Zahra, seorang perempuan sederhana yang hidupnya penuh keterbatasan, terpaksa menerima pinangan seorang perwira tentara berpangkat Letnan Satu—Samudera Hasta Alvendra. Pernikahan itu bukan karena cinta, melainkan karena uang. Zahra dibayar untuk menjadi istri Samudera demi menyelamatkan keluarganya dari kehancuran ekonomi akibat kebangkrutan perusahaan orang tuanya.
Namun, tanpa Zahra sadari, pernikahan itu hanyalah awal dari permainan balas dendam yang kelam. Samudera bukan pria biasa—dia adalah mantan kekasih adik Zahra, Zera. Luka masa lalu yang ditinggalkan Zera karena pengkhianatannya, tak hanya melukai hati Samudera, tapi juga menghancurkan keluarga laki-laki itu.
Kini, Samudera ingin menuntut balas. Zahra menjadi pion dalam rencana dendamnya. Tapi di tengah badai kepalsuan dan rasa sakit, benih-benih cinta mulai tumbuh—membingungkan hati keduanya. Mampukah cinta menyembuhkan luka lama, atau justru semakin memperdalam jurang kehancuran?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fafacho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26.
FLASHBACK – Dua TAHUN LALU
Rumah keluarga Hendra, malam hari
Suasana rumah malam itu dipenuhi ketegangan. Bentakan keras dan suara pintu dibanting. Di ruang tengah, dua bersaudara yang hanya terpaut dua tahun itu berdiri saling berhadapan dengan napas memburu dan mata menyala penuh emosi.
“Kau brengsek, Samudera!” bentak Hardin, sang kakak, dengan tangan mengepal. “Kau menikung kakakmu sendiri! Kau mengambil pacarku, Sam! Kau merebut Zera dari aku!”
Samudera tak bergerak dari tempatnya. Wajahnya tetap dingin meski dadanya sesak oleh pertengkaran ini. Hatinya bergejolak, namun ia tak ingin mundur dari keyakinan yang telah ia pilih.
“Bisa-bisanya kau memacari Zera! Kau tahu betul dia pacarku, dan kau tetap menjalin hubungan itu? Hah? Kau masih waras?”
Dorongan keras dari Hardin membuat Samudera terhuyung. Tapi dia tetap berdiri, tak melawan. Dia membalas tatapan kakaknya, kali ini lebih tenang, tapi juga lebih mantap.
“Kalian sudah putus, Bang. Zera dan kau sudah tidak ada hubungan apa-apa. Dia bukan milik siapa pun.”
“Itu bukan alasan!” teriak Hardin lagi. “Kau tahu aku masih sayang dengan dia! Kau tahu aku masih berusaha balikan! Tapi kau malah menikamku dari belakang!”
Samudera menghela napas keras, matanya tak berkedip menatap kakaknya yang masih meledak-ledak.
“Bang... aku nggak menikam dari belakang. Aku mencintai Zera. Dan dia juga memilihku. Apa kau pikir aku harus menyingkir hanya karena dia pernah jadi pacarmu? Cinta nggak bisa dipaksa, Bang.”
Hardin meninju tembok di sebelahnya, rahangnya mengeras, menahan amarah yang belum surut. “Kau tahu tidak, karena kau... karena hubungan kalian... aku kehilangan segalanya. Harga diriku hancur, Sam!”
“Dan aku juga kehilangan kakakku!” balas Samudera untuk pertama kalinya dengan suara lebih tinggi. “Kita ini saudara, Bang! Tapi sejak itu, kau selalu menganggap ku musuh! Apa semua yang pernah kita lewati sebagai adik-kakak nggak ada artinya?!”
“Karena kau yang mulai duluan! Kau menghancurkan kepercayaanku!”
“Aku cuma jatuh cinta, Bang. Dan aku nggak pernah maksud menyakiti siapa pun.”
Keheningan menyelinap beberapa saat, hanya suara napas keduanya yang terdengar berat. Di ambang tangga, Hendra—ayah mereka—berdiri mematung, mendengarkan semua tanpa suara. Wajahnya tegang, menyimpan amarah sekaligus luka. Ia tidak turun tangan, hanya menatap dua anak laki-lakinya itu seperti melihat sebuah kehancuran yang sudah tak bisa ia cegah.
Hardin lalu menatap adiknya dengan sorot mata berbeda—lebih gelap, lebih dingin. “Dari hari ini, Sam, aku tidak punya adik lagi. Kau mati buatku.”
Ucapan itu menghantam Samudera lebih keras dari pukulan mana pun. Nafasnya tercekat, jantungnya seperti dicengkeram.
Hardin lalu berbalik, berjalan pergi dengan langkah keras, meninggalkan Samudera yang terpaku dalam diam. Dari sudut ruangan, ibu mereka yang sedari tadi mendengarkan di balik pintu dapur mulai terisak dalam sunyi.
Malam itu, bukan hanya cinta yang meretakkan segalanya—tapi juga darah yang harusnya tak bisa diputuskan.
.
Samudera seketika terbangun dari tidurnya, dia baru saja bermimpi tapi yang muncul di mimpinya adalah masa lalunya yang dulu. Jujur itu hal yang paling ia sesali, kalau ia tahu itu kemarahan terakhir kakaknya. ia tidak akan mementingkan hatinya.
"kau memang tidak secara langsung membunuh kakakmu Samudera. tapi kau lah pembunuhnya, Samudera duduk termenung di sofa ruang tengah rumah dinasnya itu. dia memang tadi tertidur di sofa tersebut.
...***...