Jangan main HP malam hari!!!
Itu adalah satu larangan yang harus dipatuhi di kota Ravenswood.
Rahasia apa yang disembunyikan dibalik larangan itu? Apakah ada bahaya yang mengintai atau larangan itu untuk sesuatu yang lain?
Varania secara tidak sengaja mengaktifkan ponselnya, lalu teror aneh mulai mendatanginya.
*
Cerita ini murni ide penulis dan fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, dan latar itu hanyalah karangan penulis, tidak ada hubungannya dengan dunia nyata.
follow dulu Ig : @aca_0325
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 : Keanehan ibu
Varania membuka pintu sambil memasang senyum manis, “ibu!”
Senyumnya langsung luntur saat tidak melihat ibunya, tidak ada ibunya di luar pintu dan di ruang tengah.
“Bu,” panggil Varania berjalan mengelilingi rumah sampai ke dapur. Sepi.
Dapur yang masih bersih, dan sofa di ruang tengah yang dingin menandakan ibunya belum pulang sejak pagi tadi.
“Ibu kemana?” Varania bertanya-tanya sembari berjalan gontai ke teras depan. Kalau bukan ibu yang memanggilnya, siapa yang memanggilnya? Suaranya mirip sekali dengan ibu.
Varania tidak menemukan ibunya, bulu kuduk Varania berdiri kemudian ia merasa seperti sedang diawasi. Kepalanya berputar mengamati seluruh penjuru ruang tengah, sungguh tidak ada ibunya disini.
“Bu,” panggil Varania, masih berharap ibunya datang atau setidaknya menyahut.
Hening.
Matilda belum pulang.
Di teras depan, bukan bertemu ibunya, ia malah melihat Rea duduk sendirian dengan wajah cemas dan suram.
“Re, kamu yang manggil tadi?” Tanya Varania duduk di samping gadis itu.
Rea menggeleng, “aku nunggu kak Ara disini,”
“Kamu kenapa?” Tanya Varania mengamati kulit Rea yang sedikit pucat, belum terlalu kentara.
“Tadi malam kak Ara bilang aku boleh datang kesini kalau mau menanyakan bayangan aneh itu,” kata Rea dengan wajah resah.
“Ya, apa yang ingin kamu tahu?”
“Bayangan itu… kenapa aku bisa melihatnya?” Tanya Rea.
“Bayangan itu ada hubungannya dengan larangan kota Ravenswood, jadi bisa kamu ceritakan apa yang kamu lakukan sebelum melihatnya?” Varania balik bertanya, ia ingin membandingkan kejadian keduanya.
Rea menceritakan semuanya, mulai dari tiga hari yang lalu ia datang ke Ravenswood untuk mengunjungi Fardan atas suruhan mama nya. Ia terburu-buru malam itu untuk mengabari mamanya sehingga melupakan larangan Main hp di Ravenswood.
Saat ia selesai menelpon mama, sebuah nomor asing masuk menelponnya. Anehnya, tidak ada suara, hanya keheningan. Nomor itu seolah-olah menerornya, menelponnya sampai pagi bahkan setelah ponsel nya di nonaktifkan dia tetap menelpon.
Varania mengangguk, secara keseluruhan hampir sama dengan kejadian yang ia alami, hanya ada sedikit perbedaan yaitu Rea tidak menerima pesan aneh apapun.
“Jadi apa yang akan kamu lakukan sekarang?” Tanya Varania setelah Rea tidak lagi berbicara.
Di ufuk barat matahari sudah terbenam sepenuhnya, malam mulai menjalankan tugasnya menyelimuti bumi dengan kegelapan. Cahaya lampu membuat suasana kota menjadi lebih hidup.
“Apa bayangan itu berbahaya?”
Varania mengetukkan telunjuknya ke dagu, berpikir sebentar. Bayangan itu tidak berbahaya karena tidak bisa melukai fisik, dia hanya menciptakan kematian secara perlahan bagi orang yang melihatnya.
Tiba-tiba saja terlintas dalam kepala Varania, bagaimana kalau sebenarnya memang cara kerja bayangan itu memang membunuh seseorang untuk kelangsungan hidupnya.
Dia menampakkan diri untuk mengambil kehidupan seseorang demi bisa melanjutkan hidupnya.
'kalau dia memang sebuah kutukan-'
“Kak,” Rea melambaikan tangan di depan wajah Varania, “kenapa bengong?” Tanyanya.
“nggak,” Varania menggeleng sembari tersenyum, “ini sudah malam, sebaiknya kamu pulang dulu. Kalau kamu ngeliat bayangan itu, langsung tutup mata. Oke?”
“Kenapa?” Tanya Rea tidak mengerti.
Varania menoleh ke sekelilingnya, ia melihat Paman Boyd yang baru pulang lalu ibunya yang juga pulang bersama Sheriff. Ia ingin sekali mengatakan banyak hal pada Rea, tiap untuk saat ini waktunya tidak tepat.
“Aku belum bisa cerita banyak karena masalah ini harus di rahasiakan. Nggak ada yang boleh tahu.” Kata Varania mengingatkan.
“Vara, kamu udah pulang kerjanya? Kok cepat?” Tanya Matilda berjalan melewati gerbang, ada kantong belanjaan besar di tangan kanannya.
“Iya, Bu.” Sahut Varania menghampiri ibunya.
“Baiklah. Aku pulang dulu, kak. "Pamit Rea. Ia mengangguk singkat pada Matilda kemudian buru-buru pergi. Rea merasa tidak nyaman saat Matilda menatapnya tajam dan dingin.
'Matanya menakutkan.’ Rea merinding hingga hampir terjatuh dekat pagar.
“Re, hati-hati!”
Rea mengangguk tanpa menoleh.
“Kenapa sih dia?” Heran Varania.
“Bawa ini ke dalam, Ra.” Matilda menyerahkan kantong belanjaan ke tangan Varania. Tangan mereka bersentuhan, Varania melihat tangan ibunya yang sedikit basah.
“Ibu mau mandi dulu.” Matilda menarik Tangannya, dan berlalu ke dalam rumah.
Varania masih memperhatikan punggung ibunya, ia membawa tangannya ke hidung. Ia menghirup dalam-dalam. Amis. Ini jelas bau amis yang samar.
Pintu rumah terbuka lebar memperlihatkan ruang tengah yang sepi. Ibunya sudah masuk ke kamar. Namun, saat ini, dalam penglihatan Varania, ia tidak tahu kenapa - rumah itu seolah menjadi tempat yang berbeda.
“Aku mikir apaan sih.” Varania menggeleng, mana mungkin seperti itu. Ia hanya kelelahan dan terlalu banyak berpikir.
Varania tersenyum, dan membawa kantong belanjaan ke dalam rumah. Varania mengabaikan perasaan tidak nyamannya, ibunya adalah orang yang sama - dari dulu hingga sekarang. Meskipun terkadang ibunya tampak dingin, dia tidak akan mau menyakiti anaknya sendiri. Ya, Varania hanya perlu percaya bahwa ibunya masih sangat menyayanginya.
...***...