Gendis baru saja melahirkan, tetapi bayinya tak kunjung diberikan usai lelahnya mempertaruhkan nyawa. Jangankan melihat wajahnya, bahkan dia tidak tahu jenis kelamin bayi yang sudah dilahirkan. Tim medis justru mengatakan bahwa bayinya tidak selamat.
Di tengah rasa frustrasinya, Gendis kembali bertemu dengan Hiro. Seorang kolega bisnis di masa lalu. Dia meminta bantuan Gendis untuk menjadi ibu susu putrinya.
Awalnya Gendis menolak, tetapi naluri seorang ibu mendorongnya untuk menyusui Reina, putri Hiro. Berawal dari menyusui, mulai timbul rasa nyaman dan bergantung pada kehadiran Hiro. Akankah rasa cinta itu terus berkembang, ataukah harus berganti kecewa karena rahasia Hiro yang terungkap seiring berjalannya waktu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29. Kembalikan Putriku
Tubuh Gendis terasa lemas seketika. Napasnya terengah, seolah udara di sekelilingnya tiba-tiba hilang. Suara langkah kaki Nana yang menjauh menggema di telinganya, seperti nada sumbang yang memukul batin. Hiro cepat-cepat menahan tubuh Gendis yang hampir jatuh, lalu memeluknya erat agar tak tersungkur ke atas lantai marmer dingin itu.
“Gendis .…” Suara Hiro nyaris serak, tetapi Gendis hanya memejamkan mata.
“Dia bawa Reina … dia bawa Reina pergi, Hiro .…” bisik Gendis dengan suara bergetar.
Hiro menatap ke arah pintu otomatis tempat Nana baru saja menghilang. Amarah membuncah di dalam dadanya. Tanpa berpikir panjang, dia berlari mengejar perempuan itu.
“HIRO!” teriak Gendis, tetapi Hiro sudah melesat keluar.
Suara langkah kakinya menggema di koridor terminal. Begitu keluar, Hiro melihat sekilas sosok Nana yang sedang membuka pintu taksi. Dia berteriak keras.
“NANA! Berhenti!”
Namun, mobil itu sudah melaju, meninggalkan jejak ban di atas aspal panas. Hiro mengepalkan tangan, menahan luapan emosi yang nyaris meledak. Dia berlari ke arah gerbang keluar, tetapi dua petugas keamanan segera menghadangnya.
“Maaf, Tuan! Tidak boleh keluar tanpa izin!”
Hiro menatap garang, tetapi akhirnya berhenti. Napasnya tersengal. Dia tahu percuma melampiaskan emosi sekarang. Nana hanyalah pion. Musuh sebenarnya bukan dia, melainkan Yumi.
Hiro menutup wajah dengan kedua tangan, mencoba menenangkan pikirannya. Tak lama kemudian, Gendis datang menghampiri, matanya sembab dengan rambut berantakan.
“Hiro, kita sudah terlambat,” kata Gendis lirih. “Pesawat itu sudah lepas landas.”
Hiro menatap Gendis begitu lama, kemudian menggenggam kedua tangannya erat. “Belum terlambat. Selama kita tahu tujuannya, kita masih bisa kejar.”
Tatapan Gendis penuh keraguan. “Kamu yakin?”
“Yumi menuju Jepang,” ujar Hiro mantap. “Dan kita juga akan ke sana. Sekarang.”
***
Dua belas jam kemudian, Gendis dan Hiro sudah sampai Bandara Haneda, Tokyo. Udara dingin menggigit kulit begitu mereka melangkah keluar dari terminal kedatangan. Lampu-lampu kota Tokyo menyala terang di kejauhan, menandakan malam baru saja turun.
Gendis menggenggam koper dengan tangan gemetar, kelelahan tampak jelas di wajahnya. Akan tetapi, di balik semua itu, ada tekad yang membara.
“Kita ke mana sekarang?” tanya Gendis dengan suara lemah.
“Ikut saja, aku ini adiknya. Aku pastikan di mana mereka berada sekarang.”
Mereka naik taksi menuju distrik Meguro, kawasan tenang dengan rumah-rumah mewah yang berjajar rapi. Dalam perjalanan, lampu-lampu jalan memantulkan bayangan wajah Gendis di jendela kaca—wajah seorang ibu yang kehilangan, tetapi menolak menyerah.
“Reina pasti ketakutan,” bisik Gendis lirih.
Hiro menatapnya penuh empati, tetapi tak mampu berkata apa-apa. Dia khawatir kata-katanya hanya akan memperparah luka. Dia memalingkan pandangannya keluar jendela, menatap hamparan gedung tinggi yang berkelebat di bawah cahaya malam. Dalam pikirannya, hanya ada satu tujuan yaitu membawa Reina pulang.
Udara musim dingin menusuk tulang, kabut tipis menggantung di udara. Vila keluarga Yumi berdiri di atas perbukitan, dikelilingi taman bambu dan kolam koi yang luas. Dari kejauhan, tempat itu tampak seperti surga. Namun bagi Gendis, dia adalah penjara yang menyembunyikan anaknya. Dari dalam mobil sewaan, mereka memperhatikan gerbang besar yang dijaga dua pria berpakaian hitam.
“Penjagaannya ketat,” bisik Gendis. “Bagaimana kita bisa masuk?”
Hiro memegang bahunya lembut. “Aku punya ide. Kita tunggu malam.”
Saat malam tiba, kegelapan menjadi sekutu mereka. Hiro mengenakan jaket hitam, wajahnya disamarkan topi. Gendis menunggu di mobil, jantungnya berdetak kencang setiap kali suara ranting patah terdengar dari luar.
Hiro melompati pagar belakang vila, menyusuri jalan setapak kecil di antara bambu. Dia bergerak cepat, mengingat tata letak bangunan yang dulu pernah dikunjungi. Dari jendela kaca besar di lantai dua, terlihat cahaya lampu redup.
Hiro mendekat perlahan, lalu mengintip. Di dalam, Yumi duduk di kursi kayu, mengenakan kimono lembut warna putih. Di pangkuannya, Reina tertidur.
Hiro menahan napas. Matanya panas. Dia ingin menerobos masuk saat itu juga, tetapi suara langkah kaki membuatnya mundur ke balik semak. Dua penjaga lewat, membawa senjata setrum.
“Tidak bisa sekarang,” gumam Hiro lirih.
“Terlalu berisiko.” Hiro mundur perlahan, lalu kembali ke mobil di mana Gendis menunggunya.
“Aku lihat Reina,” kata Hiro dengan suara bergetar. “Dia ada di sana. Di pangkuan Yumi.”
Gendis menutup mulut, air matanya mengalir tanpa suara. “Dia sehat?”
“Ya. Tapi kita harus gerak cepat sebelum Yumi tahu kita di Jepang.”
Malam berikutnya, Hiro menyusun rencana. Dengan bantuan detektif kenalannya, mereka mengetahui pola penjagaan vila. Hiro akan masuk dari sisi barat, melewati gudang taman. Sementara Gendis menunggu di mobil dengan mesin menyala, siap melarikan diri begitu Reina berhasil diambil.
“Ini satu-satunya cara,” ujar Hiro sebelum berangkat.
“Begitu aku dapat Reina, aku lari lewat jalur belakang. Kamu buka gerbang dengan remote dari Yamashita. Jangan panik, apa pun yang terjadi.”
Gendis menggenggam tangannya erat. “Hati-hati, Hiro. Jangan sampai mereka melukai kamu.”
Hiro mengangguk, menatap wajah Gendis seolah mengabadikan momen terakhir sebelum perang. Lalu, dia menghilang ke dalam kegelapan.
Pukul 01.27 dini hari, suara jangkrik bergema di antara pepohonan. Hiro berhasil menyusup masuk melalui pintu belakang yang tak dikunci. Dia menelusuri lorong-lorong sunyi hingga menemukan kamar tempat Yumi biasa tidur. Lampu kamar redup, tirai menutup rapat.
Perlahan, Hiro membuka pintu. Reina terbaring di ranjang bayi di sisi kiri ruangan. Langkah kakinya ringan, hampir tanpa suara. Dia mendekat, menatap wajah kecil itu—pipi bulat, napas lembut, dan jemari mungil yang dulu selalu menggenggam jarinya sebelum tidur. Air mata menetes di pipinya.
“Paman di sini, Sayang,” bisik Hiro pelan.
Namun, sebelum sempat mengangkat tubuh Reina. Suara langkah lembut terdengar dari balik pintu. Yumi muncul, mengenakan yukata biru, matanya langsung membulat begitu melihat Hiro.
“Hiro?” suara Yumi pelan dan tajam.
Hiro menoleh cepat, tubuhnya menegang.
“Aku hanya ingin membawa Reina kembali ke ibunya,” ujarnya datar.
Yumi melangkah maju, senyumnya getir. “Ibunya? Reina itu anakku!"
“Yumi, itu bukan anakmu!” bentak Hiro, suaranya bergetar. “Reina darah daging Gendis. Kamu tahu itu!”
Air mata Yumi mengalir, tetapi senyumnya tak pudar. “Kamu pikir aku peduli darah siapa yang mengalir padanya? Aku tak bisa punya anak, Hiro. Tuhan mengambil kemampuanku … jadi aku mengambil Reina. Aku menyayanginya seperti anakku sendiri. Aku tak akan menyerahkannya.”
Semua bersumber dari otak jahat Reiki