Elegi Grilyanto adalah kisah penuh haru yang dituturkan oleh Puja, seorang anak yang tumbuh dengan kenangan akan sosok ayah yang telah tiada—Grilyanto. Dalam lembaran demi lembaran, Puja mengajak pembaca menyusuri jejak hidup sang ayah, dari masa kecilnya, perjuangan cintanya dengan sang ibu, Sri Wiwik Budi, hingga tantangan pernikahan mereka yang tak selalu mendapatkan restu. Lewat narasi yang jujur dan menyentuh, kisah ini bukan hanya tentang kehilangan, tapi juga tentang mengenang, menerima, dan merayakan cinta seorang anak kepada ayahnya yang telah pergi untuk selamanya.
real Kisah nyata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Pagi itu, suasana rumah di Magelang terasa hangat namun sedikit berat di dada.
Matahari belum tinggi, embun masih menempel di dedaunan di halaman depan, dan aroma teh manis yang baru saja diseduh menyebar dari dapur.
Sri memandangi koper yang sudah tertata rapi di samping pintu.
Pramesh ada di pangkuannya, tertidur lelap setelah menyusu.
Ibu Grilyanto duduk di kursi rotan dekat jendela, mengusap kepala cucunya yang lain yang sedang bermain.
Sementara kakak dan adik Grilyanto duduk bersila, ikut menemani suasana perpisahan kecil itu.
Grilyanto mengenakan kemeja rapi dan celana panjang hitam.
Ia menghela napas, lalu menghampiri ibunya dan mencium tangan wanita tua itu dengan penuh hormat.
“Bu, Gril pamit kembali ke Surabaya,” ucapnya pelan namun jelas.
Ibu menatapnya lekat-lekat, kemudian mengangguk. Matanya berkaca-kaca tapi ia tersenyum.
“Hati-hati di jalan, Le. Jaga Sri dan Pramesh baik-baik ya... Jangan lupa kabari kalau sudah sampai.”
Sri bangkit sambil menggendong Pramesh, lalu ikut mencium tangan ibu.
“Terima kasih, Bu. Sri pamit ya... Maaf kalau selama di sini ada salah.”
“Kamu anak baik, Sri. Ibu doakan rumah tanggamu selalu rukun dan penuh berkah.”
Pramesh terbangun dan menangis kecil. Grilyanto dengan sigap menerima gendongan dari istrinya, lalu menimang anak itu pelan.
“Eh... jangan nangis dong, sayang. Kita pulang ke Surabaya ya, biar nanti ketemu rumah kecil kita lagi,” bisik Grilyanto sambil tersenyum.
Kakak dan adik Grilyanto membantu mengangkat barang ke becak yang akan mengantar mereka ke terminal.
Sri menoleh satu kali ke arah rumah, mengukir senyum lembut dengan kenangan di rumah itu, meski singkat, telah memberi kehangatan dan restu yang sebelumnya sempat hilang.
“Gril...” panggil ibunya satu kali sebelum mereka naik becak.
“Iya, Bu?”
“Kalau bisa, ajak Heri pulang suatu hari nanti... Jangan putus harapan.”
“Saya akan usahakan, Bu. Doakan saja.”
Becak perlahan meninggalkan halaman rumah, membawa Grilyanto, Sri, dan Pramesh menuju terminal.
Perjalanan kembali ke Surabaya dimulai, dengan hati yang penuh syukur dan pikiran yang tetap berharap bahwa rumah, cinta, dan keluarga, akan selalu jadi tempat untuk kembali.
Subuh itu, suasana Bumiarjo masih lengang. Cahaya matahari belum sepenuhnya muncul, hanya remang-remang jingga yang menggantung di langit timur.
Udara terasa dingin dan tenang, hanya sesekali terdengar suara ayam berkokok dan langkah becak melintas jauh.
Grilyanto, Sri, dan Pramesh baru saja turun dari becak setelah menempuh perjalanan malam dari Magelang.
Mereka masih lelah dengan wajah yang belum sepenuhnya terbangun dari tidur-tidur kecil selama di bus.
Sri menggendong Pramesh yang masih terlelap dalam balutan selimut tipis.
Namun begitu Grilyanto membuka pagar rumah kecil mereka, ia tertegun.
Di depan pintu, duduk seorang anak laki-laki dengan pakaian lusuh dan mata sembab.
"Heri?" ucap Grilyanto nyaris tak percaya.
Anak itu berdiri perlahan, tubuhnya gemetar karena dingin dan rasa takut yang belum benar-benar hilang.
Ia menunduk, seperti tak punya keberanian untuk menatap wajah pamannya.
"Om Gril... aku minta maaf," suaranya lirih, nyaris tenggelam oleh suara dedaunan yang diterpa angin pagi.
Grilyanto memandang anak itu dalam diam beberapa detik.
Wajahnya campuran antara terkejut, sedih, dan lega. Lalu tanpa banyak kata, ia melangkah maju dan memeluk Heri dengan erat.
Tubuh kecil itu bergetar dalam pelukannya, dan Grilyanto bisa merasakan betapa rapuh dan lelahnya keponakannya itu.
"Sudah, sudah, Her... Om nggak marah. Kamu sudah pulang, itu yang penting," bisiknya dengan suara berat.
Sri berdiri di belakang mereka, menatap pemandangan itu dengan mata yang mulai basah.
Ia tahu betapa dalam luka yang ditinggalkan oleh Heri, tapi ia juga tahu seberapa besar cinta suaminya terhadap anak itu.
"Mas, biar aku siapkan air hangat untuk mandi Heri. Pramesh juga mau aku tidurkan dulu."
Grilyanto mengangguk sambil merangkul Heri masuk ke rumah.
"Masuk, Her. Rumah ini selalu terbuka buat kamu."
Di dalam rumah kecil itu, cahaya lampu kuning mulai menyala hangat.
Bumiarjo pagi itu bukan hanya menjadi tempat kembalinya sebuah keluarga kecil dari perjalanan panjang, tapi juga menjadi saksi kembalinya seorang anak yang tersesat dan menemukan pintu maaf yang tak pernah benar-benar tertutup.
Pagi itu di rumah kontrakan kecil mereka di Bumiarjo, suasana semula tenang. Sri baru saja selesai menidurkan Pramesh di ayunan kecilnya dan duduk sebentar di atas tikar untuk beristirahat. Matanya sayu, tubuhnya lelah usai perjalanan panjang dari Magelang, ditambah begadang merawat anak semalaman.
Ia bersandar di dinding, menikmati keheningan sejenak sebelum bersiap menyiapkan sarapan.
Dari dapur terdengar suara air mendidih, dan bau bawang putih mulai memenuhi udara rumah.
Ia sudah menyiapkan bahan-bahan untuk membuat nasi goreng sederhana, sesuatu yang cepat dan mengenyangkan.
Grilyanto masih berada di kamar, melipat pakaian bawaan dari Magelang. Heri, pagi tadi sudah diminta untuk mencuci muka dan istirahat, tapi kini entah ke mana perginya.
Tak berselang lama, terdengar suara langkah kaki cepat dari dalam kamar.
"Sri," suara Grilyanto berat.
"Uang yang ada di dalam dompet hilang,x
Sri berdiri dari tempat duduknya dengan tubuh menggigil.
Ia menatap suaminya yang berdiri di ambang pintu kamar dengan wajah tegang.
“Apa Heri…?” suara Sri tercekat di tenggorokan. Kakinya lemas. Ia langsung berlari ke ruang depan.
Benar saja, Heri tidak ada. Pintu sedikit terbuka dan sepasang sandal bekas yang tadi dipakai Heri sudah lenyap.
Sri menutup mulutnya dengan kedua tangan dan tubuhnya menggigil dan air mata jatuh tanpa bisa dibendung.
Ia jatuh berlutut di ruang tamu sambil menangis tersedu-sedu, dadanya sesak oleh rasa malu dan kecewa.
“Mas… maafkan aku… Heri lagi-lagi... aku malu mas… aku nggak tahu harus bagaimana…” ucapnya dalam isak tangis yang memilukan.
Grilyanto yang mendengar tangisan itu segera menghampiri dan tanpa ragu memeluk tubuh istrinya dari belakang.
Ia menarik tubuh Sri ke dalam pelukannya, menahannya agar tak runtuh lebih dalam.
“Sudah, Sri… sudahlah. Ini bukan salahmu. Kamu sudah jadi ibu yang luar biasa, istri yang baik…” ucap Grilyanto dengan suara pelan di dekat telinga istrinya.
“Tapi aku nggak bisa menjaga Her, dia selalu menyakitimu, padahal kamu sudah banyak berkorban buat dia…”
Grilyanto menarik napas dalam-dalam. Ia memejamkan mata sejenak.
Luka di hatinya pun tak kecil. Heri adalah darah daging yang sudah dianggap seperti anak sendiri.
Tapi setiap kepercayaan yang diberi selalu berakhir dengan luka. Ia pun merasa kecewa namun di hadapan istrinya, ia tak ingin menambah luka yang sudah terlanjur dalam.
“Anak itu masih mencari jalannya, Sri. Tapi kamu... kamu tetap prioritas mas sekarang. Kamu dan Pramesh.”
Ia mencium ubun-ubun Sri dan mengelus punggungnya yang gemetar.
Pelukan itu menghangatkan hati Sri dan tangisnya mulai mereda meskipun hatinya masih sesak.
Ia tahu, suaminya telah menunjukkan cinta dan kesabaran yang tak terhingga.
Di luar, matahari mulai naik perlahan, menyinari rumah kecil mereka yang pagi itu kembali diuji.
Tapi di dalam rumah, dua orang yang saling menggenggam, saling bertahan, membuktikan bahwa cinta sejati bukan hanya bertahan di saat bahagia melainkan juga ketika dunia runtuh berkali-kali, dan mereka tetap memilih saling memeluk, bukan melepaskan.