"Mereka mengira pertemuan itu adalah akhir, padahal baru saja takdir membuka lembar pertamanya.”
Ameena Nayara Atmaja—seorang dokter muda, cantik, pintar, dan penuh dedikasi. Tapi di balik wajah tenangnya, ada luka tersendiri dengan keluarganya. Yara memilih hidup mandiri, Ia tinggal sendiri di apartemen pribadinya.
Hidupnya berubah ketika ia bertemu Abiyasa Devandra Alaric, seorang CEO muda karismatik. Yasa berusia 33 tahun, bukan seperti CEO pada umumnya yang cuek, datar dan hanya fokus pekerjaannya, hidup Yasa justru sangat santai, terkadang dia bercanda dan bermain dengan kedua temannya, Yasa adalah anak yang tengil dan ramah.
Mereka adalah dua orang asing yang bertemu di sebuah desa karena pekerjaan masing-masing . Awalnya mereka mengira itu hanya pertemuan biasa, pertama dan terakhir. Tapi itu hanya awal dari pertemuan mereka. satu insiden besar, mencoreng nama baik, menciptakan gosip dan tekanan sosial membuat mereka terjebak dalam ikatan suci tanpa cinta
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nōirsyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
malam pertama
Alin melangkah cepat ke sudut ruangan, wajahnya merah padam karena kesal. Setelah ditolak Reyhand, hatinya benar-benar panas.
"Kak Reyhand nyebelin banget sih! Bisanya dia nolak aku dan bilang aku cewe ngga tau malu. Awas aja aku bakal semakin deketin kak Rey" omelnya sendiri sambil tangannya meraih minuman yang ada di meja kecil.
Tanpa pikir panjang, ia menenggak minuman itu.
"Ekhm... maaf, Nona. Itu minuman saya," suara dalam seorang pria terdengar dari sampingnya.
Alin membeku. Matanya membelalak melihat seorang pria disampingnya memakai jas hitam.
"Ups, sorry sir!" ucapnya cepat, malu bukan main. Ia pun segera berbalik dan kabur seperti maling ayam, meninggalkan Adrian yang hanya heran.
---
Pesta pun usai. Tapi malam belum berakhir. Yasa dan Yara beserta keluarganya menginap di hotel bintang lima tempat pesta itu digelar.
Yara masuk kamar lebih dulu. Wajahnya lelah, keringat menempel di dahi, membuatnya ingin segera mandi diri walau jam sudah menunjukkan pukul 11 malam.
"Gerah banget... mandi dulu deh," gumamnya, berjalan lesu ke kamar mandi tanpa sempat mengambil pakaian.
Sementara itu, di tempat lain, Yasa tengah duduk bersama ayahnya di balkon kamar.
"Papa mau ngomong sama kamu, Yasa."
"Iya, Pa."
"Papa gak mau kamu beneran jatuh cinta sama dia. Ingat, cukup empat bulan. Setelah itu kalian cerai. Bilang aja kalian gak cocok."
Yasa terdiam. Matanya menatap kosong ke depan, entah apa yang dipikirkannya.
---
Di kamar mandi, Yara baru tersadar.
"Aduh... aku lupa bawa baju lagi," keluhnya sambil memeluk tubuhnya sendiri yang hanya dibalut handuk pendek di atas lutut. "Yasa udah masuk belum, ya?"
Perlahan, ia membuka sedikit pintu dan mengintip keluar.
"Ngapain kamu ngintip-ngintip?" suara berat Yasa mengejutkannya.
"Eh, em—"
Yara panik, mulutnya terbata.
"Yasa, kamu bisa keluar sebentar gak?"
Alih-alih pergi, Yasa malah tersenyum licik dan duduk di sofa sambil menyilangkan kaki.
"Gak bisa. Aku udah capek."
Yara mendesah kesal, menahan emosi.
"Emm... kalau gitu, bisa tolong ambilin bajuku di koper?"
Yasa bangkit dari duduknya.
"Kamu yakin?"
Refleks, Yara melotot. "Eh, jangan deh! A-aku aja yang ambil!"
Dia tahu itu ide buruk kalau Yasa masuk ke kamar mandi. Lama Yara di dalam, dia terlihat ragu untuk keluar tapi tubuhnya mulai menggigil. Ia harus segera berpakaian.
"Yasa, kamu harus tutup mata!" teriaknya.
"Kenapa harus tutup mata?" Yasa ikut berteriak.
"Ya pokoknya jangan lihat aku!"
"Kenapa gak boleh lihat kamu?"
"Ya ampun, kamu tuh bisa gak sih dibilangin?!"
Perdebatan terus memanas. Yara hampir frustasi dibuatnya. Akhirnya, ia keluar dari kamar mandi seperti peluru. Baru saja Yara hendak jongkok dan membuka koper tapi dia baru sadar handuknya sangat pendek dan Yasa tepat berada di belakangnya. Dengan cepat ia menarik koper dan menyeretnya masuk kembali, menjaga agar handuknya tidak tersingkap.
Tawa Yasa meledak, menggema di seluruh kamar.
"Argh! Awas saja kau, sialan!" Yara menggeram. Ingin rasanya mencakar wajah menyebalkan pria itu.
Namun saat membuka koper, matanya membelalak.
"YASAAAAA!" teriaknya dari kamar mandi.
"Kenapa sayang?" sahut Yasa dengan nada menggoda.
Saat Yara membuka pintu sedikit, Yasa sudah berdiri tepat di depan pintu.
"Kamu kan yang punya ide kawin kontrak konyol ini! Kenapa sih kamu gak bisa lakuin sesuatu dengan normal sekali aja?!" wajahnya merah padam, antara kesal dan malu.
"Loh, aku ngapain emang?"
Yara membuka pintu lebih lebar dan melempar koper yang terbuka, membuat isinya berhamburan di lantai.
Yasa membungkuk, mengambil sepotong lingerie berwarna merah. Potongannya dadanya sangat rendah dan pendeknya hanya se paha. Lingerie itu juga tembus pandang.
Yasa tertawa.
"Kamu kan yang masukin baju kurang bahan itu!" tuduh Yara.
"Bukan aku, Yara" Bela Yasa
"Bohong!'
"Serius bukan aku yang masukin bajunya, Itu pasti ulah Alin! Dia bilang bakal siapin baju tidur buat kita."
"Aku gak mau pakai baju itu! Aku gak mau keluar dari kamar mandi!" Yara membanting pintu kamar mandi dan langsung menguncinya.
Air mata jatuh membasahi pipi Yara, dadanya sesak. Ia duduk di atas meja panjang wastafel, tubuhnya menggigil.
Entah kenapa Dia sangat cengeng. Yara memang mempunyai hati yang sensitif. Kita dia sedang marah atau kesal dia menangis, ketika dia sedang sedih dia menangis. Tapi Yara tidak pernah menangis dan mengadu dengan siapapun.
"Kenapa sih semua orang nyebelin banget. Kenapa semua orang seenaknya sama aku?" gumamnya pelan, sambil menghapus air mata yang terus mengalir.
Yasa di luar mulai panik.
"Yara... aku minta maaf. Beneran bukan aku yang iseng masukin baju itu."
Tak ada jawaban.
"Kalau gitu aku telpon staf hotel, ya? Aku suruh mereka bawa baju tidur yang lebih nyaman buat kamu."
Masih tak ada respon.
Yara tetap duduk di wastafel, menggigit kuku, pikirannya campur aduk. Lelah, dingin, malu, dan marah menyatu dalam satu tubuh.
Tak lama, suara ketukan terdengar.
"Yara, bajunya udah datang."
Diam.
"Yara... kamu gak tidur, kan?"
"Yara, kamu gak benturin kepala kamu, kan?" suara Yasa mulai terdengar panik, menggedor pintu.
"Apa sih! Gak usah gila deh!" teriak Yara. Masa iya dia tidur di kamar mandi?!
Yasa menghela napas.
"Bajunya aku taruh di tempat tidur, aku keluar, ya."
Beberapa saat kemudian, Yara mengintip. Setelah memastikan Yasa benar-benar pergi, ia keluar dengan cepat.
Tapi...
"Dor!" Yasa muncul dari balik pintu.
"Ih! Kamu nyebelin banget!" Yara hampir lompat saking kagetnya.
"Kamu nangis?" Yasa menatap matanya yang sembab.
"Enggak!" jawab Yara cepat, lalu merebut baju tidurnya. Tapi ketika hendak masuk ke kamar mandi, tangan Yasa menahan pintunya.
"Kamu nangis?" ulangnya pelan.
"Enggak! Aku bilang enggak! Lepasin!" Yara mendorong Yasa dan kembali masuk.
Setelah berganti baju, Yara keluar dengan piyama panjang warna lembut, celana sampai mata kaki, dan lengan panjang. Tapi wajah kesalnya masih terlihat jelas. Dia berjalan ke tempat tidur dan langsung naik tanpa mengucap sepatah kata pun.
Yasa memandangi punggungnya yang menghadap dinding. Ia pun tak berkata apa-apa. Ia tahu, jika ia bercanda lagi, Yara bisa benar-benar meledak.
Yasa berjalan ke kamar mandi, mandi sebentar, lalu keluar. Saat kembali, ia melihat Yara sudah tertidur dan selimut dikuasi olehnya. Yara menutupi hampir seluruh tubuhnya hingga setengah wajah dengan selimut.
"Sepertinya kami gak cukup satu selimut," gumam Yasa sambil tersenyum kecil.
Ia naik ke tempat tidur. Jarak antara mereka cukup jauh.
Saat hendak mendekat, ponsel Yara menyala. Notifikasi dari Adrian muncul di layar.
"Yara, kita bisa ketemu gak?"
Yasa mengernyit.
Lalu notifikasi kedua menyusul.
"Sebentar aja. Setelah itu aku gak akan ganggu kamu lagi."
Yasa ingin sekali membalas pesan Adrian itu, tapi dia tidak tahu password Yara, dan kali ini bukan tanggal lahirnya.
Tanpa pikir panjang, Yasa menekan tombol daya dan mematikan ponsel Yara. Ia menatapnya sejenak, lalu mengurungkan niat untuk memeluknya.
"Bisa nangis lagi dia kalau aku peluk..." pikirnya.
Ia pun berbaring, memunggungi Yara, membiarkan keheningan malam menyelimuti mereka berdua.
Pagi harinya.
Yara bangun lebih dulu karena ia merasa sesak sekali. Matanya mengerjap pelan, lalu kaget saat menyadari kaki dan tangan Yasa sudah melingkar di perutnya. Lelaki itu tidur dengan tenang di sampingnya, hanya mengenakan celana pendek.
Yara refleks ingin berteriak, namun ia segera terdiam saat ingat bahwa Yasa kini adalah suaminya.
Perlahan, ia menyisihkan tangan dan kaki Yasa dari tubuhnya.
"Berat banget sih badannya," gerutunya pelan.
Yara bangkit dari tempat tidur dan mulai mencari-cari ponselnya. Namun, belum sempat ia menemukannya, terdengar suara ketukan di pintu.
Tok tok.
Yara berjalan menuju pintu dan membukanya. Ternyata Alin yang berdiri di ambang pintu.
Alin sedikit terkejut. 'Loh, kok Kak Yara pakai baju ini?' ucapnya dalam hati
Wajahnya kemudian tampak berpura-pura syok.
'Hah... atau jangan-jangan Kak Yasa ganas banget semalam sampai langsung merobek lingerie-nya' pikirnya dalam hati.
Tanpa sadar, ia mulai senyum-senyum sendiri.
Yara heran melihat ekspresi adik iparnya. "Kamu kenapa, Lin?"
"Eh, nggak papa, Kak. Kalian disuruh turun ke bawah buat breakfast."
Yara mengangguk. "Aku cuci muka dulu, ya."
"Oke," sahut Alin sambil mengacungkan dua jempolnya.
Yara masih heran melihat Alin yang tampak sangat kegirangan.
Alin berjalan menjauhi pintu sambil lompat-lompat kecil. "Haha, berita bahagia ini harus dilapor ke Mama!"
Yara menutup pintu, lalu berbalik dan terkejut saat mendapati Yasa tak ada di ranjang. Tapi kemudian ia mendengar suara cipratan air dari kamar mandi.
"Kenapa pergerakan dia tenang sekali, nggak ada suara apa-apa. Apa jangan-jangan dia bukan manusia?" pikir Yara, buru-buru membuyarkan lamunannya.
Ia duduk di tepi ranjang dan memainkan ponselnya tapi layarnya gelap.
"Kok mati? Apa habis baterai ya?" gumamnya.
Setelah ditekan lama, ponselnya pun menyala. Ternyata baterainya masih banyak. Ia terkejut saat membaca banyak pesan dari Kak Adrian, juga beberapa panggilan tak terjawab.
Yara ingin menelepon kembali, tapi fokusnya buyar ketika mendengar suara pintu kamar mandi terbuka. Yasa keluar, hanya mencuci muka dan menggosok gigi, makanya tidak lama.
Yasa menatap Yara, tapi tak berkata apa-apa. Yara juga hanya diam, dengan wajah yang tampak bingung.
Setelah itu, Yasa mulai memakai baju dan bersiap turun ke bawah. Ia hendak meraih gagang pintu, tapi suara Yara menghentikannya.
"Kamu nggak mau nungguin aku?" setelah mengucapkan kalimat itu Yara melotot
'Sialan, kok aku jadi sok manja gini,' batinnya, merasa malu sekali.
"Hah?" sahut Yasa, entah karena tak jelas mendengarnya atau memang kaget dengan pertanyaan Yara.
"Eh... enggak. Aku mau cuci muka dulu. Kamu duluan aja."
Yasa tersenyum. Ia sebenarnya mendengar dengan jelas. Yasa tidak marah kepada Yara malah dia berfikir Yara yang marah padanya, makanya tidak Yasa ajak ngobrol, bisa makin marah Yara kalau dia godain lagi.
Setelah beberapa saat, Yara keluar dari kamar mandi dan mendapati Yasa sedang duduk di tepi ranjang, memainkan ponselnya.
"Kok kamu nggak ke bawah?" tanyanya heran.
"Kan nunggu kamu."
Yara tersenyum malu.
"Ayo" ucap Yasa sambil menggenggam tangan Yara dan mengajaknya berjalan menuju lobi hotel.
Yara menunduk sedikit, tersenyum melihat tangan mereka yang saling menggenggam. Ada perasaan berdesir di hatinya.
Di bawah.
"Aduh, pengantin baru lama banget datangnya!" celetuk Alin tiba-tiba, membuat semua mata tertuju ke arah mereka.
"Udah dapet asupan pagi tuh si Yasa, makanya mukanya berseri-seri begitu," lanjut Vero disertai gelak tawa.
"Eh, tapi kok jalan Kak Yara biasa aja?" tanya Alin tiba-tiba.
"Maksud kamu, Lin?" Yara tak paham.
"Ya... kan biasanya agak pincang gitu," jelas Alin.
"Kan udah curi start kemarin, Lin," sahut Vero sambil tertawa.
Wajah Yara langsung memerah.
"Udah-udah, jangan gangguin terus Yara-nya," Mama menengahi.
"Kalian ini nggak sopan banget sih. Di meja makan bahas kayak gituan," celetuk Pak Raden tiba-tiba.
"Apasih, Papa nggak asik banget," ucap Alin cemberut.
Ia heran kenapa papanya bisa sangat sensitif pagi ini. Padahal biasanya, apapun yang ia lakukan selalu diperbolehkan oleh Pak Raden.
Yara hanya tersenyum kecut. Ia tahu betul, Pak Raden tidak menyukainya.
"Feli, kamu nginap di sini semalam?" tanya Yara melihat Feli ada di meja makan juga.
"Iya. Aku mau pulang semalam, Yar. Tapi Alin ngajak aku nginap di sini aja, jadi aku tidur bareng dia deh."
"Maaf ya, semalam ninggalin kamu sendiri," kata Yara.
"Ya nggak papa, Yar. Lagian mana kamu mau nemenin aku tidur," Feli tersenyum santai.
"Iya, Kak Feli asik banget tau, Kak. Ternyata kami sefrekuesi, hehe," Alin ikut menyahut.
"Kalian kan sama-sama heboh," Yara tersenyum.
"Reyhand mana?" tanya Yasa pada Vero.
"Pulang dia. Paling nggak bisa kalau ninggalin kerjaannya, wkwk."
Yasa hanya menggeleng pelan.
Mereka menikmati sarapan dengan khidmat.
Setelah itu, semua bersiap-siap meninggalkan hotel.