Seuntai Impian Seruni

“Siapa Caraka?” Wisely menginterogasi. Tatapan menikam, menunggu jawaban.

“Calon suami Kak Anga, Aa. Bukan siapa-siapa.”

Menyentak lengan Seruni, pria muda berstatus duda itu tak terima. Dia mendengar jelas ucapan calon ibu mertuanya yang meminta gadis itu menggantikan Kenanga. Bahkan, kisah cinta keduanya sempat disentil walau hanya sebatas beberapa potong kalimat.

Mencengkeram lembut pergelangan Seruni, Wisely membawa gadis itu menyingkir. Dia perlu mencari tahu apa yang terjadi di masa lalu calon istrinya sebelum membawa gadis itu melangkah masuk ke dalam kehidupannya.

“Caraka siapa?” Ada nada cemburu dalam penekanan kata.

“Dia … dia calon suami Kak Anga, Aa.”

Bola mata Wisely bergulir, menyiratkan kalau pria itu tak percaya dengan jawaban yang dilontarkan.

“Hanya itu? Aku mendengar sendiri, Ni.”

Tertunduk, gadis berkebaya merah muda itu gugup. Tangan saling meremas, canggung dan bingung tengah bergulung di dalam hatinya. Perkenalan begitu singkat, perjodohan pun direncanakan dalam keadaan darurat. Dia dan Kenangan bertukar pasangan karena keadaan di luar akal sehat. Sang kakak hamil dan harus menikah secepatnya dengan pria yang pernah merangkai mimpi dengannya.

Sakit itu belum sembuh benar, luka masih setengah menganga. Dia kembali harus menerima takdir untuk bertukar jodoh dengan Wisely. Pria dari kota yang katanya seorang duda dan putra pengusaha ternama. Apa yang bisa dilakukan selain menerima suratan yang telah digariskan untuknya.

“Dia hanya teman baikku, Aa.” Seruni melontarkan dusta. Demi apa? Dia hanya tak ingin masalah berlarut-larut dan membuat masalah baru di tengah pernikahan Kenanga.

“Hanya teman?”

Seruni mengangguk dan buru-buru tertunduk.

“Bukan kekasih?”

Pandangan terangkat, sesaat beradu dalam temu. “Ya, Aa.”

Suara gerimis menerpa atap rumah terdengar memecah keheningan. Deru angin bercampur rinai mengiringi kesedihan keluarga Sandi. Pernikahan yang harusnya berlangsung bahagia, kini berantakan. Pengantin wanita menghilang dari kamar dan menyisakan panik semua anggota keluarga,

Lasmi meratap dalam tangis. Sandi berjalan mondar mandir membayangkan harga dirinya yang tersisa harus hancur di tangan Kenanga. Bagaimana dia harus menghadapi keluarga Caraka yang mungkin sedang menunggu pengantin wanitanya.

Awan mendung bergelayut, terbang rendah berkabut. Di tengah kepanikan, suara deru mobil tampak memecah rintik hujan. Dari ruang tamu keluarga, terlihat sedang berhias bunga dan pita basah kuyup.

“Pak, Aa datang. Bagaimana?” Seruni yang melihat lebih dulu tampak termanggu menatap ke luar rumah.

“Mobil pengantin sudah datang. Bagaimana ini?” Tubuh Lasmi melorot di lantai. Otaknya mendadak buntu.

Sandi kebingungan, kakinya terpaku di tengah ruangan. Bibir komat kamit, mata terpejam. Segala doa disematkan dalam kepanikan.

Hanya Wisely yang terlihat biasa. Pria itu tak terlalu peduli dengan masalah di keluarga Seruni. Datang mewakili keluarganya, dia bahkan tak kenal dekat. Kalau bukan wacana perjodohan, masa bodoh dengan apa yang terjadi.

“Pak, Aa Raka datang. Bagaimana ini?” Wajah Seruni berubah pucat pasi ketika mendapati pemuda tampan berlari turun dari sedan hitam sembari menutupi kepala dengan buket bunga.

“Tuhan.” Lasmi meraung. Masih duduk di lantai, wanita tua itu tak bisa berbuat banyak. Suara tangisnya terdengar memuakkan, kedua kaki terjulur ke depan. Kembang goyang yang tersemat di pucuk kepala tampak berayun. “Bagaimana ini, Pak?”

“Kamu bertanya?” Sandi menahan amarahnya. “Harusnya, aku yang bertanya padamu. Dia putrimu, mewarisi sifatmu,”

“Aku tidak tahu apa-apa, Pak. Kalau sampai begini, tentunya aku akan mengurung anak itu di kamar. Mana aku tahu dia akan kabur.” Lasmi tak terima.

Suara ketukan di pintu terdengar bersama sapaan Caraka yang sudah berdiri di teras rumah. Pemuda tampan dengan jas pengantin yang sudah setengah basah itu tersenyum semringah menatap Seruni yang cantik jelita.

“Ba … bagaimana ini, Pak?” Seruni menatap Sandi.

Bersamaan dengan itu, terdengar suara pintu kamar mandi terbuka. Sosok cantik berkebaya putih tampak melangkah keluar sembari menarik jarik batiknya agar tidak terkena basah.

“Anga?”

Sandi, Lasmi, dan Seruni berseru hamper bersamaan.

“Perutku sakit, mulas.” Kenanga menjawab santai. Melangkah keluar, tampang polosnya membuat semua orang di dalam rumah bernapas lega di tengah kepanikan.