Mati sebelum kematian, itulah yang dirasakan oleh Jeno Urias, pria usia 43 tahun yang sudah lelah dengan hidupnya. keinginannya hanya satu, mati secara normal dan menyatu dengan semesta.
Namun, Sang Pencipta tidak menghendakinya, jiwa Jeno Urias ditarik, dipindahkan ke dunia lain, Dunia Atherion, dunia yang hanya mengenal kekuatan sihir dan pedang. Dunia kekacauan yang menjadi ladang arogansi para dewa.
Kehadiran Jeno Urias untuk meledakkan kepala para dewa cahaya dan kegelapan. Namun, apakah Jeno Urias sebagai manusia biasa mampu melakukannya? Menentang kekuasaan dan kekuatan para dewa adalah hal yang MUSTAHIL bagi manusia seperti Jeno.
Tapi, Sang Pencipta menghendaki Jeno sebagai sosok legenda di masa depan. Ia mendapatkan berkah sistem yang tidak dimiliki oleh siapa pun.
Perjalanan panjang Jeno pun dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ex_yu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16. Orang-orang Dari Kerajaan Greaves.
Bab 16. Orang-orang Dari Kerajaan Greaves.
"Arbelista sudah tumbang seperti pohon yang dimakan rayap dari dalam. Reputasi Kerajaan Lumina goyah seperti istana yang dibangun di atas pasir. Ini waktu yang sempurna untuk menanam keraguan pada pemerintahan kota, membuat mereka meragukan setiap keputusan, setiap langkah, setiap napas yang mereka ambil."
Pria berjubah hitam itu menoleh kepada dua bawahannya, mereka adalah makhluk-makhluk yang telah lama meninggalkan kemanusiaannya dalam pencarian kekuatan yang terlarang.
"Kalian," ucapnya dengan nada yang membuat udara di sekitar mereka membeku, "habisi Arbelista. Pastikan semua mengira itu sabotase dari dalam. Buat seolah-olah Kerajaan Lumina sendiri yang mengkhianati kesatria mereka. Biarkan keraguan meracuni hati rakyatnya seperti racun yang perlahan namun pasti."
Kepada seorang wanita bertudung, wanita yang keindahannya telah lama terkontaminasi oleh kejahatan yang ia lakukan, sang pemimpin memberikan perintah khusus dengan senyum yang akan membuat malaikat maut bergidik.
"Kau..." suaranya berubah menjadi bisikan yang lebih mirip rayuan iblis, "dekati Jeno Urias. Gunakan semua yang kau miliki, kecantikanmu, pesona, kebohongan, kebenaran, apapun yang diperlukan. Rayu, pikat, dan rekrut. Jika dia mau bergabung dengan Kerajaan Greaves, keseimbangan kekuatan di seluruh Atherion akan berubah.
Setelah mendapatkan perintah dan pengarahan yang akan mengubah takdir banyak orang, ketiganya pun menghilang dalam kerumunan seperti asap yang tersapu angin malam, meninggalkan hanya aroma belerang yang samar dan rasa dingin yang menusuk tulang.
Tidak jauh dari tempat orang-orang Kerajaan Greaves menghilang, Rinka dan timnya menghela napas berat yang terdengar seperti desis kekecewaan. Mereka berharap Jeno Urias mau bergabung dengan timnya, tetapi situasi yang berkembang membuatnya mustahil untuk dilaksanakan. Dengan langkah yang berat dan hati yang penuh penyesalan, mereka pun kembali ke rumah mereka sambil membicarakan kehebatan Jeno dengan nada yang campuran antara kagum dan takut.
------
Dalam perjalanan menuju Balai Kota, melewati rumah-rumah penduduk yang jendela-jendelanya menyala hangat dan pertokoan yang mulai tutup saat malam hari.
Amelia Silverleaf berjalan di sebelah kiri Jeno dengan gaya yang mencoba mempertahankan martabat, meskipun wajahnya merah padam seperti matahari terbenam. Ia menatap lurus ke depan dengan mata yang berkilat marah, tetapi bibirnya terus menggerutu seperti mantra kutukan yang diucapkan berulang-ulang.
"Aku ini bangsawan Kerajaan Lumina... Penyihir Agung!" ucapnya dengan suara yang bergetar antara kemarahan dan ketidakpercayaan. "Darahku mengalir dari keluarga bangsawan yang telah melayani kerajaan selama berabad-abad! Mana mungkin aku... AKU... menjadi pelayan seorang... seorang..." ia berhenti sejenak, mencari kata yang tepat, "entah apa yang terjadi! Ini penghinaan yang tidak bisa kuterima!"
Wali kota Rai Recaldo dan Justus terdiam, berusaha menahan tawa yang nyaris pecah seperti bendungan yang akan jebol. Mereka berdua telah cukup lama hidup untuk tahu bahwa beberapa situasi terlalu absurd untuk direspons dengan serius.
Tetapi tidak demikian dengan Jeno. Ia menoleh pelan dengan gerakan yang begitu santai sehingga terlihat seperti predator yang sedang menilai mangsanya. Tatapan matanya yang telah melihat terlalu banyak hal yang tidak seharusnya dilihat oleh mahkluk di Atherion, kini penuh dengan sesuatu yang lebih gelap.
"Pelayan?" ucapnya dengan nada yang terdengar seperti tawa yang tertekan. "Aku memang ingin kau menjadi pelayanku. Tapi aku bahkan tidak punya uang untuk membayar pelayan, apalagi yang tidak tahu diri sepertimu... miskin. Saat ini aku sangat lapar, dan perut kosong membuat seseorang tidak punya kesabaran untuk mendengarkan ocehan bangsawan yang merasa terlalu penting. Dan lebih dari itu... Um... aku tidak tertarik punya pelayan yang tidak tahu malu dan tidak tahu tempatnya."
Kalimat itu menghantam harga diri Amelia lebih keras daripada seribu pukulan fisik. Setiap kata yang diucapkan Jeno seperti pisau yang diasah dengan sangat tajam, memotong setiap lapisan keangkuhan yang telah ia bangun selama bertahun-tahun.
"Apa yang kau katakan!?" teriaknya dengan suara yang pecah seperti kaca yang jatuh ke lantai batu. Dengan gerakan yang dipenuhi emosi, ia langsung mengangkat tongkat sihirnya yang masih bergetar dengan sisa-sisa kekuatan magis. "Berani-beraninya bicara begitu pada—"
Namun sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, sebelum ia sempat mengumpulkan energi magis untuk serangan balasan...
SRAT!
Dalam satu gerakan yang begitu cepat dan halus sehingga hampir tidak terlihat oleh mata manusia biasa, Jeno menyentil ujung tongkat sihirnya. Hanya sentilan kecil, gerakan yang terlihat seperti seseorang yang menyentil debu dari pakaian, namun dampaknya jauh melampaui yang bisa dibayangkan.
Amelia mundur tiga langkah dengan wajah yang memucat seperti mayat yang baru bangkit. Rasa sakit yang menusuk pergelangan tangannya membuat ia hampir menjatuhkan tongkatnya yang telah menjadi perpanjangan jiwanya selama bertahun-tahun.
"Kalo kau mau mengeluarkan sihir lagi padaku di luar arena," ucap Jeno dengan nada yang begitu tenang sehingga terdengar lebih mengerikan daripada teriakan marah, "aku akan menganggap itu sebagai deklarasi perang. Dan aku ingin kau tahu... aku bukan tipe orang yang suka berperang untuk kesenangan." Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap ke dalam otak Amelia. "Aku suka melakukan dengan cara halus... tapi merusak."
Kata terakhir diucapkan dengan intensitas yang membuat udara di sekitar mereka terasa mencekik. Amelia membeku total, seolah seluruh tubuhnya berubah menjadi es. Matanya bergetar dengan ketakutan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, ketakutan yang berasal dari suatu tempat yang jauh lebih dalam daripada kekhawatiran akan rasa sakit fisik.
Justus terbatuk-batuk menahan tawa yang berusaha keluar, sementara wajahnya memerah karena usaha menahan kegembiraan yang tidak pantas untuk situasi ini.
Wali kota Rai Recaldo hanya mengangguk dengan ekspresi yang penuh pemahaman. Dalam hatinya, ia tahu dengan kepastian yang absolut, pemuda ini bukan orang biasa. Tetapi pertanyaan yang kini memenuhi pikirannya bukan lagi siapa Jeno Urias sebenarnya.
Pertanyaan yang membayangi setiap langkah mereka menuju Balai Kota adalah: siapa yang akan lebih dulu berusaha merekrut, mengendalikan... jika semua cara lain gagal... membunuhnya?
Untuk mencairkan ketegangan yang mulai terasa seperti tali yang akan putus, Rai Recaldo berdehem pelan dan berkata dengan nada yang berusaha ringan. "Aku telah menyiapkan hidangan istimewa untuk menyambut kedatangan kalian berdua. Kota kecil kami mungkin tidak memiliki kemewahan seperti di istana, tetapi kami memiliki chef terbaik di tiga kerajaan."
Mata Jeno langsung berbinar dengan cara yang belum pernah dilihat Amelia sebelumnya. Untuk pertama kalinya malam ini, ekspresi yang muncul di wajahnya adalah minat yang besar, bukan kalkulasi atau ancaman.
"Apa..." ucapnya dengan nada yang hampir seperti anak kecil yang minta izin, "apa aku boleh makan sepuasnya? Aku benar-benar lapar, dan terakhir kali tadi siang, aku ingin makan makanan yang benar-benar enak."
Pertanyaan yang begitu polos itu membuat Rai Recaldo tersenyum dengan ketulusan yang jarang ia tunjukkan. Mungkin, pikir pria bijak itu, di balik semua kekuatan dan misteri yang menyelimuti pemuda ini, ia masih memiliki hati yang manusiawi.
Situ Sehat ??!