Setelah pernikahan yang penuh kekerasan, Violet meninggalkan segala yang lama dan memulai hidup baru sebagai Irish, seorang desainer berbakat yang membesarkan putrinya, Lumi Seraphina, sendirian. Namun, ketika Ethan, mantan suaminya, kembali mengancam hidup mereka, Irish terpaksa menyembunyikan Lumi darinya. Ia takut jika Ethan mengetahui keberadaan Lumi, pria itu akan merebut anaknya dan menghancurkan hidup mereka yang telah ia bangun. Dalam ketakutan akan kehilangan putrinya, Irish harus menghadapi kenyataan pahit dari masa lalunya yang kembali menghantui.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 28
“Ethan, kamu di mana?” Suara Carisa terdengar serak, seperti baru terbangun dari tidur.
“Aku di pesta perusahaan Apparel mode,” jawab Ethan sambil melirik ke arah Irish yang berdiri tidak jauh darinya.
“Oh, Jangan terlalu banyak minum alkohol.” Carisa memberi nasihat pelan, lalu menambahkan, “Kamu pulang malam ini?”
“Jam sembilan nanti,” jawab Ethan. Matanya kembali tertuju pada Irish, gaun putih terbuka di bagian punggung, riasan memikat, dan sorot mata yang berbeda dari biasanya. Ethan sempat terpaku, ia belum pernah melihat Irish tampil seperti ini.
Namun, kesadarannya segera kembali. Mengapa dia begitu memperhatikan Irish? Empat tahun lalu ia mencurigainya, dan sekarang, bahkan saat berbicara dengan Carisa, ia justru menatap wanita lain. Rasa bersalah itu menekan dadanya.
“Aku pulang sekarang saja,” ujarnya tiba-tiba. “Urusan di sini hampir selesai, Dion juga sudah datang.”
“Sekarang?” Suara Carisa terdengar kaget, bahkan sedikit gugup.
“Iya.” Ethan tersenyum, mengira Carisa terharu. “Istirahatlah dulu, aku segera sampai.”
Setelah menutup telepon, Ethan kembali melirik ke arah Irish, lalu berjalan keluar dari ruang perjamuan dengan langkah tegas.
Di sisi lain, Carisa langsung panik. Ia mendorong Zayn yang masih berada di tempat tidur.
“Zayn, cepat pakai bajumu!” serunya tajam.
Zayn terburu-buru mengenakan kemeja, tapi ritsleting celananya belum tertarik. Wajahnya tegang, seperti tertangkap basah.
“Ritsletingmu!” Carisa memijit pelipis, frustrasi. Ia tak mengerti mengapa hari ini ia begitu ceroboh. Ia mencintai Ethan, namun Zayn selalu ada saat ia merasa kesepian, dan dia menyukai itu.
Namun, harga dari hubungan ini terasa terlalu mahal.
“Aku hampir selesai,” gumam Zayn, merapikan rambutnya dan kembali bersikap tenang.
Carisa menarik napas lega. “Jangan kembali ke vila malam ini. Lembur saja di kantor.”
“Baik,” jawab Zayn patuh, namun sempat menatap wajah Carisa yang masih memerah karena mereka. Dalam hati, ia merasa menang.
“Oh ya!” Carisa menahan Zayn. “Jangan lupa pada janjimu. Cari tahu siapa wanita yang bersama Ethan kemarin malam. Aku ingin dia lenyap.”
“Kalau kamu yang minta, aku pasti lakukan,” jawab Zayn mantap.
Carisa tersenyum kecil, membetulkan kerah Zayn. “Kamu memang bisa kuandalkan.”
Zayn merespons dengan tatapan berbinar, lalu buru-buru pergi. Begitu pintu tertutup, senyum Carisa pun lenyap.
--------
Setelah Zayn pergi, Carisa membuka jendela kamar, mengganti seprai, dan mandi. Tak lama, Ethan tiba di rumah.
Saat Carisa turun dari lantai dua, Ethan baru saja masuk. Ia mengenakan setelan hitamnya tua, wajahnya tampak lelah namun tetap karismatik. Matanya yang dalam menatap Carisa, dan senyum tipis menghiasi wajahnya.
Carisa langsung tersenyum. Ia lupa bahwa sejam lalu, dirinya baru saja memeluk pria lain.
“Ethan, kamu pulang! Aku rindu,” katanya manja, rambutnya masih basah.
“Kamu belum keringkan rambutmu? Nanti masuk angin bagaimana,” gumam Ethan lembut. Tatapan dan senyum Carisa cukup membuat rasa bersalah Ethan menguap.
Ia menyentuh wajah Carisa, lalu berkata, “Ayo naik. Aku bantu keringkan rambutmu.”
Carisa mengangguk patuh.
Ethan lalu mengangkat tubuh ramping Carisa ke pelukannya. Ketika masuk kamar, matanya sempat tertuju pada seprai yang baru. Ia tampak heran, namun tak berkata apa-apa.
Carisa yang peka segera memberi penjelasan, “Seprai diganti tiga hari sekali, tapi aku tidak suka motif yang tadi pagi, jadi aku ganti.”
Ethan mengangguk, lalu menaruh Carisa di tempat tidur dengan lembut.
“Ternyata seprai dan selimut di rumah kita diganti setiap tiga hari sekali,” Ethan tersenyum tipis. “Aku sama sekali tidak pernah memperhatikannya. Tapi terserah kamu saja, kamu bebas pakai yang mana pun kamu suka.”
Setelah berkata demikian, Ethan berbalik mengambil handuk dan pengering rambut untuk Carisa. Ia tampak begitu tenang, tanpa sedikit pun curiga terhadap apapun.
Carisa menghela napas lega. Ia lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang, menanti Ethan mengeringkan rambutnya seperti biasanya.
Ethan segera kembali dengan handuk di tangan. Namun sebelum ia mulai, Carisa mengambil handuk itu lebih dulu dan membentangkannya di atas paha Ethan. Tanpa berkata apa-apa, ia menyandarkan kepalanya di sana.
Ethan tersenyum, mencium pipi Carisa dengan lembut, lalu mulai mengeringkan rambutnya perlahan. Tangannya yang ramping dan terampil memegangi helaian rambut hitam itu penuh perhatian. Momen itu terasa seperti adegan dalam lukisan, penuh keintiman yang diam-diam.
Carisa memandangi wajah Ethan yang sedang serius, lalu bertanya dengan nada ringan, “Ethan, apa hari ini di kantor banyak pekerjaan?”
Ethan mengangkat sedikit alisnya. “Hari ini… pagi aku sibuk periksa dokumen di kantor. Sore harinya Dion mengajakku ke acara pameran dari perusahaan Apparel mode. Awalnya aku berniat lihat-lihat, siapa tahu ada yang cocok denganmu, tapi…”
Ethan mendadak terdiam. Ia hampir saja menyebutkan nama Irish, perempuan dari masa lalu yang hari itu muncul kembali dan membuatnya tidak nyaman hingga akhirnya memilih pulang lebih awal.
Carisa menoleh sedikit dan bertanya pelan, “Tapi kenapa?”
Menatap wajah lembut di pangkuannya, Ethan menelan ludah, lalu menghindar dari kebenaran yang semestinya ia akui. “Tapi aku tidak menemukan model yang cocok untukmu, jadi aku pulang.”
Carisa mengangguk singkat, tak bertanya lebih lanjut. Ia tetap diam, memejamkan mata di pangkuan Ethan.
Namun, dari cara Ethan menatapnya, tampak jelas ada beban di hatinya. Rasa bersalah menggantung di udara. Ia benci bahwa dirinya, demi menutupi satu kebohongan, harus membuat kebohongan lainnya.
Ethan menghela napas dalam hati. Sejak kuliah, Carisa selalu menjadi sosok yang lembut dan penuh kasih. Ia pernah bersumpah, saat dipaksa menikahi Irish, bahwa itu akan menjadi satu-satunya dan terakhir kalinya ia menyakiti Carisa.
Tapi sekarang? Ia kehilangan kendali saat melihat Irish, dan kini ia kembali berbohong.
Ethan mengepalkan tangannya, perasaan bersalah itu makin menusuk. Ketika menatap wajah Carisa yang percaya penuh padanya, beban itu makin berat.
Carisa, yang masih terpejam, perlahan membuka mata. Ia menangkap kegelisahan Ethan. Duduk pelan, ia menatapnya dalam.
“Ada apa? Kamu terlihat aneh. Ada sesuatu yang terjadi, ya?”
Pertanyaan itu seperti gemuruh dalam dadanya sendiri. Carisa tahu dirinya tak sepenuhnya bersih. Ia juga menyimpan rahasia besar, hubungannya yang pernah terjalin secara diam-diam dengan Zayn.
Satu kali kesalahan bisa dimaafkan. Tapi dua, tiga, bahkan empat kali? Carisa tahu tak ada jalan kembali. Yang bisa ia lakukan hanyalah memastikan kebenaran itu tak pernah muncul ke permukaan.
Namun ketakutan tetap tumbuh. Setiap perubahan pada sikap Ethan selalu membuatnya waspada. Apakah Ethan tahu tentang dirinya dan Zayn?
Pikiran itu membuat jantung Carisa berdegup lebih kencang. Ia merasa pusing, napasnya sesak.
Tidak mungkin, batinnya menolak. Tidak ada yang tahu soal hubungannya dengan Zayn. Tidak ada yang pernah memergoki mereka di rumah. Ethan tidak mungkin mengetahuinya sekarang!
Namun ketakutan itu tidak pergi. Ia menggenggam lengan Ethan erat-erat. “Tolong, Ethan… Katakan padaku. Apa sebenarnya yang kamu pikirkan? Jangan buat aku bertanya-tanya seperti ini.”
Ethan menatap wajah Carisa yang diliputi kecemasan. Setelah ragu sejenak, ia memutuskan, ia tak bisa hidup dalam kebohongan terus-menerus. Meskipun menyakitkan, kejujuran lebih baik daripada menyiksa batin.
Ia menarik napas panjang. “Carisa, ada satu hal yang ingin kutanyakan.”
Degup jantung Carisa seketika berhenti. “Apa itu?” tanyanya dengan suara gemetar, berusaha terlihat tenang.
Ethan menggenggam tangannya erat dan berkata, “Kalau aku melakukan sesuatu yang membuatmu kecewa… kamu masih mau memaafkanku?”
Carisa memejamkan mata sejenak, lalu tersenyum tipis dalam hati. Syukurlah. Ternyata bukan karena Ethan tahu tentang Zayn. Ia merasakan sedikit kelegaan.
Namun Ethan menyangka Carisa marah karena tak menjawab. “Carisa, kamu marah? Kenapa diam? Kamu tidak enak badan?”
Carisa menggeleng pelan. “Tidak… aku sedikit lelah.”
Ethan menatapnya penuh rasa bersalah. “Carisa, kalau aku salah… kamu akan tetap memaafkanku?”
Carisa langsung memeluknya erat. “Tentu saja. Apa pun kesalahanmu, aku tetap akan memaafkanmu!”
“Benarkah?” Ethan membalas pelukan itu, seakan beban besar di dadanya perlahan terangkat.
“Benar,” jawab Carisa meyakinkan.
Ethan menatap wajah Carisa lekat-lekat, lalu berkata pelan, “Aku ingin jujur tentang satu hal...”
Carisa menegang, menunggu. “Ya? Katakan saja.”
Ethan menghela napas dan berkata, “Sebenarnya… semalam aku tidak bersama Dion. Aku... bersama seorang wanita lain.”
Carisa membeku. Jadi… itu yang terjadi.
Bersambung......