menjadi beban pikiran Papa. Ibu bertahan juga katanya dulu Dirgantara selalu melindunginya. Cuma setelah usia kak Vina empat tahun, sikap Papa mulai berubah, Papa sering tidak peduli sama keadaaan Ibu."
Mario terdiam dengan tangan terkepal. Tiba-tiba dadanya bergemuruh dan rasa kesal mulai menampakan diri pada wajahnya.
"Om."
"Iya?" Mario berusaha menutupi suasana hatinya.
"Apa om pernah dengar cerita kalau Ibu selingkuh dari Papa Dirgantara?"
Deg!