Anatasya menyembunyikan identitasnya sebagai putri bungsu keluarga konglomerat dari suaminya. Ia membantu Adrian membuka perusahaan. Tapi siapa sangka ternyata Adrian tidak pernah mencintai Anatasya, dia bahkan jijik dengan bau amis yang melekat pada tubuh istrinya.
Suatu hari, Adrian menceraikan Anatasya dan mengungkapkan bahwa dia memiliki pacar, yaitu Clara, seorang wanita kaya dan cantik yang merupakan adik sepupu dari keluarga Santoso.
Anatasya merasa hancur dan terhina. Tasya akan membuat orang yang menyakiti nya membayar mahal dibantu oleh ketiga abangnya. Damian, Julian dan Rafael.
Ketiga Abangnya tidak akan membiarkan adik bungsu mereka terluka.
Bagaimana reaksi Adrian dan keluarga nya setelah mengetahui jika wanita yang selama ini mereka hina adalah putri konglomerat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Yuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 Langkah Pertama
Jamilah mulai merancang strategi. Pertama, memata-matai Anatasya. Mereka perlu tahu rutinitas Anatasya, kelemahannya, dan setiap celah yang bisa dimanfaatkan.
Jamilah meminta Winda untuk aktif di media sosial, mengikuti akun-akun gosip selebriti, dan mencari informasi sekecil apa pun tentang Anatasya dan Damian. Winda yang dulunya enggan bekerja, kini termotivasi oleh impian kembali ke lingkaran sosialita.
Kedua, membangkitkan kembali kenangan masa lalu. Jamilah menyarankan Adrian untuk "secara kebetulan" muncul di tempat-tempat yang dulunya punya makna bagi Adrian dan Anatasya.
Misalnya, restoran favorit mereka, taman tempat mereka sering berkencan, atau bahkan tempat favorite mereka.
Tujuannya adalah untuk membuat Anatasya mengingat kembali masa-masa bahagia bersama Adrian.
Ketiga, menyebarkan keraguan. Jamilah berpendapat bahwa Anatasya mungkin merasa terbebani oleh kekayaan keluarga Santoso atau terlalu terikat pada Damian. Ia menyarankan Adrian untuk menyiratkan bahwa hidup bersama Adrian akan lebih sederhana, lebih "nyata," dan bebas dari intrik dunia elit. Adrian harus tampil sebagai sosok yang "sudah berubah," yang menyesali kesalahannya di masa lalu, dan yang kini hanya ingin "kebahagiaan sederhana" bersama Anatasya.
"Dan yang paling penting, Adrian," Jamilah menambahkan, suaranya merendah penuh tipu daya.
"Kamu harus terlihat rapuh. Tunjukkan padanya betapa menderitanya kamu tanpa dia. Wanita itu mudah luluh dengan kesedihan, apalagi jika itu datang dari pria yang pernah ia cintai."
Adrian merenungkan rencana ibunya. Rasanya menjijikkan, namun keputusasaan dan godaan untuk kembali kaya begitu kuat. Ia melihat wajah Jamilah dan Winda yang penuh harap, seolah ia adalah satu-satunya juru selamat mereka. Beban itu terasa begitu berat.
Adrian memulai langkah pertamanya. Dengan bantuan Winda yang berhasil mendapatkan jadwal rutin Anatasya dari media sosial, ia mengetahui bahwa Anatasya sering mengunjungi sebuah galeri seni di pusat kota setiap hari selasa sore.
Galeri itu dulunya adalah salah satu tempat favorit mereka, di mana mereka sering menghabiskan waktu berjam-jam membahas seni dan impian mereka.
Dengan mengenakan pakaian yang rapi namun tidak terlalu mencolok, Adrian tiba di galeri seni tersebut.
Jantungnya berdebar kencang. Ia belum pernah melihat Anatasya dari dekat sejak perceraian mereka. Ia bertanya-tanya. Apakah ia akan berhasil menjalankan rencana ibunya?
Ia menunggu di dekat salah satu lukisan abstrak yang dulu sering mereka nikmati bersama. Tak lama kemudian, ia melihat sosok Anatasya memasuki galeri, ditemani oleh seorang asisten pribadi dan dua orang pengawal yang sigap.
Anatasya tampak semakin anggun dan dewasa, memancarkan aura kepercayaan diri yang kuat.
Kecantikannya memukau, membuat Adrian merasakan sengatan penyesalan yang lebih dalam. Ia dulu memiliki wanita ini, namun ia menyia-nyiakannya.
Adrian menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah mendekat. Ia harus tampak alami, seolah-olah pertemuannya adalah sebuah kebetulan murni.
"Anatasya?" ucap Adrian, suaranya sedikit bergetar.
Anatasya menoleh, matanya melebar sedikit saat melihat Adrian. Raut wajahnya tak terbaca, campuran antara terkejut dan sedikit waspada. Para pengawal segera mengambil posisi siaga.
"Adrian?" jawab Anatasya, nadanya datar.
"Aku... aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu di sini," kata Adrian, berusaha menampilkan ekspresi terkejut yang meyakinkan.
"Aku sering datang ke sini. Tempat ini selalu memberiku ketenangan." Ia melirik ke arah lukisan di belakangnya, seolah ingin membangun jembatan kenangan.
Anatasya mengangguk tipis. "Aku juga. Tempat ini memang punya kenangan." Ada jeda singkat yang terasa canggung.
"Bagaimana kabarmu, Tasya?" Adrian memberanikan diri.
"Aku dengar tentang... semua yang terjadi. Aku turut prihatin." Ia merujuk pada kasus Clara dan Jerry, berharap Anatasya akan melihatnya sebagai tanda kepedulian.
Anatasya menatapnya lurus. "Aku baik. Semua sudah selesai."
Tatapan mata Anatasya begitu dingin, tidak ada kehangatan seperti dulu. Adrian merasa sedikit ciut.
"Aku... aku hanya ingin tahu," Adrian melanjutkan, mencoba menyentuh sisi emosional Anatasya.
"Apakah kamu baik-baik saja? Aku sering memikirkanmu."
Anatasya tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya.
"Aku sangat baik, Adrian. Bahkan lebih baik dari sebelumnya. Terima kasih atas perhatianmu." Ia melirik jam tangannya.
"Aku harus pergi. Ada pertemuan penting."
Sebelum Adrian sempat mengatakan apa pun lagi, Anatasya berbalik dan melangkah pergi, diikuti oleh asisten dan pengawalnya.
Adrian berdiri terpaku, merasa seperti patung.
Pertemuan "kebetulan" itu tidak berjalan sesuai rencana Jamilah.
Anatasya tampak begitu kuat, begitu tegar, dan tidak menunjukkan sedikit pun tanda-tanda kerentanan.
Justru ia yang merasa rapuh, dihantam oleh kenyataan bahwa Anatasya telah benar-benar melupakannya.
Malam itu, Anatasya menceritakan pertemuannya dengan Adrian kepada Damian. Damian mendengarkan dengan saksama, rahangnya mengeras. Ia tahu ini bukan kebetulan semata. Ia telah mengantisipasi bahwa keluarga Adrian akan mencoba mendekati Anatasya, terutama setelah kejatuhan mereka.
"Dia mencoba membangkitkan kenangan, bukan?" tanya Damian, suaranya tenang namun penuh otoritas.
Anatasya mengangguk. "Ya. Dia bahkan menyebut-nyebut tempat ini memberinya ketenangan, sama seperti yang sering ia katakan dulu."
"Aku tidak suka ini, Tasya," kata Damian, menarik Anatasya ke dalam pelukannya.
"Aku tidak ingin ada yang mengganggumu lagi. Apalagi mereka."
"Aku tahu, Kak. Aku juga tidak nyaman," jawab Anatasya, menyandarkan kepalanya di dada Damian.
"Tapi aku tidak selemah dulu. Aku tidak akan mudah terpengaruh. Anatasya bukan lagi Anatasya yang dulu, yang lemah dan polos. Anatasya yang sekarang sudah berubah, apalagi kalian semua selalu menjadi garda terdepan." ucap Anatasya tersenyum.
Damian mencium puncak kepala Anatasya. "Aku percaya padamu. Tapi kita harus tetap waspada. Ayah juga sudah tahu tentang situasi mereka, dan ia setuju kita tidak boleh lengah."
"Eheemmm," tiba-tiba Rafael berdehem, suaranya sengaja dibuat keras. "Nggak bisa apa romantisan di belakang yang jomblo?"
Anatasya dan Damian serentak menoleh, mendapati Rafael berdiri di ambang pintu ruang keluarga, senyum jahil terukir di wajahnya. Damian hanya mendengus geli, sementara Anatasya merona tipis.
"Sejak kapan kamu di situ, Fael?" tanya Damian, melepaskan pelukannya dari Anatasya dan menyandarkan punggungnya ke sofa.
Rafael melangkah masuk, menjatuhkan diri di sofa tunggal di seberang mereka. "Cukup lama untuk dengar sedikit tentang 'mantan' yang nggak bisa move on itu," jawabnya santai, melirik Anatasya. "Jadi, Adrian lagi? Astaga, kok bisa dia seberani itu ya?"
Anatasya menghela napas. "Dia coba mendekat di galeri seni. Persis seperti yang kita duga."
"Dan tentu saja, Anatasya yang sekarang tidak selemah dulu, kan?" Rafael mengangkat alisnya, seolah menggoda.
"Dia pasti sudah tahu bahwa itu hanya modus basi."
Anatasya tersenyum tipis.
"Tentu saja. Aku bahkan tidak memberinya kesempatan untuk bicara banyak. Aku bilang aku baik-baik saja dan ada pertemuan penting."
Damian tersenyum bangga, meraih tangan Anatasya dan menggenggamnya erat.
"Dia bahkan tidak gentar sedikit pun. Justru Adrian yang terlihat seperti dihantam kenyataan."
Rafael tertawa. "Bagus! Memang harus begitu. Dia perlu tahu kalau waktu sudah berubah. Lagipula, dia itu pengecut. Mengapa sekarang baru berani muncul setelah semua yang terjadi? Setelah dia kehilangan segalanya?"
"Itu karena ia tidak punya pilihan lain, Fael," Damian menjelaskan, rahangnya mengeras.
"Mereka sudah jatuh miskin. Jamilah dan Winda pasti otaknya sudah putus asa mencari cara untuk kembali ke atas. Dan mereka tahu, satu-satunya jalan pintas adalah Anatasya."
"Jadi, ini semacam 'operasi penyelamatan finansial' dari keluarga mereka?" Rafael menggelengkan kepala.
"Jijik sekali."
"Lebih dari itu," Anatasya menambahkan, nada suaranya berubah serius.
"Jamilah pasti merancang strategi. Winda memata-matai aku, mencari informasi. Adrian disuruh muncul di tempat-tempat yang punya kenangan."
Rafael mengerutkan kening. "Memata-matai? Sampai segitunya? Lalu apa yang akan kalian lakukan?"
"Ayah sudah tahu, dan tim keamanan juga sudah bergerak," kata Damian. "Mereka akan meningkatkan pengawasan terhadap Anatasya. Setiap gerakan Adrian, Jamilah, dan Winda akan dilacak."
"Baguslah," Rafael mengangguk setuju.
"Kalian tidak bisa lengah. Orang seperti mereka itu berbahaya saat terdesak. Mereka bisa melakukan apa saja." Ia berhenti sejenak, menatap Anatasya dengan ekspresi prihatin yang lebih dalam.
"Kamu baik-baik saja, Tasya? Maksudku, meski kamu bilang tidak terpengaruh, terkadang kenangan lama bisa jadi beban juga."
Anatasya menatap Damian sejenak, lalu kembali menatap Rafael.
"Aku sangat baik, Fael. Mungkin ada sedikit rasa aneh, tapi bukan kesedihan atau kerinduan. Lebih ke... geli. Geli karena mereka berpikir aku semudah itu dipengaruhi lagi. Aku sudah melewati masa itu. Aku sudah belajar banyak."
"Syukurlah," Rafael menghela napas lega.
"Aku hanya tidak ingin kamu terluka lagi. Dulu, saat Adrian menghancurkan hatimu, aku hampir saja ingin menghajarnya."
Damian tertawa kecil. "Untungnya kau tidak melakukannya, atau ayah akan marah besar."
"Aku serius!" Rafael membela diri. "Lihat saja sekarang, ia bahkan terlihat seperti pengemis yang butuh belas kasihan. Sangat memalukan."
"Dia mencoba menunjukkan diri sebagai sosok yang rapuh, menderita tanpaku," Anatasya memberitahu, meniru ucapan Adrian. "Jamilah pasti menyuruhnya seperti itu. Menggunakan kesedihan sebagai senjata."
Rafael mencibir. "Taktik murahan. Tapi benar juga, wanita memang mudah luluh dengan kesedihan, terutama dari pria yang pernah dicintai... Untungnya bukan Anatasya-ku yang dulu." Ia menekankan kata 'Anatasya-ku' dan Damian menatapnya tajam.
"Hentikan leluconmu, Rafael," Damian memperingatkan, setengah bercanda.
"Apa? Hanya bercanda, bro," Rafael mengangkat kedua tangannya, menyerah.
"Tapi serius, ini jelas sebuah rencana terstruktur. Jangan biarkan mereka mendekat. Mereka bisa sangat licik."
"Kita tahu itu," Damian mengangguk. "Itu sebabnya kami tidak akan memberikan celah sedikit pun. Ayah sudah memberikan perintah yang jelas: Anatasya tidak boleh pernah sendirian, dan setiap gerakan mereka harus dipantau."
"Maka biarkan mereka membuang-buang waktu dan tenaga," Rafael menyeringai.
"Pada akhirnya, mereka akan tahu bahwa Anatasya dan kamu itu tak terpisahkan. Dan mereka tidak akan bisa mengganggu kebahagiaan kalian."
Anatasya merasakan kehangatan menjalar di hatinya mendengar ucapan Rafael.
Meskipun sering bercanda, ia tahu Rafael sangat peduli padanya dan Damian.
***
Pagi berikutnya, Damian segera menghubungi tim keamanannya. Ia meminta mereka untuk meningkatkan pengawasan terhadap Anatasya, terutama saat Anatasya berada di luar rumah. Ia juga meminta tim untuk melacak setiap gerakan Adrian, Jamilah, dan Winda.
Damian tidak ingin mengambil risiko sekecil apa pun. Ia telah bersumpah untuk melindungi Anatasya, dan ia akan menepatinya.
Setelah mendengar laporan dari Damian, Gerald merasa sangat prihatin. Orang di masa lalu putrinya pasti akan demi uang.
"Damian, pastikan Anatasya tidak pernah sendirian," pesan Gerald melalui telepon.
"Jangan sampai mereka mendekat sedikit pun. Kita tidak tahu apa yang mereka rencanakan."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...