Aira, seorang wanita yang lembut namun kuat, mulai merasakan kelelahan emosional dalam hubungannya dengan Delon. Hubungan yang dulu penuh harapan kini berubah menjadi toxic, penuh pertengkaran dan manipulasi. Merasa terjebak dalam lingkaran yang menyakitkan, Aira akhirnya memutuskan untuk keluar dari lingkungan percintaan yang menghancurkannya. Dalam perjalanannya mencari kebahagiaan, Aira belajar mengenal dirinya sendiri, menyembuhkan luka, dan menemukan bahwa cinta sejati bermula dari mencintai diri sendiri.
Disaat menyembuhkan luka, ia tidak sengaja mengenal Abraham.
Apakah Aira akan mencari kebahagiaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Protektif
Beberapa minggu berlalu setelah kejadian di Bali, dan Aira mulai merasa lebih baik.
Kehamilannya semakin stabil, dan meskipun Abraham terus meminta agar ia tetap beristirahat, Aira mulai merasa tidak sabar untuk kembali bekerja.
Namun, ia tahu bahwa suaminya sangat khawatir, dan ia ingin menjaga kesehatannya demi bayi mereka.
Pada suatu pagi, Aira sedang duduk di halaman rumah menikmati secangkir teh hangat, ketika Abraham datang dan duduk di sampingnya.
Ia mengusap perut Aira yang mulai sedikit membesar, tersenyum penuh kasih.
"Bagaimana rasanya?" tanya Abraham, menatap Aira dengan penuh perhatian.
Aira menghela napas ringan. "Aku merasa lebih baik, Mas. Bayi kita juga sepertinya baik-baik saja. Tapi aku tahu kamu khawatir kalau aku mulai bekerja lagi."
Abraham memandang istrinya dengan lembut. "Aku hanya ingin kamu sehat, Aira. Tapi aku tahu, kamu ingin kembali bekerja. Jadi, jika kamu merasa sudah siap, aku tidak akan menghalangi mu. Tapi tolong jaga dirimu, dan jangan sampai berlebihan."
Aira menunduk, meremas tangan suaminya. "Aku janji, Mas. Aku akan hati-hati. Aku tidak ingin kamu merasa khawatir terus-menerus."
Abraham tersenyum dan memeluk Aira dengan lembut.
"Aku hanya ingin kamu bahagia. Jika pekerjaan itu membuatmu bahagia, aku tidak akan menghalangi mu. Tetapi, ingatlah kita akan selalu mendahulukan kesehatanmu dan bayi kita."
Aira memeluk suaminya erat, merasa sangat bersyukur memiliki Abraham yang sangat pengertian.
"Terima kasih, Mas. Aku tahu, aku sangat beruntung memiliki kamu."
Hari-hari berikutnya, Aira mulai mempersiapkan diri untuk kembali bekerja.
Meskipun ia masih harus menjaga kehamilannya, ia bertekad untuk menjalankan perusahaan desain interiornya dengan lebih hati-hati.
Abraham mendukung penuh, dan ia bahkan mencari beberapa asisten tambahan untuk membantu Aira, agar istrinya tidak terlalu lelah.
Suatu pagi, Aira akhirnya kembali ke kantornya dengan semangat baru.
Lidya, yang sudah mengetahui segala yang terjadi, menyambutnya dengan senyuman hangat.
"Selamat datang kembali, Aira. Kami semua sudah menunggu kamu."
Aira tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih, Lidya. Aku ingin mulai kembali dan memimpin proyek-proyek yang tertunda."
Lidya kemudian mengalihkan perhatian ke meja kerja.
"Ada beberapa klien yang sudah menunggu pekerjaanmu, Aira. Aku sudah mengatur semuanya, dan aku tahu kamu akan mampu menjalankan semuanya dengan baik."
Aira merasa senang bisa kembali bekerja, meski ia sadar bahwa semuanya tidak akan semudah dulu.
Setiap langkah yang diambilnya kini harus dipertimbangkan dengan hati-hati, demi kesehatannya dan bayinya.
Namun, semangatnya untuk tetap maju tidak pernah padam.
Sementara itu, Abraham terus memberikan dukungan yang luar biasa.
Ia bahkan sering mengirimkan pesan singkat kepada Aira selama jam kerjanya, memastikan bahwa istrinya baik-baik saja dan tidak terlalu kelelahan.
Kehadiran Abraham yang selalu mendampingi, membuat Aira merasa semakin kuat.
Pada suatu malam, setelah hari yang panjang, Aira pulang ke rumah dan melihat Abraham sedang menunggu di ruang tamu.
"Mas, aku rasa aku sudah tidak sabar menunggu pertemuan besok," ujar Aira dengan semangat.
Abraham memandang istrinya dengan mata penuh kasih, lalu menariknya ke dalam pelukannya.
"Aku bangga padamu, Aira. Kamu sangat kuat, dan aku yakin kamu bisa mengatasi semuanya."
Aira membalas pelukan itu, merasakan betapa hangatnya cinta yang diberikan suaminya.
"Aku juga bangga punya suami sepertimu. Kita akan menjalani semuanya bersama, kan?"
Abraham mengangguk. "Tentu, sayang. Bersama, kita bisa melalui segala hal."
Dengan pelukan itu, mereka tahu bahwa apapun yang akan datang, mereka akan selalu memiliki satu sama lain untuk saling mendukung.
Di tengah perjalanan hidup yang penuh tantangan ini, cinta mereka semakin kuat, dan itu adalah yang paling penting.
Aira semakin sukses dengan perusahaan desain interiornya.
Klien-klien baru berdatangan, dan proyek-proyek besar mulai mengalir.
Namun, seiring dengan kesuksesannya, Abraham semakin khawatir.
Ia melihat betapa sibuknya Aira dan betapa banyak energi yang ia curahkan untuk pekerjaan.
Bahkan meskipun kehamilannya sudah semakin besar, Aira tetap terlihat penuh semangat menjalani setiap proyek yang datang.
Suatu malam, saat Aira sedang bekerja di ruang kerjanya, Abraham datang dan duduk di sampingnya. Wajahnya tampak serius, dan Aira tahu ada sesuatu yang ingin ia bicarakan.
"Aira," kata Abraham pelan, "Aku tahu betapa kamu mencintai pekerjaanmu dan betapa kerasnya kamu bekerja untuk perusahaan ini. Tapi aku merasa kamu mulai kelelahan. Bayi kita juga membutuhkan perhatianmu."
Aira menatap suaminya dengan sedikit terkejut.
"Mas, aku baik-baik saja. Ini hanya sementara. Proyek ini penting untuk perusahaan."
Abraham menggenggam tangan Aira dengan lembut.
"Aku tahu. Tapi aku juga ingin kamu lebih memikirkan dirimu dan bayi kita. Aku tidak ingin kamu terlalu sibuk dan melupakan kesehatanmu. Aku sudah berpikir tentang ini, dan aku ingin kamu berhenti bekerja, setidaknya sementara waktu."
Aira terdiam sejenak, memikirkan kata-kata suaminya.
Ia tahu Abraham selalu mengutamakan kesehatan dan keselamatannya, namun ia merasa kesulitan untuk meninggalkan pekerjaannya begitu saja.
"Mas, aku... aku tidak bisa begitu saja meninggalkan pekerjaan ini," jawab Aira dengan suara lembut.
"Aku sudah bekerja begitu keras untuk membangun semuanya, dan aku merasa sangat bertanggung jawab atas perusahaan ini."
Abraham menatap Aira dengan penuh pengertian.
"Aku mengerti, sayang. Tapi aku lebih mengutamakan kamu dan bayi kita. Aku tidak mau melihatmu tertekan atau kelelahan. Kamu bisa menyelesaikan pekerjaanmu dengan cara yang lebih ringan, tanpa harus terus terjun langsung ke lapangan. Aku bisa membantumu mencari seseorang yang bisa membantu mengelola perusahaan sementara kamu fokus pada dirimu dan bayi."
Aira terdiam, merasa dilematis. Ia ingin sekali membuat suaminya bahagia dan menjaga kesehatan bayi mereka, tetapi ia juga merasa sulit untuk melepaskan pekerjaannya begitu saja.
"Apa kamu yakin, Mas?" tanya Aira dengan ragu.
Abraham tersenyum lembut dan mengusap pipi Aira.
"Tentu saja, sayang. Aku yakin kamu bisa mengatur semuanya dengan baik. Kamu sudah membangun semuanya dengan hebat, dan aku percaya kamu bisa membuat keputusan terbaik untuk dirimu sendiri. Tapi saat ini, aku ingin kamu fokus pada kesehatanmu dan kita akan memikirkan hal lain nanti."
Aira menunduk, menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya.
Ia tahu Abraham hanya ingin yang terbaik untuk mereka, namun ia merasa berat hati untuk meninggalkan sesuatu yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya.
Akhirnya, setelah beberapa saat terdiam, Aira mengangguk pelan.
"Baiklah, Mas. Aku akan berhenti bekerja sementara waktu, seperti yang kamu minta. Tapi aku akan tetap mengurus perusahaan dari jauh dan memastikan semuanya berjalan lancar."
Abraham memeluk Aira dengan penuh kasih. "Terima kasih, sayang. Aku hanya ingin kamu bahagia dan sehat. Bayi kita juga membutuhkan perhatianmu lebih, dan aku akan selalu ada di sampingmu."
Aira merasa lega, meskipun keputusan itu sulit. Ia tahu bahwa keputusan ini tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk masa depan mereka sebagai keluarga.
Mereka akan menjalani babak baru dalam hidup mereka, dan Aira percaya bahwa dengan cinta dan dukungan dari Abraham, semuanya akan berjalan dengan baik.
Dengan senyuman di wajahnya, Aira memeluk suaminya erat.
"Terima kasih sudah memahami, Mas. Aku merasa sangat beruntung memiliki kamu."
Abraham membalas pelukan itu, merasa lebih tenang melihat istrinya akhirnya setuju untuk berhenti bekerja sementara waktu.
"Kamu tidak perlu berterima kasih, Aira. Aku hanya ingin yang terbaik untuk kita. Kita akan menghadapi semuanya bersama, dan aku akan selalu ada di sampingmu."