Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Paket dari Mia
Keheningan yang membentang di antara tatapan mereka lebih padat daripada udara malam yang terperangkap di dalam kamar. Tangan Lila masih di sana, di atas lengannya, sebuah jangkar hangat di lautan dingin ketidakpastian.
Kehangatannya merambat, bukan hanya melalui kulit, tetapi menembus lapisan pertahanan yang telah Angkasa bangun selama belasan tahun, mencari celah-celah retakan yang bahkan tidak ia sadari ada di sana.
Di dalam sorot mata Lila, Angkasa melihat gema dari kelelahannya sendiri, sebuah pemahaman yang melampaui kata-kata. Itu bukan tatapan kasihan yang selalu ia benci, juga bukan keingintahuan seseorang tentang penyakitnya. Itu adalah tatapan seorang musafir yang mengenali jalan terjal yang sama di mata musafir lainnya.
Lila lah yang pertama kali memutus kontak magis itu. Ia menarik tangannya perlahan, gerakannya nyaris seperti permintaan maaf. Ia berdeham pelan, seolah mencari kembali perannya sebagai seorang profesional.
“Denyut nadimu… agak cepat,” bisiknya, suaranya sedikit serak. Sebuah alasan yang rapuh, sebuah kebohongan putih yang mereka berdua tahu adalah sebuah kebohongan.
“Mungkin kamu mimpi buruk.”
Angkasa tidak menjawab. Ia hanya bisa merasakan gema dari sentuhan itu yang masih tertinggal di kulitnya, seperti bekas stempel yang tak terlihat. Ia memalingkan wajahnya kembali ke langit-langit, berpura-pura menerima alasan itu.
“Mungkin,” jawabnya singkat.
Lila tidak kembali ke kursinya. Ia berdiri di sana sejenak, bayangannya yang panjang terpantul di lantai linoleum oleh cahaya lampu koridor.
Akhirnya, dengan helaan napas yang nyaris tak terdengar, ia berkata, “Aku pulang dulu. Besok pagi aku ke sini lagi.”
“Hati-hati,” gumam Angkasa tanpa menoleh.
Pintu tertutup dengan bunyi klik yang lembut, meninggalkan Angkasa sendirian dengan detak jantungnya yang memang berpacu lebih cepat. Bukan karena mimpi buruk, tetapi karena ketakutan akan sebuah harapan yang baru saja mengetuk pintu bentengnya.
.
.
.
Hari-hari berikutnya melebur menjadi satu, diwarnai oleh rutinitas rumah sakit yang monoton, bunyi roda troli obat di pagi hari, aroma antiseptik yang menusuk, dan pengumuman tanpa nama melalui pengeras suara. Namun, di dalam kamar 702, sebuah ritme yang berbeda mulai terbentuk. Ritme yang diciptakan oleh tiga jiwa yang terperangkap dalam takdir yang sama.
Persahabatan Angkasa dan Gilang menguat, terjalin dari benang-benang sarkasme dan lelucon kelam. Namun, keheningan di antara mereka kini diisi oleh kehadiran Lila.
Wanita itu menjadi matahari sore bagi dunia mereka yang pucat. Ia akan datang setelah jam kerjanya yang panjang, membawa cerita tentang dunia luar, tentang kemacetan Jakarta yang gila, tentang pasien lansia yang lucu, tentang resep baru yang ingin ia coba.
Percakapan mereka sering kali terjadi di larut malam, saat Gilang sudah terlelap, napasnya yang sedikit berat menjadi musik latar. Mereka akan berbicara dengan suara pelan, dua bayangan yang duduk di ranjang masing-masing.
“Kalau kamu nggak jadi perawat, kamu bakal jadi apa?” tanya Angkasa, memecah keheningan ini.
Lila, yang sedang melipat selimut Gilang yang berantakan, berhenti sejenak. Ia tersenyum tipis dalam temaram.
“Dulu, waktu kecil, aku pingin jadi astronot.” Lila mengarahkan pandangannya ke arah jendela yang sudah tertutup rapat, seolah dia bisa melihat bintang di langit malam Jakarta yang keruh dan tanpa bintang, menembus kain dan kaca.
Angkasa mendengus pelan.
“Jauh banget dari perawat ke astronot.”
“Iya, kan?” Lila tertawa kecil.
“Aku suka bintang. Suka ide tentang sesuatu yang begitu besar dan abadi di luar sana. Rasanya, masalah di bumi jadi kelihatan kecil banget kalau dibandingin sama galaksi.”
“Tapi takdir berkata lain. Adikku butuh dirawat, dan aku sadar… semesta terbesarku ada di sini, bukan di atas sana.” Lila mengarahkan pandangannya ke pada semesta yang sedang terlelap.
Angkasa terdiam. Ia mengerti. Ia mengerti bagaimana satu orang bisa menjadi pusat gravitasi dari seluruh alam semesta.
“Kamu sendiri?” Lila balik bertanya.
“Apa mimpimu, Mas Angkasa?”
Mimpi. Kata itu terasa asing di lidah Angkasa. Ia sudah lama berhenti bermimpi.
“Nggak tahu,” jawabnya jujur.
“Mungkin cuma… punya kedai kopi sendiri. Tempat yang kecil, tenang, di mana orang bisa duduk berjam-jam tanpa merasa diusir.”
“Itu mimpi yang indah,” kata Lila tulus.
“Tapi .. Kenapa kedai kopi?”
“Karena kopi itu jujur. Pahit, ya pahit. Manis, ya manis. Nggak ada kepura-puraan,” jelas Angkasa.
“Dan aku suka liatin orang. Di kedai kopi, kamu bisa lihat semua jenis kehidupan. Orang yang lagi jatuh cinta, yang lagi patah hati, yang lagi ngerjain skripsi sampai stres. Mereka semua datang untuk alasan yang sama, mencari sedikit ketenangan dalam secangkir kopi.”
Lila menatapnya lekat.
“Kamu pengamat yang baik, ya.”
Angkasa hanya mengangkat bahu. Ia tidak menceritakan bagian di mana keinginan itu lahir dari kerinduan akan sebuah ‘rumah’, sebuah tempat di mana ia bisa merasa memiliki.
Perlahan tapi pasti, Angkasa mulai membiarkan Lila masuk. Bukan sepenuhnya, hanya melalui celah-celah kecil di dinding pertahanannya. Ia mendapati dirinya menunggu kedatangan Lila setiap sore. Ia mulai memperhatikan hal-hal kecil, cara Lila mengikat rambutnya saat merasa gerah, kerutan kecil di sudut matanya saat ia tertawa lepas mendengar lelucon Gilang, atau bagaimana ia selalu memastikan botol air di nakas Angkasa terisi penuh.
Perasaan itu tumbuh seperti tanaman liar di dalam dadanya. Sebuah perasaan hangat yang menakutkan. Setiap kali ia merasa nyaman, alarm di kepalanya akan berbunyi. Jangan. Kamu ini bom waktu. Jangan seret dia ke dalam ledakanmu. Jangan biarkan dia merasakan kehilangan sekali lagi.
Maka, ia akan menarik diri. Setelah berbagi tawa, ia akan tiba-tiba diam. Setelah percakapan yang dalam, ia akan memunggungi Lila dan berpura-pura tidur. Ia membangun dinding lalu meruntuhkannya sedikit, hanya untuk membangunnya kembali lebih tinggi.
Lila merasakannya. Ia merasakan tarik ulur itu. Ia melihat pria di hadapannya bukanlah sekadar teman sekamar adiknya yang pendiam. Ia melihat seorang pria dengan luka yang sangat dalam, yang kelembutannya tersembunyi di balik lapisan es. Dan entah bagaimana, ia tidak merasa takut. Justru, ia ingin tinggal. Ia ingin menjadi kehangatan yang bisa mencairkan es itu, walau hanya sedikit.
Suatu sore, sekitar dua minggu setelah momen di malam hari itu, seorang perawat masuk sambil membawa sebuah paket kardus berukuran sedang.
“Paket untuk Mas Angkasa, Dirgantara,” katanya sambil meletakkannya di atas nakas.
Angkasa mengerutkan kening. Paket? Ia tidak pernah memesan apa pun. Ia tidak punya siapa pun di luar sana yang akan mengiriminya sesuatu.
“Wih, dapet kiriman,” celetuk Gilang dari ranjangnya, matanya yang biasanya sayu kini berbinar penasaran.
“Dari siapa, Kak? Penggemar rahasia, ya?”
Lila, yang sedang membantu Gilang makan buah, ikut tersenyum.
“Iya, nih. Siapa tahu ada yang naksir sama tatapan misteriusmu itu.”
Angkasa tidak menanggapi lelucon mereka. Ia menatap kotak kardus berwarna cokelat itu dengan curiga. Tidak ada nama pengirim yang jelas, hanya alamat sebuah pusat perbelanjaan dan tulisan tangan yang rapi di label penerima: “Untuk Angkasa”.
Dengan ragu, ia meraih paket itu. Terasa ringan. Ia merobek selotipnya dengan perlahan. Gilang dan Lila memperhatikannya dengan antisipasi, seolah sedang menonton adegan pembukaan harta karun.
Di dalamnya, terbungkus kertas kado biru langit, ada sebuah buku dan sekantong biji kopi dari merek yang familier. Jantung Angkasa berhenti berdetak sejenak. Itu adalah biji kopi dari kafe tempatnya bekerja. Buku itu… ia ingat pernah mendiskusikannya dengan seseorang.
“Kopi?” tanya Lila, sedikit heran.
“Dari teman kerja?”
Angkasa tidak menjawab. Tangannya yang sedikit gemetar menemukan sebuah amplop putih yang terselip di antara bungkusan itu. Di bagian depan amplop, tertulis satu nama dengan tulisan tangan yang sama anggunnya: Mia.
Nama itu seperti gema dari dunia lain, dari kehidupan yang terasa sudah begitu jauh. Kehidupan sebelum dinding putih rumah sakit, sebelum diagnosis, sebelum Lila.
“Mia?” Suara Lila terdengar pelan di sebelahnya, lebih seperti pertanyaan pada diri sendiri. Ada nada ingin tahu yang tajam di dalamnya.
Angkasa menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan badai kebingungan yang tiba-tiba menerpa hatinya. Ia membuka lipatan surat di dalam amplop itu. Kertasnya beraroma manis, seperti parfum yang ia kenali. Matanya memindai baris pertama dari tulisan tangan yang meliuk-liuk indah itu.
Hai, Angkasa. Aku harap kamu baik-baik saja. Aku khawatir karena kamu tiba-tiba menghilang…