Serafim Dan Zephyr menikah karena di jodohkan oleh kedua orang tuanya, dari awal Serafim tahu Calon suaminya sudah mempunyai pacar, dan di balik senyum mereka, tersembunyi rahasia yang bisa mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Blueberry Solenne, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 - Saat Segalanya Terungkap
Aku terkejut, karena aku pikir sedang datang bulan, tapi pembalutnya bersih, mungkin karena sisklusku kacau atau memang aku kelelahan akhir-akhir ini.
Keesokan harinya, saat akan berangkat kerja Zephyr sudah bangun terlebih dahulu.
“Pagi Fim, sapanya?” ia meneguk kopinya lalu menghampiriku.
Aku bersikap biasa, dan pamit, padahal lumayan kaget.
“Hai… aku berangkat dulu, aku banyak pekerjaan hari ini.
“Baiklah Fim, aku akan mengantarmu”
“Oh, tidak perlu, karena aku akan langsung datang ke kantor klien,” padahal itu hanya alasanku saja.
Zephyr memaksaku akan mengantar ke tempat tujuanku, tetapi aku terus menolaknya.
“Baiklah Phyr, aku harus berangkat, semoga harimu selalu menyenangkan!”
Aku langsung buru-buru turun dan mengeluarkan mobil dan garasi menuju kantorku, sambil mendengarkan musik.
Untunglah hari ini aku bisa melarikan diri darinya, entah sampai kapan aku harus menghindari pria itu.
Beberapa saat kemudian, aku tiba di kantor,
Ayah memanggilku ke ruangan, aku sempat panik, karena takut dia mengetahui rumah tanggaku sedang bermasalah.
“Fim, ayah sudah mengirim bonus untuk liburanmu di Montvale,” ujarnya sambil tersenyum.
“Serius, Yah?” tanyanya seolah tak percaya.
Ayahnya mengangguk.
Aku langsung mengeceknya di handphoneku.
“Ya tuhan, terimakasih ayah,” ujarnya sambil memeluk ayahnya.
Louis mengetuk pintu. “Kenapa kau terlihat bahagia sekali Fim?” tanyanya sambil merangkulku.
Aku langsung menunjukkan transferan dari Ayah.
“Kau kan sudah punya penghasilan sendiri dan biaya hidup dari suamimu, Fim, kau pasti menekan Ayah...?”
Aku menggeleng, dan Ayahku ikut menimpali.
“Tidak, itu Ayah sengaja memberikannya, karena Serafim sudah bekerja dengan baik,” ujarnya sambil tersenyum lalu duduk di kursi kerjanya.
Ayahku juga tahu akhir-akhir ini aku sering lembur dan suka mengambil alih pekerjaan kakakku, Karena Louis sering mondar mandir ke perusahaan cabang mereka.
Aku bahkan belum pernah menggunakan uang yang di berikan Zephyr satu sen pun, meskipun hubungan kami sempat membaik.
Obrolan kami pun harus berakhir, karena harus melanjutkan pekerjaan yang sudah menanti.
Sedikit demi sedikit pekerjaanku terselesaikan satu persatu.
Liam datang membawakan makan siang untukku karena aku sedang malas ke luar.
“Makanlah, jangan sampai kau sakit!”
Aku tersenyum, dan berterima kasih.
Sambil membuka kotak makan siangku, aku menahan kepergian Liam, dan memintanya untuk menemaniku.
Liam mengangguk lalu duduk di seberang sambil menatapku, menungguku berbicara.
“Katakan saja Fim, siapa tahu aku bisa memberimu solusi dan rumah tangga kalian bisa di perbaiki.”
“Tidak, Liam,” jawabku sambil menunduk dengan pikiran kacau.
“Liam, aku tidak bisa terus berpura-pura semuanya baik-baik saja.”
“Apa maksudmu?”
“Aku istrinya, Liam. Istri sahnya. Tapi dia masih menemuinya… dan itu cukup untuk menunjukkan kalau dia tidak benar-benar ingin menjalani pernikahan ini seperti yang pernah ia janjikan padaku.”
Aku menatap kotak makan di depanku, dan menyadari aku bahkan sudah berhenti merasa lapar. “Sebelum semuanya makin menyakitkan, aku ingin berakhir di sini.”
Liam memegang tanganku dengan hangat. “Kalau kau ingin mengakhiri semuanya, aku akan membantu. Tap, jika kau ingin tetap mencoba, aku juga tetap akan mendukungmu. Tapi jangan mengambil keputusan saat kau sedang tersakiti.”
Aku menunduk, jemariku masih dalam genggamannya.
“Terima kasih Liam. Tapi aku hanya ingin bebas sebelum aku jatuh terlalu dalam.”
Liam mengangguk, sambil memejamkan matanya senyumnya membuatku dadaku semakin hangat.
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan hati yang kalut. Semua keputusan, semua perasaan ini… terasa begitu berat.
Aku melepaskan genggaman tangan Liam dan berdiri perlahan, hendak mengambil air minum.
Tiba-tiba, perutku terasa nyeri hebat, kram menjalar hingga punggungku.
Aku menekuk tubuhku sejenak, menahan sakit, tapi rasanya semakin tak tertahankan.
Napasku tercekat, dan dunia di sekitarku mulai berputar.
...... ⚫⚫⚫... ...
(Zephyr)
Saat aku sedang rapat, ponselku bergetar. Sebuah panggilan masuk dari kantor polisi.
Suara di seberang terdengar datar, tapi kata-katanya membuat dadaku menegang. Mereka sudah menangkap pelaku yang menghilangkan nyawa ibuku.
Rahangku langsung mengeras, darah di kepalaku berdesir panas. Hanya membayangkan wajahnya saja sudah membuatku ingin menghancurkannya.
Tanpa pikir panjang, aku meninggalkan ruang rapat. Eldar, sopirku, bersama dua bodyguard menyusul di belakang, nyaris berlari mengejarku ke mobil.
Sesampainya di kantor polisi, napasku memburu. Dan tak kusangka, pria itu—Gery, mantan tukang kebun ibuku—berdiri di sana dengan tangan diborgol. Usianya sekitar empat puluh satu tahun, wajahnya masih sama seperti dulu, tapi matanya penuh kebencian.
Aku hampir menghajarnya kalau saja beberapa polisi tidak segera menahan tubuhku.
“Gery! Apa yang sudah kau lakukan pada ibuku? Bukankah dia sudah membantu keuanganmu? Apa salah ibuku padamu?”
“Karena ibumu memecatku secara tidak adil, dan sering memarahiku,” jawabnya datar.
Aku tidak percaya sepatah kata pun.
Polisi menjelaskan bahwa ini murni kasus balas dendam. Tidak ada barang berharga yang hilang dari rumah—tidak perhiasan, tidak uang, hanya amarah yang tersisa.
Sangat di sayangkan, Gery sudah sebelas tahun kerja dengan keluargaku, namun aku tidak tahu penyebab tukang kebun itu berhenti bekerja di rumahnya, sampai pada detik itu ia baru tahu kalau di antar mereka sempat ada perselisihan.
Aku sempat berpikir kemungkinan ia hendak mencuri, akan tetapi polisi memberitahu setelah CCTV di pulihkan, bahwa ini murni hanya karena dendam pribadi, karena tersangka terlihat langsung menyerang Ibu Inez, dan ketika ibu Inez berusaha melawan dan berteriak dengan cepat ia menusuk ibuku berkali-kali, dan jatuh ke lantai hingga bersimbah darah, karena ia mengenakan sarung tangan jadinya sulit di temukan sidik jarinya apalagi pisau yah ia gunakan berasal dari dapur, rumah kami.
Saat itu aku sedang menginap di rumah ibuku bersama Serafim, terbangun, Serafim tidur di ranjang sementara langsung aku tidur di sofa masih di kamar yang sama.
“Phyr… bukanlah itu seperti suara Ibu”
“Ya, jawabku singkat.
Kemudian aku berlari menuju sumber suara sambil menggenggam pistol. Tepat saat aku tiba di lorong, aku melihat Gery keluar dari kamar dengan masker menutupi wajahnya. Tanpa pikir panjang, aku mengejarnya.
Gery bergerak cepat menuju jendela besar di ujung lorong—jalan pintas ke luar rumah. Rumahku bertingkat tinggi dan pagar di sekelilingnya juga cukup tinggi, dan aku tahu Gery bisa melakukan aksi ekstrem seperti bungee jumping, jadi dia benar-benar berniat kabur lewat situ.
Saat ia hendak melompat dari lantai atas menuju area pagar, aku menembak ke arah kakinya. Peluru itu mengenai betisnya. Karena itu, ada jejak darah yang berceceran di lantai menuju pagar, bahkan sampai ke dinding pagar luar.
Sebelum meninggalkan kantor polisi, aku meminta proses hukum di proses seadil-adilnya.
Di koridor aku mencoba menelpon Serafim beberapa kali, namun tak di angkat juga.
“Pekerjaanmu lebih sibuk dari seorang CEO yang merangkap sebagai menteri, Fim.” Lirihku sambil tersenyum getir. Aku memasukkan kembali ponselku.
...... ⚫⚫⚫... ...
Malamnya, aku menelepon Serafim. Tapi yang mengangkat justru Liam.
“Phyr… Serafim di rumah sakit?”
Napasku terhenti. Apa yang sebenarnya terjadi padanya?
Aku menatap ponselku diam-diam, rasa cemas menguasai seluruh tubuhku.
Bersambung...
Dia jelas nganggep Zephyr tak lebih daripada alat/Doge/