Pada malam pernikahannya, Hwa-young seharusnya meminum racun yang memulai kehancurannya. Namun, takdir memberinya kesempatan kedua. Ia kembali ke malam yang sama, dengan ingatan penuh akan pengkhianatan dan eksekusinya. Kini, setiap senyum adalah siasat dan setiap kata adalah senjata. Ia tidak akan lagi menjadi pion yang pasrah. Menghadapi ibu mertua yang kejam dan suami yang penuh curiga, Hwa-young harus mengobarkan perang dari balik bayang-bayang untuk merebut kembali takdirnya dan menghancurkan mereka yang telah menghancurkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilla Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jembatan Tua Sungai Biru
Hwa-young membanting pintu rahasia itu hingga tertutup, membenamkan dirinya dalam kegelapan yang berbau lumut dan tanah basah. Suara derit engsel tua ditelan oleh detak jantungnya sendiri yang memalu di telinga. Di luar, teriakan para pengawal terdengar panik, kebingungan mereka menjadi selimut pelindungnya. Gubernur Selatan kabur! Pengalihan Yi Seon berhasil. Tapi itu hanya membeli waktu, bukan kemenangan.
Ia berlari menyusuri lorong sempit itu, napasnya pendek dan membakar paru-parunya. Jubah hitamnya yang berat terasa seperti pemberat yang ingin menariknya kembali ke neraka yang baru saja ia tinggalkan. Istana Utama bukan lagi rumah. Itu adalah kandang singa, dan Matriarch Kang baru saja mengasah cakarnya. Ia harus sampai ke Sora. Sekarang.
Tiga jam sebelum fajar, di gudang tersembunyi Chungmae yang pengap, Hwa-young merobek jubahnya dan melemparkannya ke lantai yang berdebu.
Sora sudah di sana, wajahnya pucat pasi di bawah cahaya lentera yang berkedip-kedip. Di sudut, Mae-ri yang setia mengasah belati dengan gerakan gugup.
“Yang Mulia!” Sora bergegas maju, matanya menelusuri setiap inci tubuh Hwa-young, mencari luka. “Kekacauan di istana ... kami pikir…”
“Aku lolos,” potong Hwa-young, serak. Ia menelan ludah, mencoba membasahi tenggorokannya yang kering. “Tapi ini baru permulaan. Matriarch Kang akan menggelar pengadilan besok pagi. Tuduhannya sihir dan korupsi. Itu jebakan, Sora. Jebakan untuk mengeksekusiku secara sah.”
Sora terkesiap, tangannya menutup mulut.
“Itu bahkan bukan bagian terburuknya,” lanjut Hwa-young, berjalan mondar-mandir seperti binatang yang terkurung. “Garam. Dia menyita semua stok garam di ibukota. Dia akan menciptakan kelaparan buatan, dan menyalahkan Chungmae atas ketidakmampuan kita.”
Wajah Sora memutih. “Garam ... Ya Tuhan. Itu senjata pamungkas. Rakyat akan berbalik melawan kita dalam hitungan hari. Mereka akan memohon pada Matriarch Kang untuk menyelamatkan mereka.”
“Tepat. Dia tidak hanya ingin membunuhku, dia ingin menghancurkan reputasi Chungmae selamanya,” Hwa-young berhenti dan menatap Sora, matanya berkilat liar. “Kita tidak bisa melawan di pasar garam. Kita sudah kalah di sana. Kita harus memukulnya di tempat yang tidak ia duga. Memutus arteri keuangannya. Analisis rantai pasokan yang kuminta, sudah selesai?”
Tanpa sepatah kata pun, Sora membentangkan sebuah gulungan peta besar di atas peti kayu. Garis-garis berwarna merah, biru, dan hijau saling bersilangan seperti jaring laba-laba yang rumit. Ini adalah peta perang ekonomi mereka.
“Tiga komoditas utama Kang sutra, bijih besi, dan teh,” lapor Sora, jarinya menelusuri garis biru yang berkelok. “Sutra ungu dari timur. Sangat menguntungkan. Semua pengiriman melewati Kanal Musim Semi dan menyatu di satu titik Bendungan Musim Semi. Jika kita menghancurkannya, pasokan sutranya lumpuh.”
“Risiko?” tanya Hwa-young, singkat.
“Tindakan perang,” jawab Sora, nadanya datar. “Bendungan itu dijaga unit militer. Meledakkannya sama dengan memberontak. Kang akan punya alasan untuk mengirim seluruh pasukannya untuk memburu kita.”
Hwa-young menggeleng. “Terlalu gegabah. Kita belum siap untuk perang terbuka.” Matanya beralih ke jalur merah pekat yang membentang dari utara. “Bijih besi.”
“Tulang punggung kekuasaannya,” konfirmasi Sora. “Semua tambang di utara miliknya. Pengiriman dilakukan lewat darat untuk menghindari pajak. Mereka tidak melewati jembatan utama ibukota.” Jarinya berhenti di sebuah titik terpencil di atas sungai. “Mereka menggunakan satu rute tunggal Jembatan Tua Sungai Biru.”
“Satu jembatan?” Hwa-young mencondongkan tubuh, matanya menyipit. Kelemahan. Ia bisa menciumnya.
“Satu jembatan,” ulang Sora. “Tapi dijaga sangat ketat. Patroli berputar setiap lima belas menit. Mustahil untuk mendekat tanpa terdeteksi.”
Hwa-young tidak menjawab, pikirannya berpacu. Matanya terus menatap titik kecil di peta itu, seolah mencoba membakarnya dengan tatapannya.
“Teh mewah hanya untuk kalangan bangsawan,” lanjut Sora, menunjuk garis hijau putus-putus. “Rutenya sangat rahasia, lewat kurir pribadi di pegunungan. Menyerangnya butuh waktu berbulan-bulan untuk menyusup.”
Hwa-young mengabaikan teh. Pikirannya terpaku pada jembatan itu. Bijih besi adalah fondasi kekuasaan militer Kang. Tanpa besi, tidak ada pedang baru, tidak ada baju zirah, tidak ada gerbang yang diperkuat. Tapi menyerang jembatan yang dijaga ketat adalah misi bunuh diri.
“Semua rutenya sangat efisien, sangat terlindungi,” gumam Hwa-young frustrasi.
“Tidak juga,” kata Sora pelan. Jarinya kembali ke Jembatan Tua Sungai Biru. Lalu, dengan gerakan lambat, ia menggesernya sedikit ke bawah, ke tepian sungai yang digambar samar. “Lihat ini, Yang Mulia. Jembatan ini untuk bijih besi. Tapi tepat di bawahnya ... ada dermaga liar. Satu-satunya titik di mana perahu-perahu kecil dari selatan yang membawa gandum dan sisa-sisa garam non-pemerintah bisa berlabuh tanpa pengawasan.”
Hening sejenak. Hwa-young menatap titik itu, lalu ke wajah Sora. Pemahaman itu datang seperti sambaran petir.
“Dia tidak hanya menjaga bijih besi di atas jembatan,” bisik Hwa-young. “Dia mengontrol gandum dan garam di bawahnya.”
“Satu titik,” kata Sora, nadanya serius. “Jembatan Tua Sungai Biru bukan hanya kelemahan rantai pasokan bijih besinya. Itu adalah katup utama bagi setengah logistik ibukota. Jika titik ini lumpuh…”
“…kita tidak hanya menghentikan pasokan senjatanya,” Hwa-young menyelesaikan kalimat itu, adrenalin dingin menjalari pembuluh darahnya. “Kita memotong pasokan makanan dan garam ilegal yang membuat rakyat bertahan. Kita melumpuhkan ibukota.”
“Risikonya?” tanya Hwa-young lagi, meskipun ia sudah tahu jawabannya.
“Kematian,” balas Sora, tanpa ragu. “Jika kita menyerang titik ini, Kang akan tahu kita tidak lagi bermain perang dagang. Ini deklarasi perang total. Dia tidak akan mengirim patroli. Dia akan mengirim seluruh legiun.”
Hwa-young menegakkan tubuhnya. Pilihan sudah tidak ada lagi. “Besok pagi aku akan diadili. Kang sudah memegang leher kita dengan garam. Kita harus menyerang, malam ini juga.”
“Malam ini? Mustahil!” protes Sora. “Kita tidak punya pasukan, tidak punya waktu!”
Senyum dingin dan menakutkan tersungging di bibir Hwa-young. “Siapa bilang kita butuh pasukan?”
Ia mengetuk peta dengan jarinya. “Jembatan Tua Sungai Biru. Aku ingat dari buku catatan Ibunda Ratu. Jembatan itu pernah runtuh karena badai puluhan tahun yang lalu. Butuh enam bulan untuk memperbaikinya.”
“Anda ingin menghancurkannya?”
“Tidak,” balas Hwa-young, matanya berkilat licik. “Aku ingin membuatnya tidak bisa diperbaiki. Sora, dengarkan baik-baik. Ambil semua uang tunai yang dimiliki Chungmae. Setiap keping perak.”
“Untuk apa?”
“Kita akan membeli monopoli. Bukan garam, bukan sutra. Kita akan membeli setiap potong kayu gelondongan, setiap batang besi, dan menyewa setiap tukang kayu ahli di seluruh distrik utara. Saat jembatan itu runtuh, Matriarch Kang akan menemukan bahwa tidak ada satu pun bahan atau orang yang bisa ia gunakan untuk memperbaikinya.”
Mata Sora melebar karena takjub, lalu berubah menjadi semangat. “Menciptakan kelangkaan bahan baku perbaikan ... Itu ... brilian! Dia akan terjebak dengan jembatan yang hancur, dan pasokan bijih besi, gandum, serta garamnya akan membusuk.”
“Tapi kita butuh pengalih perhatian besar,” kata Hwa-young. “Kang pasti sudah menduga kita akan menyerang rute bijih besi atau sutra. Dia akan memperketat penjagaan di utara dan timur.”
“Lalu?”
“Kita buat dia berpikir kita menyerang dari selatan,” Hwa-young mencondongkan tubuhnya. “Sebarkan rumor. Rumor yang sangat spesifik. Katakan bahwa Chungmae berhasil menyelundupkan garam laut murah dari provinsi selatan. Sebarkan ke setiap pedagang kecil. Buat mereka panik. Buat Matriarch Kang memindahkan semua pasukannya ke selatan untuk memburu kapal hantu yang tidak pernah ada.”
Sora mengangguk cepat, semangatnya membara. “Itu akan memberi kita waktu. Tapi ... monopoli bahan baku di utara butuh dana yang sangat besar. Uang kas kita tidak akan cukup.”
Hwa-young berpikir sejenak. Tanpa ragu, ia mengeluarkan kunci kuno berukir bunga plum dari balik jubahnya. Kunci peninggalan ibunya.
“Ini kunci brankas pribadi Ibunda Ratu di Istana Timur. Di dalamnya ada perhiasan yang tidak terdata,” katanya, menyerahkan kunci itu pada Sora. “Ambil semuanya. Jual. Jangan sisakan apa pun.”
Sora menatap kunci itu dengan gemetar. “Tapi Istana Timur…”
“Aku akan menghubungi Yi Seon. Aku akan bilang aku butuh perhiasan itu untuk ‘menyuap hakim’ di persidanganku besok. Dia tidak akan bertanya lebih jauh,” Hwa-young meyakinkan. “Sora, kau harus bergerak sekarang. Jika Kang menyadari apa yang kita lakukan sebelum kita menguasai pasar bahan baku, kita habis.”
“Saya mengerti risikonya, Yang Mulia,” kata Sora, menggenggam kunci itu erat-erat.
“Pastikan pembelian dilakukan oleh sepuluh kurir berbeda secara serentak. Jangan tinggalkan jejak,” perintah Hwa-young.
Saat Sora hendak pergi, Hwa-young menahan lengannya. “Sora, ini bukan lagi tentang bisnis. Ini tentang bertahan hidup.”
Sora mengangguk, matanya berkaca-kaca, sebelum menghilang ke dalam kegelapan malam.
Hwa-young kembali menatap peta. Rumor garam laut adalah pengalih perhatian yang bagus, tapi tidak akan bertahan lama. Ia butuh sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang akan memaksa tangan Yi Seon. Sesuatu yang tak bisa ditarik kembali.
Ia memanggil Mae-ri. “Siapkan jubah lain. Kita kembali ke Istana Timur.”
*
Dua jam kemudian, Hwa-young berdiri di hadapan Yi Seon di ruang kerjanya yang remang-remang. Jenderal Kim berdiri kaku di sudut ruangan.
“Kau berhasil,” desis Yi Seon, lega.
“Untuk sekarang,” balas Hwa-young. “Kang sudah menyita garam. Waktu kita hampir habis.” Ia menatap Yi Seon lurus-lurus. “Aku butuh kau memercayaiku. Sepenuhnya.”
“Apa rencanamu?”
“Aku sudah mengirim Sora untuk memulai perang ekonomi. Tapi kita butuh serangan militer.” Hwa-young mencondongkan tubuhnya. “Aku butuh kau mengirim pasukan ke Jembatan Tua Sungai Biru.”
“Untuk melindunginya?”
“Tidak,” kata Hwa-young, turun menjadi bisikan yang mematikan. “Untuk menghancurkannya. Malam ini juga.”
Yi Seon mundur selangkah, matanya terbelalak ngeri. “Hancurkan? Hwa-young, itu tindakan pengkhianatan! Itu akan melumpuhkan seluruh ibukota!”
“Itu akan melumpuhkan Kang!” balas Hwa-young, menajam. “Dia menggunakan kelangkaan untuk membunuh kita secara perlahan. Kita harus membalas dengan pukulan mematikan! Kita akan klaim ini sebagai kegagalan infrastruktur yang membahayakan keamanan nasional. Rakyat akan menyalahkannya, bukan kita!”
“Tapi dewan ... kaisar ... mereka akan menyebut ini pemberontakan!”
“Tidak jika kau yang memberi perintah,” Hwa-young menoleh ke Jenderal Kim. “Jenderal, dengan dalih latihan militer darurat. Bawa unit elite. Runtuhkan pilar penyangga utamanya. Ciptakan kerusakan yang butuh waktu berbulan-bulan untuk diperbaiki.”
Jenderal Kim menatap Yi Seon, menunggu perintah. Yi Seon tampak tersiksa, perang berkecamuk di wajahnya. Ini adalah garis yang jika ia lewati, ia tak akan pernah bisa kembali.
“Lakukan,” perintah Yi Seon akhirnya, serak.
Saat Jenderal Kim bergegas keluar, Yi Seon menatap Hwa-young, campuran antara kekaguman dan ketakutan di matanya. “Jika ini gagal, kita akan digantung di gerbang utama saat fajar.”
“Karena itu kita tidak boleh gagal,” balas Hwa-young.
Mereka menunggu dalam keheningan yang menyesakkan. Setiap detik terasa seperti satu jam. Tiba-tiba, teriakan terdengar dari koridor.
“Matriarch Kang datang! Dia tahu soal Gubernur Selatan!”
Pintu ruangan dibanting terbuka. Matriarch Kang masuk seperti badai, wajahnya memerah karena amarah. “Pangeran Mahkota! Beraninya kau bermain-main denganku!”
Tepat saat ia berbicara, sebuah suara gemuruh yang dalam terdengar dari kejauhan, mengguncang lantai di bawah kaki mereka.
DUUUUMMM!
Semua orang membeku. Suara itu berasal dari arah sungai.
Wajah Matriarch Kang menjadi pucat. Ia bergegas ke jendela. “Tidak ... tidak mungkin…” bisiknya ngeri. “Jembatan ... Jembatan Tua Sungai Biru ... runtuh!”
Ia berbalik, matanya yang menyala-nyala tertuju pada Hwa-young. “Kau,” desisnya. “Ini perbuatanmu!”
“Infrastruktur Anda yang sudah tua sepertinya gagal, Matriarch,” balas Hwa-young dengan ketenangan yang dibuat-buat.
Kang tertawa, tawa dingin yang mengerikan. “Kau pikir ini akan menghentikanku? Aku akan membangunnya kembali dalam seminggu!” Ia berteriak pada pengawalnya, “Kirim kurir ke utara! Beli semua kayu dan besi yang ada! Bayar dua kali lipat! Aku ingin perbaikan dimulai besok!”
Hwa-young tersenyum tipis. Terlambat, pikirnya.
Saat Matriarch Kang pergi dengan amarah, Yi Seon menoleh pada Hwa-young. “Kau benar-benar gila. Sekarang semua tergantung pada Sora.”
Tiba-tiba, pintu terbuka lagi. Jenderal Kim masuk, wajahnya lebih pucat dari mayat, seragamnya berdebu.
“Yang Mulia! Putri Mahkota!” napasnya terengah-engah.
“Ada apa, Jenderal? Misi berhasil, kan?” tanya Yi Seon.
“Berhasil, Yang Mulia. Jembatan itu hancur total.” Jenderal Kim menelan ludah, matanya dipenuhi kepanikan. “Tapi ... saat kami mundur, kami berpapasan dengan kurir Matriarch Kang yang baru kembali dari utara.”
“Lalu?” desak Hwa-young, firasat buruk mulai mencekiknya.
“Dia tidak kembali dengan tangan kosong,” kata Jenderal Kim, bergetar. “Dia membawa pesan untuk Matriarch. Pesan yang berhasil kami rebut.”
Jenderal Kim mengulurkan secarik kertas kecil. Yi Seon mengambilnya dan membacanya. Wajahnya kehilangan semua warna.
“Apa isinya?” tanya Hwa-young, jantungnya serasa berhenti berdetak.
Yi Seon menatapnya, matanya kosong. “Ini bukan pesan. Ini adalah tanda terima.”
“Tanda terima untuk apa?”
“Untuk seluruh pasokan kayu dan besi di distrik utara,” bisik Yi Seon. “Matriarch Kang tidak mengirim kurir setelah jembatan runtuh. Dia membelinya ... kemarin pagi.”
Hwa-young merasakan hawa dingin menjalari tulang punggungnya. Tidak mungkin.
“Dia tahu,” bisik Hwa-young ngeri. “Dia tahu kita akan mengincar jembatan itu. Dia selangkah di depan kita.”
“Lebih buruk lagi,” tambah Jenderal Kim. “Menurut pesan itu, semua bahan baku itu tidak disimpan di utara. Matriarch Kang sudah memindahkannya tadi malam ke sebuah gudang tua di dermaga selatan…”
Hwa-young tidak mendengar sisa kalimatnya. Pikirannya hanya bisa fokus pada satu hal. Rumor garam laut. Pengalih perhatian yang ia ciptakan. Ia telah mengirim semua pasukan Kang ke selatan. Dan ia juga telah mengirim Sora ke selatan, untuk menjual perhiasan di pasar gelap dermaga.
Ia tidak menciptakan pengalih perhatian. Ia telah menciptakan jebakan yang sempurna.
“Sora,” bisiknya, dunianya runtuh berkeping-keping. “Dia tidak hanya menjebakku. Dia menjebak Sora.”